Permenkominfo Baru Rawan Picu Konflik Kepentingan, Ini Kata Kominfo

24 Mei 2021 20:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan dalam Konferensi Pers secara virtual dari Media Center Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (24/5/2021). Foto: Kominfo
zoom-in-whitePerbesar
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan dalam Konferensi Pers secara virtual dari Media Center Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (24/5/2021). Foto: Kominfo
ADVERTISEMENT
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meluruskan informasi tentang Peraturan Menkominfo No. 5 Tahun 2020 yang disebut akan membuat mereka dapat mengakses data pribadi pengguna platform online di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menjelaskan bahwa data pribadi pengguna hanya dapat diakses jika yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan di Indonesia.
"Untuk akses data itu apabila terjadi insiden kejahatan dan institusi penegak hukum membutuhkan data," jelasnya dalam konferensi pers, Senin (24/5).
Semuel mencontohkan, akses data pribadi pengguna bakal dipakai untuk kepentingan penegakan hukum. Data pribadi akun pelaku penipuan online misalnya, akan diperiksa untuk memverifikasi laporan kejahatan terkait dirinya.
"Kalau ada kejahatan, kan harus ada barang buktinya. Barang bukti digital kan enggak bisa kita asal copy dari screen-nya lalu diberikan ke pengadilan. Pengadilan enggak akan menerima. Itu ada tata caranya."
"Jadi, bukan data pribadinya yang bisa diakses. Tidak. Pemerintah tidak dapat mengakses itu. Dan itu harusnya dijaga dengan baik oleh setiap platform," tegasnya.
Ilustrasi Kominfo. Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
Peraturan Menkominfo No.5 Tahun 2020, diundangkan sejak 24 November 2020, tengah jadi sorotan LSM advokasi masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah pasal di regulasi yang mengatur Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat tersebut dinilai memiliki definisi karet dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) misalnya, menilai bahwa kewajiban pemberian akses terhadap sistem elektronik "merupakan upaya negara mengontrol dan memantau warga negara yang berpotensi melanggar hak privasi warga negara, termasuk membuka kerentanan berlebih terhadap keamanan siber sistem yang bersangkutan."
ELSAM juga menyoroti ketiadaan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi hingga saat ini, sebagai jaminan hukum perlindungan data pribadi seseorang.
Pemberian akses terhadap sistem elektronik tertuang dalam Bab V Peraturan Menkominfo No.5 Tahun 2020. Menurut ELSAM, harusnya pembatasan hak atas privasi semacam itu tunduk pada pengaturan setingkat legislasi atau undang-undang.
"Dalam pembatasan hak atas privasi, termasuk yang terkait dengan pengecualian perlindungan data pribadi, maupun surveillance komunikasi, semestinya tunduk pada pengaturan setingkat legislasi, untuk memenuhi prinsip prescribed by law," kata ELSAM dalam keterangan resminya, Minggu (23/5)
ADVERTISEMENT
"Selain prosedurnya diatur Undang-Undang, tindakan ini juga seharusnya memastikan bekerjanya prinsip judicial scrutiny, yang biasanya diwujudkan dengan adanya surat perintah pengadilan (warrant court) dan adanya mekanisme review (pengujian) oleh pengadilan."

Definisi karet: potensi konflik kepentingan di Permenkominfo baru

Selain isu soal akses data pribadi, Permenkominfo No.5 Tahun 2020 juga dikritik karena memuat banyak larangan dengan definisi karet. Salah satu masalah ini bisa dilihat dalam Pasal 9 ayat 3 dan 4 yang melarang platform online menyebarluaskan informasi elektronik yang:
“melanggar ketentuan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.”
Tak cuma menyoal kategori informasi elektronik macam apa yang tidak boleh disebarluaskan, masalah definisi karet juga ditemukan dalam Pasal 14 yang membahas permohonan pemutusan akses.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 14 ayat 3, misalnya, disebutkan bahwa masyarakat dapat meminta pemutusan akses informasi elektronik dengan sifat mendesak jika informasi tersebut mengandung terorisme, pornografi anak, atau konten yang meresahkan dan mengganggu masyarakat umum.
“Yang menjadi masalah adalah frasa ‘dilarang’, karena (cakupannya) sangat luas, penafsirannya membuka ruang perdebatan sendiri,” kata ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, dalam sebuah konferensi pers virtual SAFEnet, Rabu (28/4).
“Apabila terjadi konflik kepentingan, kaitannya dengan penegakan hukum, misalnya, ‘meresahkan masyarakat’, bagaimana cara mengukurnya? Siapa yang memiliki wewenang dalam menentukan resah atau tidak resah masyarakat itu? Bagaimana bila publik tidak merasa itu bukan bagian dari hal yang meresahkan masyarakat?”
Dalam analisisnya, Herlambang khawatir bahwa peraturan tersebut dapat “mengikis” kebebasan pers, khususnya bagi penerbit berita online yang kritis pada pemerintah.
ADVERTISEMENT
kumparanTECH berkesempatan menyampaikan pertanyaan Herlambang tersebut kepada Semuel selama sesi konferensi pers. Semuel menjawab, pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang.
"Jadi, itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi itu pasti sudah ada... yang meresahkan kan sudah pasti meresahkan, jadi isu publik," kata dia sembari mencontohkan kasus Jozeph Paul Zhang yang jadi buah bibir pada April 2021.
"Salah satu contohnya yang paling bagus kan itu jadi isu publik. Masa peraturan mendiamkan sampai terjadi huru hara? Kan jangan sampai terjadi. Dan saya rasa kan pemerintah selama ini juga tidak semena-mena untuk hal itu karena kan harus ada kerja sama dengan platform untuk melakukan dan pasti kan ada hak jawab untuk hal itu," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ketika ditanya soal bagaimana mekanisme menentukan apa saja informasi elektronik yang "meresahkan masyarakat", Semuel tidak memberikan penjelasan secara rinci.
"Kalau publik merasa tidak meresahkan masa kita ini (blokir)? Pasti kan karena ada (yang merasa) meresahkan. Kalau umpamanya terkait keamanan, pasti ada rekomendasi dari keamanan," kata Semuel.
"Dan itu kan pasti ada notice-nya. Bukannya platform otomatis (blokir), kan ada notice-nya. Setiap kita meminta konten itu di-takedown, itu ada prosedurnya dan ada penjelasannya. Dan selalu kita umumkan ke publik. Tidak pernah pemerintah menutup itu diam-diam," pungkasnya.