Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri Kominfo No.5 Tahun 2020 bisa mengancam kebebasan pers dan kebebasan berpendapat secara online, menurut ahli. Definisi yang terlalu longgar dalam peraturan tersebut memunculkan kekhawatiran Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 dapat disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, Peraturan Menteri Kominfo itu memiliki banyak definisi karet dalam menentukan informasi elektronik macam apa yang dilarang untuk disebarluaskan.
Salah satu masalah ini bisa dilihat dalam Pasal 9 ayat 3 dan 4 yang melarang platform online menyebarluaskan informasi elektronik yang “melanggar ketentuan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.”
“Yang menjadi masalah adalah frasa ‘dilarang’, karena (cakupannya) sangat luas, penafsirannya membuka ruang perdebatan sendiri,” kata Herlambang dalam sebuah konferensi pers virtual SAFEnet, Rabu (28/4).
“Apabila terjadi konflik kepentingan, kaitannya dengan penegakan hukum, misalnya, ‘meresahkan masyarakat’, bagaimana cara mengukurnya? Siapa yang memiliki wewenang dalam menentukan resah atau tidak resah masyarakat itu? Bagaimana bila publik tidak merasa itu bukan bagian dari hal yang meresahkan masyarakat?”
ADVERTISEMENT
Tak cuma menyoal kategori informasi elektronik macam apa yang tidak boleh disebarluaskan, masalah definisi karet juga ditemukan dalam Pasal 14 yang membahas permohonan pemutusan akses.
Dalam Pasal 14 ayat 3, misalnya, disebutkan bahwa masyarakat dapat meminta pemutusan akses informasi elektronik dengan sifat mendesak jika informasi tersebut mengandung terorisme, pornografi anak, atau konten yang meresahkan dan mengganggu masyarakat umum.
“Standar dan mekanisme keberatan itu enggak ada (dijelaskan),” ucap Herlambang. “Maka, bagaimana memaknai (frasa) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum?”
Herlambang pun mengkritik cakupan subjek yang dapat mengajukan permohonan pemutusan akses informasi elektronik di Pasal 14 ayat 1, yang terdiri dari masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan. Menurutnya, pihak yang dapat mengajukan permohonan pemutusan akses terlampau luas dan dapat mengganggu aktivitas platform online.
ADVERTISEMENT
“Permenkominfo ini akan sangat mudah disalahgunakan untuk membungkam kelompok yang mengkritik pemerintah,” ujarnya, sembari menyebut bahwa Kominfo “surplus wewenang” karena belum ada lembaga independen yang dibentuk untuk mengimbanginya dengan perspektif hak asasi manusia.
Kominfo belum menanggapi pertanyaan kumparanTECH soal kritik yang disampaikan Herlambang.
Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 diundangkan sejak 24 November 2020. Peraturan itu mengatur soal Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 bisa ancam kebebasan pers
Dalam analisisnya, Herlambang menemukan 65 kata kunci ‘Pemutusan Akses’ di Permenkominfo No. 5 Tahun 2020. Kata kunci tersebut dimaknakan sebagai access blocking maupun take down konten.
Ketika ditanya apakah Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 dapat mengancam kebebasan pers, Herlambang khawatir bahwa peraturan tersebut dapat “mengikis” Undang-Undang Pers, khususnya bagi penerbit berita online.
ADVERTISEMENT
“Sangat mungkin,” kata dia.
Herlambang menjelaskan, meski pers tidak disebut dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, definisi penyelenggara sistem elektronik di peraturan itu sangat longgar.
Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 mendefinisikan penyelenggara sistem elektronik sebagai "setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain."
“Saya kurang tahu ya apa Dewan Pers telah membuat kajian serupa. Kalau belum, mungkin ini bisa disampaikan ke Dewan Pers supaya mereka juga tahu ada aturan yang berpotensi mengikis Undang-Undang No. 40 Tahun 1999," kata Herlambang.
kumparanTECH telah meminta komentar Dewan Pers, namun mereka belum memberikan tanggapan.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri punya indeks kebebasan pers yang rendah, menurut lembaga pemantau pers Reporters Without Borders (RSF). Pada 2021, indeks kebebasan pers Indonesia cuma berada di posisi 113 dari 180 negara.
“Banyak jurnalis (Indonesia) mengatakan mereka menyensor diri mereka sendiri karena ancaman dari undang-undang anti penodaan agama dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” tulis RSF dalam laporannya.
“Pada tahun 2020, pemerintah memanfaatkan krisis Covid-19 untuk memperkuat persenjataan represifnya terhadap jurnalis, yang kini dilarang menerbitkan tidak hanya "informasi palsu" terkait virus corona tetapi juga "informasi yang memusuhi presiden atau pemerintah" bahkan jika tidak terkait dengan pandemi.”