Polemik Buzzer Omnibus Law: Influencer Tak Kompeten dan Netizen Mudah Lupa

19 Agustus 2020 7:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah buruh berdemonstrasi menolak Omnibus Law di depan Parlemen RI, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh berdemonstrasi menolak Omnibus Law di depan Parlemen RI, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
ADVERTISEMENT
Pada pekan kemarin, jagat media sosial Twitter dihebohkan dengan kampanye influencer yang menjadi buzzer Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Kampanye mereka tidak murni dilangsungkan di media sosial berlogo burung biru tersebut. Sebelum jadi perbincangan hangat di Twitter, dukungan mereka terhadap RUU kontroversial itu telah berlangsung di Instagram dengan tagar #IndonesiaButuhKerja.
Menurut analisis yang dibuat Drone Emprit, platform untuk memonitor dan menganalisis media sosial, kampanye #IndonesiaButuhKerja mulai jadi tren di Instagram pada 10-12 Agustus 2020. Setidaknya, ada 21 influencer yang terlibat kampanye ini.
Mereka yang meng-endorse tagar tersebut di antaranya adalah Gritte Agatha, Arditho Pramono, Gofar Hilman, Gading Martin, Gisella Anastasia, Valentino Simanjuntak, Cita Citata, Rigen Rakelna, Boris Bokir, Aruan Marsha, Kim Kurniawan, Siti Badriah, hingga Fitri Tropica.
Gofar Hilman Foto: Instagram @pergijauh
Tren kampanye RUU Cipta Kerja dan Omnibus Law nyatanya tak berlangsung lama. Kampanye tersebut mulai mendapat respons negatif oleh pengguna Instagram pada 13 Agustus 2020, berdasarkan catatan Drone Emprit. Respons serupa juga terjadi di Twitter dalam waktu yang bersamaan.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana kampanye yang dilakukan para influencer ini bisa mendapatkan respons negatif dari netizen?

Influencer lawan influencer

Menurut penjelasan Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dan Kernels Indonesia, respons negatif netizen Instagram dan Twitter dipicu oleh keberadaan influencer lain yang menyuarakan kritik bagi influencer yang mendengungkan Omnibus Law.
Ismail mengatakan, influencer kritis ini jumlahnya cukup sedikit. Namun, argumen kritik yang mereka sampaikan masuk akal bagi netizen kebanyakan, sehingga kampanye #IndonesiaButuhKerja justru ditanggapi secara negatif di media sosial.
Ismail Fahmi, Analis Media Sosial Drone Emprit. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
"Semua orang ketika tidak melihat ada yang kurang, mendukung influencer pada awalnya. Namun, ketika ada satu, dua, yang bisa tunjukkin kekurangannya, itu bisa ramai-ramai menjadi serangan," kata Ismail kepada kumparan, Jumat (14/8).
"Artinya, model media sosial itu bisa dikatakan gagasan yang unik, yang bisa menunjukkan benar dan salah, itu bisa sangat viral dan cerdas. Influencer itu di antara publik bisa jadi lebih cerdas. Mereka saling belajar, saling amplifikasi," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan Drone Emprit, kelompok influencer awal yang mengritik buzzer RUU Cipta Kerja di Instagram terdiri dari akun @kolektifa, @indonesiafeminis, dan @bangsamahasiswa.
Di Twitter, salah satu akun yang berpengaruh dalam kritik itu adalah @wwwWINNERrrr. Pada 13 Agustus 2020, ia mendapatkan atensi yang luas setelah mem-posting video parodi mengenai gaya buzzer dalam mengampanyekan RUU Cipta Kerja. Selain dirinya, influencer lain di Twitter yang kontra juga terdiri dari @Lini_ZQ dan @mazzini_gsp.
"Kalau ada influencer lain yang paham (duduk masalahnya), personally menolak itu, dia bisa mengritik itu," kata Ismail.
Drone Emprit sendiri menemukan bahwa netizen lebih banyak berposisi kontra terhadap kampanye Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja yang didengungkan 21 influencer tersebut. Hal ini ditandai dengan keberadaan tren tagar tandingan #TolakOmnibusLaw dan #GagalkanOmnibusLaw di Twitter sejak 9-16 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Klaster pendukung Omnibus Law memang ditemukan melalui tagar #RUUCiptakerLindungiPekerja. Namun, menurut laporan Drone Emprit, cakupannya kalah luas ketimbang yang kontra.

Bumerang influencer tak kompeten

Menurut Ismail, penolakan Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja merupakan salah satu gerakan media sosial terbesar yang pernah ada di Indonesia. Ia menjelaskan, salah satu pemicu penolakan tersebut disebabkan oleh dengungan awal influencer yang tidak kompeten terkait isu yang dibawa.
"Netizen itu cenderung cerdas dan kemudian bisa teramplifikasi," kata Ismail. "Ketika pendapat dia (influencer) itu benar-benar off terhadap satu gagasan mainstream yang jadi permasalahan utama publik, orang-orang akan melihat ya, 'tahu apa sih?'."
Ismail menambahkan, sorotan utama netizen terletak pada isu ideologis yang didengungkan ke-21 influencer tersebut. Menurutnya, influencer biasanya hanya meng-endorse suatu produk, seperti fashion atau entertainment. Hal-hal semacam itu umumnya tak akan memicu reaksi penolakan oleh netizen.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja adalah isu yang masih kontroversial saat ini. Isu tersebut juga bakal membawa dampak besar bagi hajat hidup orang banyak.
Sejumlah buruh membawa poster dan bendera saat melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta. Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
Banyak aturan dalam produk hukum itu yang merampas hak pekerja. Beberapa poin penting yang disoroti adalah kontrak bekerja seumur hidup alias tidak menjadi pekerja tetap, hingga jatah cuti melahirkan dan haid dihilangkan. Alih-alih gaet investasi, RUU ini bakal mengeksploitasi waktu pekerja.
Kritikan netizen pun tak terelakan ketika publik menyadari bahwa dengungan yang disebarkan influencer tersebut tidak fundamental dan di luar dari kepakarannya.

Netizen mudah lupa: Nasib influencer tak kompeten di masa depan

Persoalan influencer yang berbicara di luar kapasitasnya memang tengah jadi masalah serius saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebelum isu buzzer RUU Cipta Kerja, misalnya, publik sudah terlebih dahulu diberondong klaim tak berdasar yang disajikan Anji dan Jerinx soal virus corona. Keduanya adalah figur besar di dunia musik. Namun, mereka tak kompeten mengurusi virus corona karena mereka tak memiliki rekam jejak apa pun di bidang epidemiologi dan virologi.
Lalu, bagaimana nasib influencer tak kompeten semacam ini di masa depan?
Ilustrasi influencer. Foto: Shutterstock
Menurut Ismail, netizen Indonesia adalah orang-orang yang pelupa. Pada satu saat tertentu, mereka akan melupakan masalah influencer tak kompeten yang ada saat ini, di mana influencer yang sempat bermasalah akan kembali diterima di masa depan.
Ismail sendiri berharap agar influencer tersebut segera meminta maaf dan mengklarifikasi posting-an kontroversial mereka.
ADVERTISEMENT
"Bangsa kita, saya enggak tahu kenapa, memang cenderung lupa. Apa yang ada di masa lalu yo wis kadang-kadang lupa. Sering banget ada isu baru, udah, terus ikut lagi," kata Ismail.
"Jadi, asal dia (influencer) tetap kembali fokus (pada keahliannya), minta maaf lah misalnya. Ketika dia menurunkan (posting) dan minta maaf itu kan sudah hal yang positif," pungkasnya.
Ismail Fahmi Foto: Ardhana Pragota/kumparan
Sejumlah influencer yang mendengungkan Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja memang telah meminta maaf, menghapus konten terkait, dan mengklarifikasi postingan yang dikritik oleh netizen. Ardhito Pramono dan Gofar Hilman, misalnya, kompak menyebut bahwa mereka tidak tahu kalau posting-an mereka ditujukan untuk mendengungkan RUU Cipta Kerja.
Hingga saat ini, tidak jelas siapa yang menjadi dalang di balik dengungan buzzer RUU Cipta Kerja tersebut. Pemerintah sendiri membantah bahwa kampanye buzzer itu merupakan pesanan mereka.
ADVERTISEMENT