Polisi Eropa Buru Hacker di Balik Ransomware WannaCry

15 Mei 2017 14:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Virus Ransomware. (Foto: Thinsktock)
zoom-in-whitePerbesar
Virus Ransomware. (Foto: Thinsktock)
Ratusan ribu komputer di ratusan negara seluruh dunia tidak bisa diakses setelah terinfeksi ransomware WannaCry. Saat ini upaya internasional tengah digalang untuk memburu hacker di balik serangan siber tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti dikutip dari Independent, badan polisi Eropa atau Europol telah mengumpulkan bukti-bukti dari negara-negara Uni Eropa untuk melakukan penyelidikan gabungan menelusuri asal serangan.
Europol juga telah membentuk gugus tugas khusus untuk menyelidiki kasus ini.
"Serangan terbaru ini sangat tidak terduga dan membutuhkan penyelidikan internasional yang kompleks untuk mengidentifikasi pelakunya," ujar pernyataan Europol.
Badan Kriminal Nasional Inggris, NCA, yang terlibat dalam penyelidikan ini bertekad menyeret pelaku ke penjara.
"Para penjahat siber yakin mereka tidak terdeteksi, tapi kami akan menggunakan semua cara semampu kami untuk menyeret mereka ke pengadilan," ujar Oliver Gower, pejabat NCA.
Pesan sandera WannaCry. (Foto: Kaspersky)
zoom-in-whitePerbesar
Pesan sandera WannaCry. (Foto: Kaspersky)
WannaCry adalah ransomware yang menutup akses data ke komputer korban. Serangan yang menimpa komputer dengan sistem operasi Windows ini terjadi pada Jumat pekan lalu dan kini telah menginfeksi 200 ribu komputer di 99 negara seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Jika ingin data itu selamat, hacker meminta tebusan yang dibayarkan dalam bentuk bitcoin dengan tenggat waktu tiga hari.
Menurut Mikko Hypponen, kepala peneliti di perusahaan keamanan siber di Helsinksi, F-Secure, ini adalah serangan ransomware terbesar dalam sejarah.
Pemerintah di berbagai negara mengimbau agar korban tidak membayarkan tebusan.
"Membayar tebusan tidak menjamin file yang terenskripsi akan dibebaskan. Pembayaran hanya menjamin pelaku menerima uang korban, dan dalam beberapa kasus, informasi perbankan mereka," ujar pernyataan keamanan siber di Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat.