Riset: Rokok Elektrik Miliki Risiko Lebih Kecil Dibanding Rokok Tembakau

20 Februari 2020 8:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rokok elektrik. Foto: Dok. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rokok elektrik. Foto: Dok. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti diketahui oleh khalayak umum, bahwa merokok tembakau memiliki potensi menimbulkan masalah kesehatan dengan potensi mengidap penyakit kardiovaskular, gangguan pernapasan, kanker, dan lainnya. Beralih menggunakan rokok elektrik bisa menjadi salah satu caranya. Ia dianggap memiliki risiko lebih kecil bagi penggunanya yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai medium terapi untuk berhenti merokok.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang didukung National Institute for Health Research and Cancer Research di Inggris membuktikan bagaimana rokok elektrik dapat menjadi terapi untuk berhenti merokok. Studi tersebut dilakukan di Inggris dimulai pada April 2015 dan berakhir pada Maret 2018, untuk melihat tingkat pantang yang tervalidasi secara biokimia selama 12 bulan pada perokok yang menggunakan rokok elektrik dibandingkan dengan terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy/NRT).
Penelitian dilakukan dengan partisipan sebanyak 886 orang yang berusia 18 tahun ke atas dan merupakan perokok aktif yang sedang mengikuti program berhenti merokok. Peneliti membagi menjadi dua kelompok dari total partisipan, pertama menggunakan rokok elektrik, dan kedua menggunakan produk pengganti nikotin, seperti nicotine patch dan permen karet nikotin.
ADVERTISEMENT
Semua partisipan mendapatkan layanan konseling individual setiap minggunya selama empat pekan. Setelah setahun, pengurangan kebiasaan rokok akan terbukti, dengan mengukur banyaknya karbon monoksida yang dihirup.
Sejumlah peringatan kandungan di produk rokok elektrik di sebuah toko vape di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Hasil temuan pertama dari penelitian itu adalah 18 persen partisipan yang menggunakan rokok elektrik berhasil berhenti merokok dalam waktu setahun, dan hanya 10 persen partisipan pengguna NRT yang berhasil berhenti merokok.
Dari total orang yang sukses berhenti merokok tersebut, 80 persen partisipan yang menggunakan rokok elektrik masih menggunakan vape, dan hanya 9 persen pengguna NRT yang tetap menggunakan produk tersebut.
Laporan ini juga menyebutkan partisipan yang menggunakan rokok elektrik memiliki efek batuk dan adanya dahak lebih rendah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa rokok elektrik lebih efektif untuk menghentikan kebiasaan merokok, jika dibandingkan dengan produk pengganti nikotin.
ADVERTISEMENT
Rokok elektrik juga dapat memberikan tiruan perilaku perokok, sehingga para pecandu rokok tembakau tidak harus meninggalkan kebiasaan hidup mereka, seperti ritual berkumpul bersama untuk mengisap dan mengeluarkan asap atau uap.

Tidak banyak penelitian rokok elektrik di Indonesia

Tidak banyaknya penelitian tentang rokok elektrik di Indonesia, membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan informasi yang benar, misalnya tentang rokok elektrik bisa dijadikan alat untuk mencoba berhenti dari rokok tembakau.
Hal tersebut sangat disayangkan karena masyarakat sudah mengetahui dampak buruk dari rokok konvensional terhadap penggunanya, terutama jika terpapar pada anak-anak, namun tidak mengetahui bagaimana cara mencegahnya menggunakan rokok elektrik.
Rokok elektrik Juul Labs. Foto: Juul Labs
“Penelitian mengenai rokok elektrik dapat dilakukan dengan metode yang lebih tepat, seperti penelitian uji emisi aldehid dari rokok elektrik di laboratorium, sebaiknya dilakukan dengan kondisi yang sesuai dengan yang digunakan oleh vaper,” kata drg. Amaliya, peneliti dari Universitas Padjajaran dan co-founder Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik, dalam keterangannya.
ADVERTISEMENT
drg Amaliya menjelaskan ada beberapa penelitian yang menggunakan kondisi vaping yang bertolak belakang dengan kondisi nyata, contohnya alat vaping generasi 1 atau 2 yang sudah tidak dipakai lagi, suhu yang terlalu panas sehingga berbahaya.
“Peneliti harus melakukan observasi terlebih dahulu pada pengguna vape, bagaimana kebiasaan dan kondisi apa yang tepat yang bisa disimulasikan di laboratorium sehingga mendekati kondisi nyata penggunaan vaping, hal ini telah dianalisis oleh peneliti Dr Farsalinos dkk (2018) dan telah dipublikasikan pada Food and Chemical Toxicology,” katanya.
“Maka dari itu, saya mengajak semua pihak untuk tidak membuat asumsi berdasarkan sumber-sumber yang tidak bisa dibuktikan secara metodologis,” tambahnya.