Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terkadang konten seperti ini tidak terlacak oleh YouTube hingga bisa ditonton oleh pengguna. Meski begitu, sebuah riset justru menemukan YouTube sebenarnya membantu menjauhkan orang-orang dari video radikal.
Dua peneliti, Mark Ledwich yang merupakan data scientist, dan Anna Zaitsev, peneliti dari UC Berkeley, telah menentukan bahwa YouTube sebenarnya memerangi radikalisasi politik. Keduanya meneliti jutaan rekomendasi konten video YouTube selama setahun.
Mereka mengatakan bahwa hingga akhir 2019, algoritma rekomendasi YouTube tampak dirancang untuk mendorong konten dari media mainstream dan konten berita lainnya dibanding dengan konten kreator YouTube independen.
Studi tersebut, yang dipublikasikan pada Selasa (24/12), juga mengatakan bahwa algoritma YouTube lebih menyukai saluran yang condong ke kiri dan netral secara politik. Hasil penelitian juga menyimpulkan, bahwa konten video radikal ada di YouTube, tetapi algoritma rekomendasi saat ini tidak mengarahkan pengguna ke video tersebut.
ADVERTISEMENT
“Jelas ada banyak konten di YouTube yang bisa dilihat orang sebagai radikalisasi atau penghasutan. Namun, tanggung jawab konten itu adalah dengan pembuat konten dan konsumen sendiri,” kata peneliti, dalam risetnya dikutip CNBC.
"Mengalihkan tanggung jawab untuk radikalisasi dari pengguna dan pembuat konten ke YouTube tidak didukung oleh data kami," jelasnya.
Salah satu peneliti, Mark Ledwic, pada Jumat (27/12) menerbitkan esai yang menjelaskan hasil penelitiannya dan mengkritik liputan berita tentang algoritma rekomendasi YouTube.
"Berlawanan dengan narasi yang dipromosikan oleh New York Times, data menunjukkan bahwa algoritma rekomendasi YouTube secara aktif mencegah penonton mengunjungi konten yang dapat dikategorikan sebagai radikalisasi atau dipertanyakan," katanya, dalam postingan tersebut.
Studi ini muncul setelah serangkaian artikel The New York Times yang diterbitkan pada awal 2019 tentang radikalisasi di YouTube, yang merupakan platform streaming video milik Google. Dalam salah satu artikel, Caleb Cain yang berusia 26 tahun menceritakan bagaimana ia terpengaruh dan jatuh ke dalam apa yang ia sebut sebagai "alt-right rabbit hole" pada tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Sejak pengalaman Cain itu, YouTube telah mengubah cara merekomendasikan konten kepada pengguna. YouTube, sama seperti platform sejenis lain, bergulat dengan masalah moderasi konten dalam beberapa tahun terakhir.
"Akan selalu ada konten di YouTube yang melanggar kebijakan kami, tetapi tidak cukup melanggar batas," tulis perusahaan dalam posting blog awal bulan ini. “Jadi selama beberapa tahun terakhir, kami telah berupaya meningkatkan suara otoritatif di YouTube dan mengurangi penyebaran konten yang hampir melewati batas dan informasi yang berbahaya.”
Live Update