Starlink Masuk RI, Wajib Bayar BHP Frekuensi dan USO Seperti Operator Lokal

16 Mei 2024 16:01 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Starlink Foto: Rokas Tenys/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Starlink Foto: Rokas Tenys/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Starlink segera masuk Indonesia. Perusahaan milik Elon Musk itu diminta mematuhi aturan yang sama dengan penyedia jasa internet (internet service provider/ISP) dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan PT. Starlink Services Indonesia sudah mengantongi dua izin operasi untuk menggelar layanannya. Keduanya ialah izin sebagai penyelenggara layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan ISP.
Oleh sebab itu, Doni Ismanto, selaku pendiri IndoTelko Forum, mendorong pemerintah untuk memastikan Starlink memenuhi kewajibannya sebagai operator, seperti penyedia jasa internet lainnya. Dua di antaranya adalah membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio dan memberi sumbangan Universal Service Obligation (USO).
BHP Spektrum Frekuensi Radio merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh setiap perusahaan yang memegang izin penggunaan frekuensi radio di rentang tertentu. Kewajiban ini biasa dilakukan oleh operator seluler dan perusahaan ISP, karena memanfaatkan frekuensi sebagai sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, USO adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap penyelenggara jasa telekomunikasi, dan kontribusi ini merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Besaran sumbangan USO dipungut sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor dalam setahun.
"Semua pelaku usaha itu membayar kewajiban ke negara. Bayar BHP, bayar USO," kata Doni kepada kumparanTECH, Rabu (15/5). "Itu 'kan untuk mendapatkan kepastian atas usaha yang dia jalankan, bahwa usaha yang dijalankan itu dilindungi oleh regulasi. Ya, ini harus diperlakukan sama."
Saat ini ada sebagian kecil masyarakat Indonesia sudah menjajal layanan internet satelit Starlink. Mereka rata-rata berada di perkotaan.
Padahal, layanan seperti Starlink idealnya untuk membuka akses telekomunikasi di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) maupun tengah laut. Ini yang diharapkan Doni untuk Starlink di Indonesia.
ADVERTISEMENT
ilustrasi Starlink Foto: wedmoments.stock/Shutterstock
Internet di wilayah perkotaan sudah dilayani oleh operator fixed broadband maupun seluler. Pemainnya pun beragam dengan infrastruktur telekomunikasi yang lengkap.
Itu mengapa pemerintah perlu berperan membawa Starlink untuk menyediakan internet satelit di rural, mengingat satelit yang dimiliki Indonesia saat ini belum dapat menutup kekurangan akses telekomunikasi. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan ISP lokal.
Saat ini Starlink sudah menggandeng Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Kemitraan kedua pihak diharapkan bisa meningkatkan pemerataan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.
"Saya harap pemerintah membawa Starlink sebagai solusi untuk pasar itu (daerah 3T), pasarnya BAKTI-lah," tambah Doni. "(Satelit) Satria-1 gak bisa beam-nya masuk melayani semua daerah 3T. Nah, Starlink ditaruh di situ."
ADVERTISEMENT

Waspada Predatory Pricing

Kehadiran Starlink di Indonesia, kata Doni, belum mengganggu industri telekomunikasi Indonesia untuk tahap awal, sebab harga langganan beserta perangkatnya tidaklah murah. Segmen pasar Starlink untuk saat ini masih di level A atau premium.
Meski begitu, ada peluang untuk biaya layanannya akan semakin murah ke depannya.
Starlink saat ini memiliki sekitar 60 persen dari total 7.500 satelit yang mengorbit Bumi, dikutip dari Reuters. Satelit ibarat Base Transceiver Station (BTS). Jika terus bertambah satelitnya, maka blank spot (area yang tidak memiliki akses internet) akan semakin berkurang, membuka peluang bagi Starlink untuk menjual layanannya semakin murah.
"Artinya harga layanannya makin murah. Jika ini terjadi bisa perang benaran di pasar," ujar Doni.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Starlink. Foto: rarrarorro/Shutterstock
Kekhawatiran serupa juga dirasakan oleh Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute.
Persaingan yang dibangun secara sehat sebenarnya tidak perlu ditakutkan, dengan ISP menawarkan masing-masing kualitas layanannya. Namun yang perlu diwaspadai adalah predatory pricing.
"Karena sifat dari predatory pricing itu adalah menjual produk dengan harga semurah mungkin dengan tujuan mematikan pesaingnya. Pesaing mati, dianya hidup. Nanti dia yang mempermainkan harga. Ini yang harus dijaga," kata Heru kepada kumparanTECH.
Senada dengan Doni, Heru berharap Starlink mengikuti peraturan yang berlaku, sehingga bisa tercipta equal level playing field antar-operator. Pemerintah sebagai wasit harus berada di pihak yang netral dan tidak memihak siapa pun, sehingga semua bisa bersaing secara sehat.
Jika persaingan yang terjadi menjadi tidak sehat, kita harus bersiap dalam waktu 3 sampai 5 tahun ke depan akan ada ISP atau operator seluler yang gugur atau kolaps.
ADVERTISEMENT