5 Tradisi Unik saat Hari Raya Galungan, Ada yang Mirip Debus

4 Januari 2023 12:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Umat Hindu mengikuti sembahyang Hari Raya Galungan di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (14/4/2021). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Umat Hindu mengikuti sembahyang Hari Raya Galungan di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (14/4/2021). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Hari Raya Galungan dan Kuningan tak hanya dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
ADVERTISEMENT
Hari yang dirayakan umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210) pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) juga memiliki arti tersendiri.
Adapun, di tahun 2023 ini Galungan jatuh pada Rabu, 4 Januari 2023, sedangkan Kuningan pada Sabtu, 14 Januari 2023.
Pada hari raya tersebut, masyarakat Hindu juga melangsungkan berbagai tradisi unik yang menjadi rangkaian Galungan dan Kuningan. Salah satunya adalah penjor yang dipasang di tepi jalan dan menghiasi jalan raya.
Namun, enggak hanya itu, ada beberapa tradisi unik lain yang juga digelar saat perayaan Hari Raya Galungan. Apa saja? Yuk, simak ulasannya.

1. Perang Jampana

Tradisi unik Pawai Jampana di Bandung. Foto: jabarprov.go.id
Perang Jampana menjadi salah satu tradisi yang bisa kamu temukan saat perayaan Galunang dan Kuningan di Bali. Tradisi ini biasanya digelar di Desa Paksebali, Klungkung.
ADVERTISEMENT
Setiap tahunya, para warga Banjar Panti Timrah mengadakan tradisi yang dikenal sebagai Perang Jempana. Dikenal juga sebagai Dewa Masraman, Perang Jempana telah ada sejak tahun 1500.
Perang Jempana biasanya dilakukan setiap 210 hari, tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Saat melakukan tradisi Perang Jempana, penduduk setempat akan mengusung tandu (jempana) yang berisi sesajen dan simbol Dewata.
Puncak dari tradisi ini adalah Ngambeng Jempana, yaitu atraksi saling dorong antar warga yang membawa jempana sambil diiringi suara tabuhan gong baleganjur. Para warga yang terlibat biasanya sudah berada dalam kondisi tidak sadar.
Begitu Ngambeng Jempana berakhir, pemangku agama akan memercikkan air suci. Dan para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng dan benang tridatu dikeluarkan dari jempana, serta kembali ditempatkan ke dalam pura.
ADVERTISEMENT

2 Ngelawang Barong

Pemuda menampilkan tarian saat mengikuti Parade Ngelawang Barong untuk memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu, Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan.
Dilansir dari berbagai sumber, menurut kepercayaan Hindu, Barong adalah lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya.
Sedangkan tradisi Ngelawang Barong berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah jadi raksasa yang membantu penduduk desa mengalahkan roh jahat. Dahulu, karena dianggap sebagai ritual yang sakral, apabila bulu barong tercecer, maka warga akan memungutnya dan menjadikannya sebagai benda bertuah.

3. Grebeg Mekotek

Tradisi Grebeg Mekotek di Bali Foto: Shutter Stock
Dikenal sebagai tradisi penolak bala, Grebek Mekotek merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Hindu di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Tabanan, Bali, saat Galungan dan Kuningan.
ADVERTISEMENT
Gerebeg Mekotek dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan, atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan atau setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali.
Dulunya tradisi Mekotek dijadikan sebagai acara penyambutan pasukan Kerajaan Mengwi yang menang perang melawan Kerajaan Blambangan. Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1915, tradisi Mekotek sempat dihentikan karena pihak kolonial takut akan ada pemberontakan.
Sayangnya, keputusan itu tidak berbuah baik, karena penduduk terkena wabah penyakit, sehingga akhirnya setelah melalui perundingan yang alot, Mekotek diizinkan untuk digelar kembali. Tradisi Mekotek dilakukan dengan kayu sepanjang 2,5 meter yang telah dikupas kulitnya.
Kayu digunakan menggantikan peran tombak untuk menghindari terjadinya luka parah. Penduduk yang mengikuti tradisi Mekotek akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Kemudian, dari anggota kelompok, akan dipilih orang yang berani sebagai komando untuk memberi aba-aba dari atas puncak piramida tumpukan kayu.
ADVERTISEMENT
Ia akan mengarahkan kelompoknya untuk menabrak kelompok lainnya. Selain untuk menolak bala, Mekotek juga dipercaya sebagai permohonan untuk mendapat berkah dan meminta kesuburan lahan pertanian penduduk setempat.

4. Memunjung

ilustrasi perayaan hari raya Galungan Foto: Shutter stock
Tradisi ini merupakan tradisi mengunjungi dan membawa sesajen ke kuburan, seusai melaksanakan sembahyang di pura pada Hari Raya Galungan.
Memujung dalam pelaksanaannya dilakukan keluarga secara bersama-sama, dengan cara membawa sodan punjung ke rumahnya kembali yang dilaksanakan pada saat Hari Galungan atau Kuningan.
Menurut kepercayaan umat Hindu, orang yang meninggal jika belum dilakukan Ngaben, maka roh atau arwah orang tersebut masih berada di bawah kendali Sang Hyang Prajapati, yang menguasai area kuburan.
Untuk itu, selama memunjung, keluarga dan sanak saudara akan membawa makanan yang disukai orang yang telah meninggal tersebut.
ADVERTISEMENT
Makanan itu ditaruh di atas kuburannya, sembari menghaturkan untuk 'menikmati' hidangan tersebut.

5. Ngurek

11-12 dengan debus, Ngurek adalah tradisi yang mengharuskan seseorang menggunakan senjata tajam untuk melukai diri ketika partisipan berada dalam kondisi kerasukan.
Dilaksanakan hampir di setiap daerah di Bali, tradisi Ngurek yang juga dikenal sebagai Ngunying dipercaya sebagai manifestasi pengabdian pada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa).
Berasal dari kata 'Urek', Ngurek dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai melubangi atau menusuk. Biasanya orang-orang yang melakukan tradisi Ngurek akan menusuk dirinya dengan senjata tajam, seperti keris, tombak, dan pisau.
Namun uniknya, ia tidak akan merasa kesakitan, karena telah diberi kekuatan oleh roh-roh para leluhur. Jangankan berdarah, meski telah ditancapkan berulang-ulang dengan kuat, mereka yang kerasukan roh tersebut bahkan tidak akan tergores sedikit pun.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ngurek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Sebab, salah satu syaratnya tidak boleh ujub atau sombong.
Tidak ada yang tahu kapan Ngurek mulai dilaksanakan, tapi konon, tradisi ini hadir pada zaman kejayaan kerajaan. Saat raja ingin membuat pesta syukuran pada Sang Pencipta, sekaligus menyenangkan hati para prajurit.