7 Benteng, 2 Musuh, 1 Jejak Panjang Portugis di Macao

8 September 2019 12:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sisa meriam di Mount Fortress, Macao. Daratan China terlihat menyembul di kejauhan. Foto: Tio/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sisa meriam di Mount Fortress, Macao. Daratan China terlihat menyembul di kejauhan. Foto: Tio/kumparan

Benteng yang ini untuk musuh yang itu, benteng yang itu untuk musuh yang ini. Portugis mencoba bertahan dan gagal.

Cuaca Macao siang hari di akhir Agustus hampir sama dengan Cilincing di Jakarta Utara. Panas dan lembap. Bedanya, tak ada pekat bau comberan dan sampah di jalanan Macao. Segala serba bersih dan jalan kaki pun mudah karena kamu tak perlu takut tersambar tronton dari belakang.
Apalagi kalau kamu meninggalkan pendar cahaya modernitas di Cotai yang menyilaukan dan menyeberang ke sejuk Guia Lighthouse di utara. Di sini, pada satu dari 20 tempat di Macao yang masuk dalam UNESCO World Heritage Site, kamu bisa menikmati kesejukan bukit yang hijau, mengambil jarak sejenak dari hingar bingar kota sembari tetap bisa melihat laju modernitas dari kejauhan.
Guia Lighthouse terletak pada sebuah bukit di kawasan São Lázaro, Macao. Ia 15 menit perjalanan mobil saja dari Venetian atau Parisian yang berada di Cotai, wilayah reklamasi yang menyatukan Coloane dan Taipa di selatan.
Untuk naik ke mercusuar yang dimaksud, kamu bisa menaiki sebuah cable car tanpa harus berjalan kaki menanjak yang bisa makan waktu 15 menit lebih. Cuma 2 MOP, atau sekitar Rp 3.600. Menariknya, jalur cable car tersebut amat pendek, tak sampai satu menit! Orang lokal sering berkelakar dengan menyebutnya “cable car paling pendek di dunia.”
Selain mercusuar, terdapat sebuah kapel kecil di Guia Lighthouse. “Untuk tentara Portugis zaman dahulu. Hampir di setiap benteng selalu ada gereja,” Fok Constantino menjelaskan. Fok adalah tour guide wisatawan asal Macao yang mengiringi rombongan kumparan dan Macao Government Tourism Office (MGTO) selama mengunjungi titik-titik wisata di Macao 23-28 Agustus kemarin.
“Sekarang cuma ada dua benteng yang bisa dikunjungi,” lanjutnya.
Cuma dua? Memangnya Portugal bikin berapa benteng di kota seluas 115 kilometer persegi ini?
“Ada tujuh,” kata Fok. Masing benteng untuk masing-masing musuh dan situasi yang berbeda, katanya. Portugis di Macao ratusan tahun yang lalu punya banyak musuh, dan bebatuan yang disusun tinggi yang dimahkotai meriam itu adalah manifestasi doa-doa minta selamat mereka.
Interior Kuil A-Ma. Di depannya, sebuah teluk menjadi tempat pertama kali Portugal berlabuh. "Tempat apa ini?" Portugis bertanya. "A Ma gao," dijawab pemuda lokal. Artinya Teluk A-ma. "Oh, Macao," pikir Portugis--tentu saja maksudnya bukan itu. Foto: Tio/kumparan
Kinerja kuping yang tak beres, ketidakmampuan melafalkan kata-kata warga lokal, atau sikap tak-mau-repot-dan-ya-udahlah-ya bangsa Eropa dahulu kala, kemungkinan besar, jadi sebab mengapa sebuah kawasan dinamakan demikian dan bukan yang lain.
Korea Selatan, misalnya. Mereka sendiri memanggil negara mereka dengan nama lain, yaitu Hanguk (한국, 韓國). Sementara Korea Utara memanggil dirinya Chosŏn (조선, 朝鮮). Kata Korea sendiri kurang lebih berasal dari Goryeo (atau Goguryeo), salah satu kerajaan dari Three Kingdoms of Korea (selain Baekje dan Silla) yang terdapat di daerah utara dan tengah Semenanjung Korea dari tahun 37 Sebelum Masehi sampai 668 Masehi.
Kanada, pun demikian. Yang didengar penjelajah asal Prancis Jacques Cartier pada 1535 tentulah bukan Kanada yang sekarang dilafalkan, melainkan “kanata” yang berarti “pedesaan” atau “permukiman”. Sementara yang dimaksud warga lokal dengan “kanata” adalah Desa Stadacona yang sekarang menjadi kota Québec, Cartier menggunakan kata Kanada buat keseluruhan wilayah yang didatanginya.
Rupanya, hal yang sama juga terjadi pada Macao. Suatu hari di 1553, kapal Portugis berlabuh di pantai persis di depan Kuil A-Ma di laut selatan China. Portugis, seperti semestinya, kemudian bertanya nama tempat tersebut ke warga lokal.
Warga sekitar sembari menunjuk-nunjuk Kuil A-ma yang sudah dibangun puluhan tahun sebelumnya menjawab “A ma gao”; yang arti harfiahnya adalah Teluk A-Ma. Kuil A-ma adalah tempat penghormatan pada dewi A-ma (Mazu), pelindung para pelaut dan nelayan. Portugal yang kemudian mendapat izin dari kekaisaran China mulai menggunakan titik tersebut sebagai pelabuhan dan mulai membangun kota bernama Macao.
Wisatawan di Reruntuhan St. Paul. St. Paul adalah tengara sejarah dan wisata paling penting di Macao. Ia dibangun oleh jesuit-jesuit asal Portugal dengan bantuan warga lokal dan Jepang. Foto: Tio/kumparan
Cerita selanjutnya sudah banyak diketahui. Portugal tinggal lama, membayar sewa kepada kerajaan China untuk menempati Macao, berjual beli dan bekerja sama dengan China, menghalau serbuan Belanda yang ingin menggantikan posisinya di Macao, menolak membayar uang sewa dan ganti berperang memerangi China, sampai akhirnya pada 1999 menyerahkan kembali Macao ke tangan pemerintah China.
Untuk menghadapi segala kemelut dan dinamika geopolitik Portugal di Timur Jauh, tujuh benteng dibangun Portugis di daratan Macao. Dibangun dalam tiga periode, benteng-benteng tersebut didirikan untuk menghadapi gelombang ancaman yang berbeda.
“Tiga benteng pertama didirikan di inner harbour (pelabuhan bagian dalam) yang merupakan pelabuhan untuk perdagangan,” ujar Fok.
“Kemudian pada periode kedua, mereka membangun dua benteng lain, untuk melindungi outer harbour (pelabuhan bagian luar). Benteng-benteng ini menghadap ke timur,” lanjut Fok.
Inner harbour yang dimaksud Fok adalah pesisir Macao daratan di sebelah barat, segaris dengan Teluk A-Ma tempat Portugal pertama datang. Sementara outer harbour adalah garis pantai di sebelah timur Macao yang menghadap Hongkong. Benteng-benteng di kedua sisi tersebut dibangun untuk menghalau kapal-kapal Eropa yang datang belakangan, utamanya Belanda.
Meriam-meriam mejan di Mount Fortress, Macao. Ada 32 jumlahnya. Foto: Tio/kumparan
Periode Pertama
Perebutan jalur dagang di Timur Jauh pada abad ke-16 bisa dibilang luar biasa berat. Selain Portugal yang menjadi kekuatan tradisional, Inggris, Spanyol, dan Belanda juga menjadi entitas yang tak kalah agresifnya. Tak heran, saat pertama kali tiba di Macao, benteng pertahanan untuk menghalau kapal-kapal bermeriam dari pasukan naval rival selalu jadi prioritas.
Barra, dalam Portugis, berarti “jalur masuk” menuju sebuah zona pelabuhan, dus menjadi bastion awal perlindungan inner harbour—satu garis pantai dengan Teluk A-Ma tempat Portugal pertama kali berlabuh. Berdasarkan The Voices of Macao Stones (1999) yang ditulis oleh Lindsay dan May Ride, Fortaleza De São Tiago Da Barra yang dibangun pada 1613 adalah benteng pertama yang dibangun Portugal di tanah Macao.
Awalnya, pembangunan benteng ini ditentang oleh China. China tak percaya dengan alasan Portugal, bahwa benteng ini digunakan untuk menghalau kapal Belanda yang akan menyusul. Mereka khawatir, bahwa benteng pertahanan ini jadi langkah awal penyerangan ke Mainland China.
Portugal, yang saat itu sadar bahwa kekuatan militer China sangat kuat, tak mampu berbuat banyak saat China menghambat pembangunan bentengnya. Bahkan pengerjaan benteng tersebut belum rampung saat Belanda menyerang Macao pada 1622. Baru setelah percaya bahwa ancaman dari rival Portugal nyata adanya, China membiarkan Portugal menyelesaikan pembangunan benteng tersebut.
Sejak 1970an, sisa-sisa benteng ini menjadi hotel dengan nama Pousada De São Tiago.
Museu de Macau yang berada di atas Mount Fortress. Di sebelah kiri, kamu bisa lihat salah satu penampilan Art Macao, yaitu Sanctuary. Foto: Tio/kumparan
Fortaleza de Monte, atau Benteng Gunung, adalah salah satu monumen sejarah terpenting di Macao. Berada dalam kompleks yang sama dengan Reruntuhan St. Paul, ia kini dipergunakan sebagai tempat Museu de Macau dan venue salah satu event tahunan Art Macao. Sejak 15 Juni hingga 6 Oktober 2019 nanti, Macau Museum masih akan menggelar Reminiscences of the Silk Road, yang memamerkan relik kultural dari Dinasti Xia Barat.
Namun demikian, hampir 400 tahun lalu, benteng ini (nyaris) merupakan pertahanan Portugal di Macao satu-satunya untuk menghadapi Belanda yang ingin menggantikan kuasa mereka. Dibangun oleh tenaga Jesuit yang telah berada di Macao bersama datangnya Portugal, benteng ini terdiri dari empat bastion dan sempat memiliki 32 meriam pada masa jayanya.
Guia Fortress, yang berada di perbukitan di kawasan São Lázaro, Macao, selalu menjadi elemen penting dalam upaya Portugal mempertahankan Macao dari serangan di Semenanjung Macao.
Ia, selain Fortaleza de Monte, memegang peran penting dalam menghadapi serangan Belanda pada 1622 meski jauh dari garis pantai dan terletak tinggi di perbukitan. Masih berdasarkan buku Lindsay dan May Ride, ia juga digunakan sebagai tempat tahanan orang-orang Belanda yang tertangkap setelah serangan 1622.
Kini, di dalam Guia Fortress ini terdapat sebuah kapel kecil tempat personel militer berdoa dan sebuah mercusuar yang baru dibangun pada 1865. Sejak pertengahan abad ke-19 tersebut, fungsi Guia sebagai benteng sudah berkurang dan lebih sebagai mercusuar serta pos pengawasan laut bagi masyarakat. Di situ, di atas benteng, terdapat sebuah lonceng raksasa dan penanda besar agar masyarakat tahu tamu apa yang datang dari laut—entah kapal dagang, pasukan perang, atau bajak laut.
Bunker di Guia Fortress. Selain untuk berlindung, bunker-bunker ini juga jadi penjara buat pesakitan Belanda yang tertangkap. Foto: Tio/kumparan
Periode Kedua
Memasuki periode kedua, utamanya setelah kekhawatiran Portugal akan serangan rivalnya dalam wujud kapal-kapal Belanda, dibangunlah benteng-benteng penguat di outer harbour, garis pantai Macao sebelah timur. Di situ pulalah Fortress of Bomparto dibangun.
Sempat direkonstruksi pada 1775 dengan penambahan 8 buah meriam, benteng tersebut tidak digunakan lagi sejak 1892. Saat ini, sisa-sisa benteng ini menjadi kompleks tempat tinggal Konsulat Jenderal Portugal untuk Macao dan Hongkong.
Sisa reruntuhan Bomparto Fortress di mana Rua da Praia do Bom Parto menjadi Jalan Avenida da Republica Foto: Dok. The Voices of Macao Stones
Dibangun hampir bersamaan dengan Fortress of Bomparto. Jika Bomparto menjaga sisi selatan Teluk Praia Grande, Sao Francisco menjaga utara teluk dan outer harbour. Saat ini benteng ini sudah rata dan menjadi permukiman, yang berada di belakang Hotel Lisboa.
Ilustrasi salah satu pertempuran dalam Perang Opium di Amoy. Foto: Wikimedia Commons
“Kemudian,” Fok melanjutkan kuliah 3 SKS soal Sejarah Benteng-benteng di Macao-nya, “dua benteng terakhir dibangun dengan melihat China sebagai ancaman.”
Mengapa kemudian Portugal menganggap China sebagai ancaman, padahal sebelumnya keduanya menjadi mitra yang strategis? Jawabannya adalah Inggris dan opiumnya.
“Inggris datang amat-amat terlambat. Saat Portugal telah menguasai Macao dan Belanda, yang setelah kalah di Macao masih mendapat sedikit potongan kue dari Taiwan, Inggris tak punya apa-apa untuk dijual. Perdagangan benar-benar dikuasai Portugal,” kata Fok.
“Inggris sadar mereka butuh sesuatu yang spesial yang bisa dijual untuk mendapatkan uang dari China. Lalu apa yang Inggris tawarkan? Gampang. Opium.”
Sebelum opium, China tak butuh apa-apa dari Inggris. China merupakan salah satu bangsa dengan ekonomi terbesar di dunia dan yang paling maju—setidaknya sampai Eropa datang di abad ke-16. Sementara Inggris mengalami defisit neraca perdagangan karena mereka cuma mengimpor teh, sutra, dan porselen yang semuanya dibuat dari China.
Fok Constantino, seperti seharusnya seorang pemandu wisata, suka berbicara. Untungnya ia sosok yang menyenangkan dan berpengetahuan luas. Foto: Tio/kumparan
Lalu, untuk menyeimbangkan neraca tersebut, berdasarkan jurnal karangan Muge Kalipci berjudul Economic Effects of The Opium Wars for Imperial China: The Downfall of an Empire (2018), Inggris mulai memasukkan opium yang dibuat di India secara ilegal. Pada akhir abad ke-17, penggunaan opium untuk leha-leha telah menjadi wabah yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat China.
Kerajaan China yang menyadari bahwa produktivitas masyarakat mereka berkurang karena demam candu ini kemudian melarang opium pada 1729. Hukuman diperkeras pada 1796. Tentu, larangan ini membuat Inggris tidak senang karena kehilangan sumber pemasukannya yang besar.
Atas dasar inilah, Inggris kemudian merespons pelarangan ini dengan memerangi China. Dus namanya, Perang Opium, pecah pada 1839. Tentu saja, masih menurut jurnal Kalipci, Inggris yang lihai telah membuat justifikasi terlebih dahulu untuk memulai serangan itu. Alasan serangan mereka: bahwa mereka melawan kebijakan isolasionis China yang melanggar prinsip perdagangan bebas sebagai dasar-dasar peradaban.
“Di Perang Opium, China kalah. Mereka menawarkan ke Inggris apa yang mereka mau. Inggris meminta Hongkong, yang kemudian diduduki tanpa uang sewa,” ujar Fok.
“Dari hasil perang itulah,” lanjutnya, “Portugal tahu bahwa China sudah tak kuat-kuat amat. Perdagangan mereka lewat Macao sedikit demi sedikit tergantikan oleh Inggris di Hongkong dan Belanda di Taiwan. Dari situlah, dimulai sikap permusuhan Portugis di Macao terhadap China.”
....yang membawa kita ke pembangunan benteng-benteng di Macao periode ketiga.
Kapal uap Inggris, Nemesis, menghancurkan kapal perang layar China. Foto: Wikimedia Commons
Periode Ketiga
Rencana pembangunan benteng ini diumumkan pada Oktober 1849, dua bulan setelah Gubernur Macao, Ferreira do Amaral, dibunuh pada Agustus 1849. Fortress of Mong Ha ini sendiri baru mulai dibangun dua tahun kemudian. Amaral adalah Gubernur Macao yang vokal terhadap kebijakan China pasca-Perang Opium yang amat menguntungkan Inggris.
Terganggu dengan kejayaan awal Inggris di Hongkong, mula-mula Amaral menghapus pajak dari seluruh perdagangan di Macao. Ia juga menutup Hoppo, Administrator Pajak kerajaan China, yang bertugas mengumpulkan pajak, ongkos pelabuhan, dan semacamnya. China menganggapnya sebagai usaha melepaskan diri Portugal dari China.
Hubungan memanas antara kedua negara yang berujung pada pembunuhan Amaral dengan China dicurigai sebagai dalangnya. Saat itu, Amaral yang sudah tak punya tangan kanan dalam perang melawan Brasil pada 1823, dibunuh oleh delapan orang dengan kondisi kepala dan tangan kirinya dipotong dan dibawa kabur.
Lukisan Benteng Dona Maria II oleh George Smirnoff, seperti terlihat pada 1945. Foto: Repro. Voices of The Macao Stones
Fortress of Dona Maria II adalah benteng terkecil yang dibangun di Macao. Ia terletak di sisi timur Macao, di garis pantai Areia Preta.
Benteng ini dibuat pada paruh akhir Opium War (1852), ketika Hongkong diduduki oleh Inggris dan Macao mulai kehilangan arti eksistensinya sebagai jalur perdagangan China ke Eropa. Ia sempat jadi sasaran pengeboman Angkatan Udara AS pada Januari 1943. Karenanya, ia rusak parah dan tak pernah benar-benar diperbaiki.
Guia Lighthouse, yang sebelumnya juga merupakan komplek Fortress of Guia, Macao. Sebuah kapel di sampingnya tengah direnovasi. Foto: Tio/kumparan
Saat ini, cuma dua dari tujuh benteng di Macao yang masih bebas dikunjungi, yaitu Mount Fortress dan Guia.
“Benteng De São Tiago sekarang digunakan sebagai hotel. Jadi sisa bangunannya ditutup dan mereka tidak membiarkan orang luar masuk. Kemudian, Benteng Francisco kini menjadi kantor polisi. Lalu bekas yang dulunya Fortress of Dona Maria II kini berada di dalam area sekolahan,” ujar Fok.
“Di tempat lain, mungkin kau melihat benteng-benteng yang dibangun benar-benar digunakan untuk bertempur. Tapi di Macao, kebanyakan dari mereka dibangun justru di daerah bukit-bukit hanya untuk memantau pergerakan kapal di kejauhan,” ujar Fok.
“Bahkan, dari tujuh yang dibangun, cuma satu yang pernah benar-benar digunakan, yaitu Mount Fortress,” katanya. Mount Fortress berada di bagian inner harbour, satu kompleks dengan bekas College of Madre de Deus dan Gereja St. Paul. Benteng tersebut hanya mengalami satu kali penyerangan yaitu saat menghadapi serbuan kapal-kapal Belanda pada 1622.
Ditanya mengapa bisa demikian, Fok menjawab singkat sambil tertawa, “Because no one came to fight us!