Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Salah satu yang unik dan kontroversial, yakni tradisi Baku Pukul Manyapu, atau biasa juga disebut dengan Tradisi Pukul Manyapu.
Dalam bahasa daerah Morella, masyarakat menyebutnya 'Palasa' atau 'Baku Pukul Manyapu' yang artinya saling memukul dengan sapu lidi. Tradisi turun temurun yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Mulanya atraksi ini merupakan perayaan keberhasilan pembangunan sebuah masjid tanpa menggunakan paku di Mamala. Alkisah, dulu ada seorang imam masjid yang bernama Imam Tuny.
Beliau pada saat itu berniat untuk mendirikan sebuah masjid, tetapi terkendala untuk menyambungkan kayu yang akan digunakan sebagai tiang penyangga. Setelah itu, beliau pun berdoa untuk meminta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta.
Alhasil, dalam mimpinya Imam Tuni diminta untuk menyambung kayu-kayu tersebut menggunakan minyak “Nyualaing Matetu” atau yang lebih dikenal dengan minyak “Tasala”. Minyak inilah yang kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang dipakai menyambung kayu-kayu tersebut.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan ini yang kemudian dirayakan setiap tanggal 7 Syawal (penanggalan kalender Islam) atau 7 hari setelah lebaran. Tradisi ini biasanya dilakukan di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Ambon, Maluku.
Selain sebagai simbol perayaan pembangunan masjid, tradisi Baku Pukul Manyapu juga diasosiasikan dengan perjuangan para tokoh di Maluku untuk mengusir para penjajah. Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka mengenang perjuangan Kapitan Tulukabessy, beserta pasukannya melawan penjajahan VOC Belanda dalam perang Kapahaha (1643-1646 M).
Kapahaha sendiri adalah bukit batu terjal di hutan Negeri Morela, yang merupakan benteng terakhir yang jatuh ke Belanda di Pulau Ambon. Sayangnya, beberapa pejuang pun tertangkap dalam penyerbuan itu dan disiksa sebagai tawanan di Teluk Satelu.
Pada momen tersebutlah, pukul sapu menjadi ungkapan spontan kesedihan atas perpisahan mereka. Kerasnya perjuangan serta perihnya pengorbanan para pejuang ini yang akhirnya menjadi cikal bakal tradisi ini.
ADVERTISEMENT
Tradisi untuk Mempererat Solidaritas Antar Sesama
Tradisi Pukul Manyapu juga menjadi bagian dari acara syukuran perdamaian antara warga Mamala dan Morella. Selain itu, tradisi ini juga dipandang sebagai alat untuk perekat tali silaturahmi antara kedua desa.
Atraksi tersebut diikuti oleh 20 peserta dari kedua desa yang saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Suling yang ditiup sebagai tanda mulainya kedua kelompok ini saling mengayunkan lidi. Hingga akhir pertandingan tidak nampak rasa sakit dari kedua kelompok ini dirasakan.
Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut mengobati lukanya dengan menggunakan obat alami, yakni dengan getah pohon jarak.
Ada juga yang mengoleskan minyak 'nyualaing matetu' (minyak tasala), minyak mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar. Dalam beberapa minggu, luka-luka tersebut akan sembuh tanpa berbekas.
Dari pertempuran itu, terdapat nilai filosofis, yaitu persaudaraan tidak memandang suku, agama, dan ras. 'Sakit di kuku, rasa di daging', yang artinya rasa senang maupun rasa sakit dapat dirasakan bersama, demi terwujudnya kehidupan yang harmonis antar sesama.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )