Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Batu Parsidangan, Ruang Rapat yang Jadi Asal Mula Pengacara Batak
22 Agustus 2019 7:34 WIB
Diperbarui 22 Agustus 2019 7:34 WIB
ADVERTISEMENT
Akhir bulan Juli lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) ditemani sang istri, Iriana, melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara , tepatnya ke Huta Siallagan yang berada di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kab. Samosir. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi dan ibu negara sempat diajak menjajaki Batu Parsidangan.
ADVERTISEMENT
Batu persidangan adalah sebuah komplek batu melingkar di Desa Adat Siallagan yang digadang-gadang sebagai jawaban mengapa pekerjaan sebagai pengacara biasanya didominasi oleh Suku Batak. Dalam akun Facebook resminya, Jokowi kemudian membagikan pengalaman sekaligus hikayat yang ia dapatkan saat berada di Batu Parsidangan melalui statusnya.
"Inilah kampung yang konon titik awal sejarah peradaban penegakan hukum di Samosir pada zaman dahulu kala. Keturunan raja ke-17 Siallagan, Gading Jansen Siallagan, mengisahkan, di kampungnya masih ada bekas “batu persidangan” -- berbentuk sebuah meja dengan kursi tersusun melingkar -- tempat sang raja mengadili pelanggar hukum adat," tulis Jokowi menirukan keterangan yang diberikan oleh Gading Jansen, yang masih keturunan Raja Siallagan tersebut.
Penasaran dengan asal-usul Batu Persidangan, kumparan kemudian menghubungi langsung St. Ir. Gading Jansen Siallagan yang merupakan keturunan XVII Raja Siallagan. Menurut penuturan Gading Jansen, Batu Persidangan atau yang lebih dikenal sebagai Batu Parsidangan oleh warga setempat adalah peninggalan dari Raja Siallagan sebelumnya.
Batu Parsidangan telah dibuat ratusan tahun lalu oleh Raja Siallagan terdahulu untuk mewadahi para warganya yang hendak melakukan diskusi atau rapat. Sebab, di masa lampau, tak semua warga punya rumah atau halaman rumah yang cukup digunakan keluarga besar untuk berdiskusi.
ADVERTISEMENT
Kata Parsidangan berasal dari bahasa Batak, yang berarti bersidang. Batu Parsidangan berarti batu yang disiapkan sebagai tempat untuk bersidang.
Selain bersidang, Batu Parsidangan dulunya digunakan sebagai ruang rapat untuk mengambil keputusan apapun kebutuhannya. Baik terkait konflik, merancang pesta pernikahan, hingga mempersiapkan acara kematian.
"Jadi gini ya, orang Batak itu suka rapat gitu, lho. Apa pun yang mau dilakukan selalu ada Pangarapotan (semacam rapat keluarga). Secara garis besar (rapat dalam keluarga) dikenal sebagai pangarapotan. Pangarapotan untuk orang yang meninggal disebut Marria Raja, sementara buat pernikahan, namanya lebih dikenal sebagai Martonggo Raja" jelas Gading saat dihubungi kumparan pada Selasa (13/8).
"Nanti dipanggil dulu pamannya (hula-hula) kayak keluarga yang dianggap terhormat, tapi masih dalam satu keluarga. Biasanya dari garis keturunan si perempuan, seperti keluarga ibu, keluarga nenek, itu dikatakan sebagai hula-hula," lanjutnya.
Rapat yang dilakukan seluruh anggota keluarga bersama tetua atau pemuka adat di kampung tersebut akan menghasilkan rancangan acara. Mulai dari tugas pihak masing-masing keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, lokasi pernikahan, dan seperti apa acaranya akan dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan pernikahan, persiapan acara kematian pun hampir serupa. Dalam rapat, keluarga besar akan mendiskusikan waktu penguburan jenazah, harus atau tidaknya pembuatan pesta kematian, lokasi kuburan yang akan digunakan, hingga status almarhum yang meninggal secara adat.
Pria yang dikenal pula sebagai Tunggane ni Huta tersebut mengungkapkan bahwa dalam adat Batak, jenazah yang hendak dikuburkan mesti melalui serangkaian adat tertentu. Yang prosesnya juga tak bisa sembarangan diputuskan, sebab harus melalui kesepakatan keluarga, sehingga seluruh pihak dapat memiliki satu suara dan tidak menyalahi adat.
"Karena dalam adat Batak, ada empat jenis sebutan bagi orang Batak yang meninggal, masing-masing punya jenis acara dan prosesi yang berbeda-beda juga. Misalnya orang yang meninggal punya anak tetapi anak-anaknya belum menikah, maka menurut adat dan tetua kampung, saat hendak dikuburkan, jenazahnya tidak boleh ada musik dalam acaranya, cuma boleh berdoa saja.
ADVERTISEMENT
Kemudian naik lagi tingkat kedua, Sari Matua, Sari itu berarti masih ada yang dipikirkan, jadi anak-anaknya ada yang sudah kawin dan ada juga yang belum. Lalu naik level lagi, Saur Matua, itu sudah sangat tua. Saur Matua itu bagi almarhum yang anak-anaknya sudah menikah semua, sudah memiliki cucu," terangnya.
Mengapa harus diputuskan bersama? Karena penetapan tingkat status jenazah secara adat juga akan mempengaruhi posisi tangan almarhum saat hendak disemayamkan. Hal-hal inilah yang menjadikan penduduk bersuku Batak kerap butuh waktu dan ruang tersendiri untuk melaksanakan rapat atau diskusi.
Batu Parsidangan berlokasi tepat di tengah-tengah Huta Siallagan. Melingkar mengelilingi sebuah meja bulat di hadapannya dan di sekelilingnya terdapat patung-patung yang juga terbuat dari batu.
ADVERTISEMENT
Tak semua orang boleh duduk di Batu Parsidangan, hanya orang-orang tertentu seperti tetua adat saja yang diperbolehkan. Atau juga orang-orang dari pihak keluarga yang hendak melakukan diskusi, itu pun tak semuanya. Meski begitu, di masa kini, Gading terpaksa membatasi penggunaannya dan memagari kawasan Batu Parsidangan.
Langkah ini ia lakukan untuk menjaga aset budaya yang kian lama kian rapuh. Apalagi beberapa waktu lalu, ia pernah mendapati kepala patung tersebut putus saat ada tamu yang datang berkunjung. Selain itu, Gading juga beralasan bahwa beberapa kali tamunya pernah kerasukan roh astral saat tengah berada di Batu Parsidangan.
"Di dekat Batu Parsidangan itu ada satu pohon besar. Di kepercayaan orang Batak dulu, kalau ada orang yang meninggal, rohnya tinggal di situ. Jadi memang dulu begitu katanya. Mungkin kalau orang datang masuk ke situ dengan pikiran kosong atau berkata-kata enggak baik, bisa (kemasukan). Makanya sekarang kami pagar, agar orang tidak sembarangan begitu," jelas Gading.
ADVERTISEMENT
Di masa kini, Batu Parsidangan tak lagi dipergunakan untuk bersidang, karena persoalan menyangkut hukum di masa kini sudah memiliki ranahnya sendiri. Diselesaikan secara hukum pula oleh pengadilan. Sementara konflik yang menyeret kepentingan pihak luar akan dibantu oleh kepala desa.
"Kecuali ada yang menyangkut Marga Siallagan, baru manggil saya. Biasanya kalau dengar saya datang (yang bertikai) langsung diam. Karena dia tahu, saya adalah keluarga tertua di kawasan tempat tinggal mereka," tutupnya.