Beda dengan Sekarang, Ini Nama Daerah di Indonesia Pada Masa Kekuasaan Belanda

8 Maret 2021 8:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pengamanan di Monumen Nasional (Monas). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengamanan di Monumen Nasional (Monas). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Kedatangan Belanda di Indonesia menjadi sejarah panjang negeri ini dalam mencapai kemerdekaan. Menurut sejarah, Ibu Pertiwi mengalami penjajahan Belanda selama 350 tahun lamanya. Selama itu, beberapa daerah di Indonesia telah dijajaki oleh negara kolonial tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam masa kekuasaannya hingga Indonesia berhasil merenggut kemerdekaannya, Belanda telah meninggalkan sejumlah warisan. Salah satunya yakni kota dengan tata ruang yang dikelola negara tersebut.
Sebagian besar wilayah tersebut sempat memiliki nama yang identik dengan identitas Belanda. Berikut kumparan rangkum nama-nama tempat di Indonesia pada zaman Belanda, sebelum akhirnya berubah menjadi nama daerah yang kita kenal saat ini.

1. Jakarta

Ilustrasi senja di Kota Tua Jakarta Foto: Shutter Stock
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta meninggalkan bekas jajahan Belanda yang cukup banyak. Mulai dari bangunan, kuliner, sejarah, hingga nama kota ini sendiri.
Selama 493 tahun berdiri, Ibu Kota Indonesia ini telah berganti nama hingga 13 kali sejak zaman penjajahan. Pada abad ke-14, Jakarta lebih dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Nama itu melekat karena wilayahnya memang masuk ke teritorial Kerajaan Padjajaran.
ADVERTISEMENT
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang terkenal di masa tersebut. Portugis kemudian memasuki wilayah Malaka pada tahun 1511, hingga akhirnya mengeklaim Sunda Kelapa pada tahun 1522.
Pada 22 Juni 1527, Fatahillah dari Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Dia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Sejak saat itu, tanggal tersebut selalu menjadi hari peringatan kelahiran Kota Jakarta. Jayakarta yang berarti Kota Kemenangan diberikan, karena berhasil mengusir penjajah Portugis yang menguasai Kerajaan Padjadjaran.
Ilustrasi Monas Foto: Shutter stock
94 tahun berselang, tepat pada 4 Maret 1621, Belanda kembali mengganti nama Jayakarta menjadi Stad Batavia atau yang dikenal dengan Kota Batavia. Mulai 1621 hingga 1945, Stade Batavia mengganti namanya tiga kali, yaitu Gemeente Batavia, Stad Gemeente Batavia, dan Jakarta Toko Betsu Shi.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya,pada September 1945 setelah Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaan, pemerintah mengganti nama Jakarta Toko Betsu Shi menjadi Pemerintah Nasional Kota Jakarta. Namun, saat masa pemerintahan federal Republik Indonesia Serikat, Pemerintah Nasional Jakarta diubah kembali menjadi Stad Gemeente Batavia.
Tak puas dengan nama tersebut, sejak 1950 hingga 1961 Stad Gemeente Batavia mengalami perubahan nama sebanyak tiga kali, mulai dari Kota Praja Jakarta, Kota Praja Djakarta Raya, hingga Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Hingga akhirnya, pada 31 Agustus 1964, Daerah Khusus Ibukota Jakarta resmi ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta. Setelah masa reformasi, tahun 1999 hingga kini nama Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta resmi digunakan.
ADVERTISEMENT

2. Batusangkar

Ilustrasi Istana Pagaruyung Foto: Dok. Wikimedia Commons
Batusangkar adalah sebuah kota yang terletak di dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang sempat dikuasai kolonial. Banyak yang menyebut, asal-usul nama Batusangkar di ambil dari kata batu dan sangkar.
Namun, hingga kini sejarah tersebut belum membuktikan keberadaan batu dalam sangkar. Sebelum bernama seperti yang dikenal sekarang, daerah ini dikenal sebagai Fort Van der Capellen pada masa kolonial Belanda. Nama itu disematkan pada daerah Tanah Datar ini, lantaran berdirinya sebuah benteng pertahanan Belanda yang didirikan sewaktu Perang Padri.
Benteng ini dibangun antara 1822 dan 1826 dan dinamai menurut nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.A.G.Ph. van der Capellen. Kawasan ini secara resmi berganti nama menjadi Batusangkar pada tahun 1949, menggantikan nama yang diberikan oleh Belanda selama penjajahannya.
ADVERTISEMENT

3. Bogor

Sejumlah pengunjung berwisata di kawasan Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Minggu (1/11). Foto: Arif Firmansyah/ANTARA FOTO
Sama seperti Jakarta, Bogor menjadi wilayah Indonesia yang memiliki bekas jarahan Belanda yang tak terhitung jumlahnya. Pada masa jarahan Belanda, Kota Hujan ini dikenal dengan sebutan Buitenzorg yang berarti "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram".
Namun, karena nama yang disematkan oleh Belanda ini sulit diucapkan oleh masyarakat setempat, sehingga kata 'Buitenzorg' diucapkan menjadi Bogor. Nama Buitenzorg disematkan Belanda kepada Kota Bogor sebagai bahan promosi wisata kepada wisatawan mancanegara.
Seorang penulis asal Belanda dalam bukunya yang terbit pada 1912, menceritakan bahwa tamasya ke Bogor menjadi suatu kebiasaan warga Belanda dan orang-orang kaya yang tinggal di Batavia, guna menghabiskan akhir pekan selama musim panas. Salah satu lokasi yang banyak dikunjungi para kolonial saat berlibur di Bogor adalah Hotel Bellevue di kaki Gunung Salak.
ADVERTISEMENT

4. Puncak Jaya, Papua

Ilustrasi Puncak Jaya, Papua Foto: Dok. Wikimedia Commons
Puncak Jaya atau Carstensz di Papua adalah puncak impian para pendaki gunung dunia. Puncak Jaya berada pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut. Puncak Jaya merupakan satu-satunya gunung di daerah tropis yang masih memiliki gletser.
Puncak Jaya tergolong salah satu puncak tertinggi di dunia, menyusul Puncak Himalaya dan Puncak Andes. Gletser yang masih dijumpai di Puncak Jaya merupakan peninggalan Zaman Es.
Pada masa itu, Puncak Jaya merupakan suatu kawasan pegunungan yang hampir seluruhnya berselimut salju. Sampai dengan tahun 1962, tak ada seorang pun yang bisa mendaki sampai ke Puncak Jaya.
Nama lain puncak ini seperti tercantum di banyak peta dunia adalah Puncak Carstensz atau Carstensz Top. Nama Puncak Jaya adalah kependekan dari Puncak Jayakesuma.
ADVERTISEMENT
Nama resmi itu diberikan pada puncak ini setelah Papua kembali ke pangkuan Tanah Air. Suku Amungme pemilik hak ulayat menamakan puncak bersalju ini Nemangkawi Ninggok yang berarti puncak anak panah berwarna putih.
Sebenarnya, nama yang paling sesuai untuk salah satu puncak tertinggi di dunia ini adalah Nemangkawi Ninggok. Karena nama inilah yang diberikan oleh Suku Amungme.
Nama Puncak Carstensz sendiri bermula pada tahun 1623. Pelaut Belanda, Jan Carstensz, dalam pelayarannya yang melintasi pantai selatan Laut Arafura melalui teropongnya menyaksikan adanya puncak-puncak yang diselimuti salju.
Laporan perjalanannya menjadi bahan cemoohan orang-orang Eropa. Mereka sulit menerima kenyataan bahwa di suatu tempat di daerah tropis dekat khatulistiwa bisa ditemui keberadaan salju. Puncak yang dilihat olen Carstensz tersebut kemudian diberi nama Puncak Cartensz.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).