Berkenalan dengan Haenyeo, ‘Putri Duyung’ Asli Korea Selatan

5 Januari 2019 8:59 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Potret Salah Seorang Haenyeo (Foto: Flickr / Victor)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Salah Seorang Haenyeo (Foto: Flickr / Victor)
ADVERTISEMENT
Cerita putri duyung memang selalu menarik perhatian bagi sebagian orang. Termasuk kisah Ariel dalam film The Little Mermaid yang digemari anak-anak.
ADVERTISEMENT
Bila Ariel hanya merupakan tokoh fiksi di film animasi, berbeda lagi dengan Korea Selatan yang mempunyai 'punya putri duyung'. Namun, tak seperti tokoh Ariel, 'putri duyung' yang dimaksud disini adalah manusia yang sering sekali menyelam.
Ya, ia adalah Haenyeo, para penyelam wanita asal Jeju, Korea Selatan.
Haenyeo di Perairan (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Haenyeo di Perairan (Foto: Wikimedia Commons)
Istilah Haenyeo sendiri memiliki arti ‘wanita laut’, yang mengacu pada wanita di Jeju, berusia 80-an yang mencari nafkah dengan menyelam. Mereka terjun ke laut sedalam 10 meter, setiap hari, untuk mengumpulkan rumput laut, bulu babi, gurita, kerang dan abalon.
Sebelum turun ke air, mereka akan melakukan ‘ritual’ menahan napas selama dua menit. Kemudian disusul dengan berdoa kepada Jamsugut yaitu dewi laut untuk meminta keselamatan dan hasil tangkapan yang berlimpah.
Wanita Penyelam di Jeju Berhasil Menangkap Gurita (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Wanita Penyelam di Jeju Berhasil Menangkap Gurita (Foto: Wikimedia Commons)
Dahulu para penyelam wanita ini masuk ke dalam air hanya dengan menggunakan katun buatan sendiri. Namun, pada 1970-an, akhirnya mereka baru menggunakan pakaian selam. Walau begitu, kini mereka masih menyelam tanpa menggunakan peralatan selam, lho.
ADVERTISEMENT
Biasanya Haenyeo bekerja selama enam atau tujuh jam di laut. Kemudian beberapa jam lainnya digunakan untuk bekerja di rumah atau pertanian.
Hasil Tangkapan Haenyeo (Foto: Flickr / loonytrickster)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil Tangkapan Haenyeo (Foto: Flickr / loonytrickster)
Para penyelam Jeju dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok berdasarkan tingkat pengalaman mereka, yaitu Hagun untuk pemula, Junggun merupakan perantara, dan Sanggun mereka para ahli yang menawarkan bimbingan kepada yang lain.
Walau kini pekerjaan tersebut dilakoni oleh perempuan, ternyata pada abad ke-18 Haenyeo dikerjakan oleh kaum adam. Dilansir dari thevintagenews.com, ada beberapa penjelasan mengapa hal itu bisa terjadi.
Pertama, catatan sejarah menunjukkan selama abad ke-17 banyak pria yang meninggal di laut karena kecelakaan perang dan penangkapan ikan. Melihat hal ini mau tak mau para wanita harus mengambil alih untuk menyelam.
Haenyeo Merupakan Penyelam Wanita Dari Jeju, Korea Selatan (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Haenyeo Merupakan Penyelam Wanita Dari Jeju, Korea Selatan (Foto: Wikimedia Commons)
Penjelasan lain menyebutkan jika kala itu laki-laki diharuskan menjadi tentara raja. Sedangkan perempuan tetap harus membayar pajak. Sama seperti alasan pertama, karena tak punya pilihan lagi, perempuan Jeju akhirnya menyelam, agar bisa membayar pajak dan kebutuhan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, dahulu menjadi Haenyeo sangat menggiurkan. Bahkan sampai timbul kepercayaan jika seorang pria menikah dengan sebuah keluarga yang mempunyai setidaknya satu Haenyeo, dirinya tidak harus bekerja.
Dikutip dari The Culture Trip, hal ini dikarenakan di tahun 1970-an lalu Korea Selatan melakukan ekspor makanan laut ke Jepang secara besar-besaran. Pada masa emas ini lah para penyelam sangat diuntungkan.
Haenyeo, Penyelam Wanita dari Jeju (Foto: Flickr / Frank Hansen)
zoom-in-whitePerbesar
Haenyeo, Penyelam Wanita dari Jeju (Foto: Flickr / Frank Hansen)
Tradisi menyelam ini juga diturunkan di koperasi perikanan lokal, sekolah, dan keluarga dari ibu ke anak. Namun karena pekerjaannya keras dan berbahaya, perempuan muda lebih suka bekerja di resor hotel dari pada menyelam di laut.
Dilansir New York Times, sekitar 21 persen wanita Jeju adalah penyelam profesional pada awal 1960-an. Sayangnya menyusut menjadi sekitar 4.500, dari 26.000 di tahun 1960-an, dengan 84 persen dari mereka berusia 60 atau lebih.
ADVERTISEMENT
"Sebagian besar Haenyeo akan hilang dalam 20 tahun kecuali kita memiliki ‘anggota' baru," kata Yang Hi-bum, seorang pejabat pemerintah Jeju.
Dengan sejarahnya yang panjang, tak heran bila Haenyeo masuk dalam daftar UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari Korea pada tahun 2016.