Cerita Kaum Sapeur di Kongo yang Rela Habiskan Rp 28 Juta Hanya demi Jas

20 April 2022 12:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaum Sapeur di Kongo yang rela enggak makan asal fashionabel.
 Foto: Katja Tsvetkova/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kaum Sapeur di Kongo yang rela enggak makan asal fashionabel. Foto: Katja Tsvetkova/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kaum Sapeur di Kongo tidak hanya dikenal sebagai penggila fesyen yang rela melakukan apa saja hanya demi sebuah gaya hidup. Selain rela enggak makan, mereka juga tak sungkan untuk menghabiskan uang hingga jutaan rupiah hanya demi pakaian agar tampil necis seperti cerita pria satu ini.
ADVERTISEMENT
Tariq Zaidi, penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, seorang Sapeur rela menabung selama bertahun-tahun demi mengumpulkan uang hingga 2.000 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 28 juta. Tabungan mereka itu kemudian digunakan untuk membeli sebuah jas trendi rancangan desainer ternama.
Ilustrasi perempuan di Kamerun, Afrika Foto: Shutter stock
Bukan tanpa alasan, kaum Sapeur tak sudi untuk memakai barang palsu. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka menabung sedikit demi sedikit sampai memiliki cukup uang untuk membeli setelan jas yang mereka idam-idamkan.
"Mereka lebih suka menghabiskan 100-200 dolar AS (Rp 1,4-2,8 juta) untuk membeli kemeja daripada menabung untuk membeli rumah atau mobil atau sepeda motor," kata Zaidi, dalam sebuah wawancara dengan Vogue Scandinavia.

Pinjam Uang hingga Ratusan Juta Rupiah

Ilustrasi pernikahan di Kongo. Foto: lydia/Shutterstock
Di sisi lain, ada juga Sapeurs yang rela merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Hal itu dilakukan oleh seorang pensiunan bernama Severin Mouyengo. Ia mengaku meminjam uang sekitar 6.000-8.000 dolar Amerika Serikat (AS) atau hampir 86-114 juta.
ADVERTISEMENT
“Saya Sape setiap hari. Itu membuat saya lupa segalanya,” kata Mouyengo, seorang pensiunan penganut gaya hidup La Sape seperti dikutip BBC.
"Ini membawa kedamaian dan ketenangan bagi semua orang. Saya tidak melihat bagaimana orang di La Sape bisa melakukan kekerasan atau berkelahi. Perdamaian sangat berarti bagi kami," imbuhnya.
Mereka melakukan hal itu karena apabila salah satu di antara mereka ketahuan menggunakan barang KW atau palsu, maka hal tersebut dianggap sebagai suatu penghinaan. Untuk itu, para Sapeur dilarang menggunakan barang KW atau palsu.
Selain itu, prioritas mereka bukan kestabilan ekonomi, tapi tampil trendi dan kalau bisa menjadi trend-setter di komunitasnya.
Mereka juga sering bertukar pakaian agar bisa tampil sesuai dengan yang mereka inginkan. Kalau ada satu orang memiliki dasi Chanel dan yang lain kemeja Dior, mereka dapat bertukar atau meminjam pakaian satu sama lain secara gratis.
ADVERTISEMENT
Zaidi juga menambahkan La Sape yang dalam bahasa Prancis berarti La Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People sudah dianggap seperti 'agama' oleh banyak pengikutnya. Mereka tidak perlu memiliki motivasi khusus untuk menjadi Sapeur.
"Saya mendengar dari beberapa Sapeur juga bahwa ini adalah gaya hidup: beberapa orang menyukai sepak bola, yang lain menyukai Sape. Ada bar dan klub khusus Sapeur di setiap distrik, dan ada pengelompokan Sapeur di lingkungan sekitar. Ada juga kompetisi yang bersahabat, yang mendorong Sapeur untuk tampil dengan desain yang lebih menarik dan unik," pungkasnya.