Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
ADVERTISEMENT
Banyuwangi pernah tersohor sebagai daerah yang memiliki banyak ajian hingga sempat dijuluki Kota Santet. Mantra dan segala rupa ajian bisa dibilang cukup lekat dalam khazanah kebudayaan Indonesia, termasuk di Banyuwangi yang tengah diusulkan menjadi Kota Festival.
ADVERTISEMENT
Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, pada kumparan menjelaskan bahwa,"Mantra-mantra itu kan tinggalan daripada sastra lisan sebenarnya yang harus dirapalkan dan diyakini segala macem."
Salah satu mantra yang dikenal adalah Jaran Goyang. Ajian ini, dikutip dari laman budaya-indonesia.org, salah satu ilmu pelet atau ajian pesona yang dahsyat dari tlatah Bumi Blambangan. Ajian hanya bisa dinetralkan dan disembuhkan oleh si pemilik atau pengirim ajian tersebut.
Ia yang terkena ajian ini akan kasmaran sejadi-jadinya, jatuh cinta segila-gilanya. Kedahsyatan ajian ini bahkan dikiaskan melalui unen-unen (pepatah dalam bahasa Osing) dengan Dhung keneng Jaran Goyang, ukure nyuwun gumbal. Artinya kurang lebih adalah kalau terkena ajian Jaran Goyang, pendek kata orang akan lupa diri seperti orang gila.
ADVERTISEMENT
Ajian ini, menurut budayawan Hasnan Singodimayan, merupakan bentuk resistensi. Sebab ajian hanya akan digunakan bila seseorang merasa dihina, dilecehkan, dan dipermalukan oleh si lawan jenis yang disukainya. Jaran Goyang mengajarkan bahwa siapa yang menyakiti maka akan dibalas. Kisah ini mengajarkan kita untuk menolak cinta seseorang dengan cara baik-baik.
Terinspirasi dari kisah-kisah ajian Jaran Goyang, akhirnya pada tahun 1965-1966 seorang bernama S. Parman mewujudkannnya dalam rupa tarian. Masa itu merupakan transformasi pertama Jaran Goyang.
Buku berjudul Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Osing Banyuwangi menuliskan pada 1969 tarian ini, dengan pertimbangan seni pertunjukan, mengalami perubahan kembali. Tarian tak semata mewujudkan kisah penggunaan Jaran Goyang dalam lenggok tubuh, tapi juga bagaimana tari lebih memiliki nilai hiburan. Terlebih saat itu Jaran Goyang akan dipentaskan dalam PON VII di Surabaya pada 1969.
ADVERTISEMENT
Perubahan selanjutnya terjadi pada 1999 oleh Subari Sufyan. Jika semula tarian hanya dibawakan oleh dua orang, maka Subari Sufyan mengembangkannya dengan menambah satu peran.
Tari tersebut bernama Tari Jaran Goyang Aji Kembang yang mengisahkan cinta seorang laki-laki pada perempuan yang telah bersuami. Hingga terciptalah pertarungan antara kedua lelaki dalam memperebutkan perempuan.
Keseluruhan transformasi ini menunjukkan bagaimana ajian yang semula bersifat sakral diubah menjadi hiburan dalam sebuah seni pertunjukan.