1.jpg

Kain Ulos Khas Batak, Simbol Kehangatan Jiwa Bagi Pemakainya

21 Oktober 2020 10:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembuatan kain Indonesia, ulos.
zoom-in-whitePerbesar
Pembuatan kain Indonesia, ulos.
Indonesia dikenal luas sebagai negara yang kaya akan wastra. Dalam bahasa Sansekerta, wastra merupakan sehelai kain tradisional yang dibuat dengan menggunakan teknik tertentu, seperti ditenun ataupun melalui proses membatik. Karena kerumitan proses pembuatannya, wastra menghasilkan motif yang unik dan indah khas setiap daerah #DiIndonesiaAja.
Salah satu dari ratusan bahkan ribuan wastra di Indonesia adalah kain ulos asal Sumatera Utara. Kain tradisional ini dianggap sebagai salah satu benda sakral karena menjadi simbol restu, kasih sayang, dan pemersatu bagi Suku Batak. Kain yang berperan sebagai identitas orang Batak ini memiliki ratusan motif dengan makna dan filosofis yang berbeda.
Hampir semua ulos memuat pesan moral dan dianggap sebagai saluran berkat bagi pemakainya. Masyarakat Batak memaknai ulos sebagai parhitean, yang berarti saluran berkat bagi penerima atau pemakainya.
Dengan memberi ulos, artinya terselip doa untuk kebaikan. Makna kain ulos bagi orang Batak tak terlepas dari pelaksanaan adatnya. Keterlibatan kain ulos dalam kehidupan adat-istiadat masyarakat Batak sudah berlangsung selama ratusan tahun secara turun temurun.
Foto prewedding dengan menggunakan kain ulos.
Ulos sendiri memiliki arti kata selimut yang berfungsi menghangatkan tubuh. Dulu, ulos dipakai oleh nenek moyang orang Batak untuk melawan rasa dingin ketika mereka tinggal dan berladang di dataran tinggi. Kemudian, ulos dijadikan sebagai pemberian orang tua kepada anak-anaknya yang diharapkan dapat menghangatkan tubuh.
Kain ulos diberikan bukan karena status sosial. Tetapi, pemberian ulos menjadi suatu kewajiban yang sudah diatur oleh adat-istiadat. Selain itu, ulos juga diberikan pada saat-saat tertentu. Meski demikian, ulos tidak dapat diberikan berdasarkan status kedudukan keluarga seperti boru kepada hula-hula atau anak ke orang tua.
“Ulos ini diberikan berdasarkan stratifikasi kedudukan yang tinggi dalam keluarga. Misalkan dari orang tua ke anaknya atau hula-hula ke borunya. Tapi ini tidak bisa terjadi sebaliknya. Tidak bisa anak memberikan ulos ke orang tua ataupun boru memberi ulos ke hula-hula,” ujar Tokoh Desa Adat Batak sekaligus akademisi, Manguji Nababan saat dihubungi kumparan.
Adapun jenis kain ulos yang diberikan orang tua kepada anak mereka misalnya pada saat momen pernikahan. Orang tua akan memberikan ulos ragi hotang yang diberikan saat pernikahan.
Ulos ini diberikan oleh orang tua kepada boru (puterinya). Ulos ragi hotang memiliki corak rotan dan berwarna merah-putih. Corak rotan memiliki filosofi sebagai sesuatu yang kokoh, kuat dan tak putus.
Sementara, warna merah dan putih memiliki makna berani serta suci. Maka, makna pemberian ulos ragi hotang ini menjadi harapan bagi orang tua agar pernikahan boru tetap utuh hingga maut memisahkan.
Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti melihat pengrajin kain ulos di Dusun Siambat, Sumatera Utara, Kamis (12/3). .
Selain ulos ragi hotang, ulos tondi juga menjadi jenis kain yang dipergunakan sebagai pemberian orang tua. Ulos tondi atau yang sekarang dikenal dengan sebutan ulos mula gabe diberikan oleh orang tua atau saudara laki-laki (apabila orang tua sudah meninggal) kepada boru yang sedang hamil tujuh bulan.
Orang tua yang membawakan kain ulos mula gabe berharap nantinya proses melahirkan yang dijalankan anak mereka berjalan lancar. Di sisi lain, ulos mula gabe harus diberikan pada saat “parnakkot mataniari” atau tepat jam 12.00. Apabila ulos ini diberikan sebelum atau lewat jam 12.00, maka dipercaya akan terjadi hal negatif pada proses kelahiran tersebut.
Berikutnya, ada ulos sadum yang identik dengan warna dasar merah serta mempunyai motif bunga dan gorga yang sangat ramai. Ciri khas dari ulos sadum selalu memiliki frame atau bingkai bergaris gelap di setiap kedua sisinya.
Ulos sadum dimaknai oleh Suku Batak sebagai simbol suka cita dan pertanda motivasi penyemangat dalam suatu keluarga untuk melakukan segala aktivitas sehari-hari. Simbol suka cita itu kemudian diaplikasikan oleh para penenun ke motif ulos sadum.
Ulos ini biasanya dikenakan oleh ibu-ibu atau pun anak muda (perempuan dan laki-laki), baik di acara gereja maupun pernikahan. Selain itu, ulos sadum ini banyak digunakan untuk bahan pakaian, sehingga membutuhkan warna menarik.
Manguji mengatakan ulos sadum bukan berasal dari Toba, tetapi Angkola. Sebab, ulos toba cenderung berwarna hitam, merah, dan putih. Sementara, ulos sadum tidak memenuhi kriteria warna Batak dan tak ada perkembangan dari segi patron warna.
Anti Borusiahaan, penenun ulos di Desa Wisata Meat, Sumatera Utara. Foto: Andari Novianti/kumparan
Berikutnya adalah ulos sibolang atau yang dikenal sebagai “ulos ninamate” yang selalu digunakan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Ulos sibolang hanya memiliki satu warna dan corak, yakni hitam-garis vertikal.
Sebagai simbol duka cita, ulos ini menjadi penanda bahwa pemakainya adalah kerabat terdekat dari orang yang telah meninggal dunia. Contohnya, duda yang ditinggal mati oleh istrinya atau janda yang kehilangan suaminya. Bisa juga orang dewasa yang meninggal, tapi belum memiliki cucu juga disemayamkan dengan kain ini.
Manguji menyebut bahwa peran kain ulos sibolang saat sebagai kain duka mulai terkikis luntur oleh zaman sekarang. Sebab, warnanya yang hitam membuat ulos sibolang dianggap dapat digunakan dalam momentum apa pun. Bahkan, menurut penuturan Manguji, ulos sibolang kini menjadi benda pemberian alternatif di segala peristiwa.
Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti diulosin dengan kain ulos Pinunsaan di Dusun Siambat, Sumatera Utara, Kamis (12/3). Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Selanjutnya, ada ulos ragi hidup yang digunakan apabila memiliki cucu dari anak laki-laki. Sebab, marga dari orang tua (ayah) akan terus merasa ‘hidup’ apabila memiliki anak laki-laki bahkan hingga anak tersebut sudah menikah.
Ulos ragi hidup memiliki motif balok dalam bentuk vertikal maupun horizontal. Makna dari motif ini adalah bahwa orang yang menggunakan telah berkembang, karena telah memiliki cucu dari anak laki-lakinya sebagai penerus marga.
“Sesuai namanya, ragi hidup artinya motif hidup. Prinsip orang Batak itu adalah paternalis, jadi kalau sudah anak dan cucu, maka dapat menggunakan ulos ragi hidup. Sebab, kalau sudah memiliki anak dan cucu, maka ada garis keturunannya dan dia tetap hidup di generasi berikutnya,” tutur Manguji.
Sementara untuk puncak (kepala ulos), Manguji mengatakan itu adalah bagian dari ulos ragi hidup. Ia menjelaskan bahwa ulos memiliki badan yakni ragi hidup yang dikenakan di kiri dan kanan, serta puncak digunakan di kepala.
Marsita saat pembuat ulos dari Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Tak hanya untuk pernikahan maupun kematian, masyarakat Batak juga memiliki ulos pinan lobu-lobu yang khusus digunakan oleh perempuan. Manguji menuturkan alasannya karena menurut prinsip masyarakat Batak, perempuan adalah pemegang harta.
“Kenapa dibuat lobu-lobu? Tujuannya agar semua rezeki yang masuk tetap tersimpan. Lalu, alasan digunakan oleh perempuan karena apabila dia sudah memiliki suami dan mengandung, ibarat lobu-lobu, dia sudah memendam, mengeram, dan menyimpan benih. Hal tersebut merupakan anugerah dan dalam prinsip orang Batak, perempuan yang memegang harta dan laki-laki bertugas mencari,” kata Manguji.
Berikutnya, ada ulos ragi huting bermotif lembut dengan bintik kecil yang halus. Manguji mengungkapkan bahwa ulos ini harus dilihat secara dekat agar tampak keindahannya. Karena memiliki motif yang indah dan lembut, ulos ragi huting ini dapat digunakan oleh perempuan dan laki-laki di berbagai momentum seperti pernikahan maupun pesta hiburan.
Ulos berikutnya adalah ulos mangiring. Manguji menjelaskan ulos mangiring memiliki arti keindahan, sehingga sebagian besar kain ini didominasi warna merah dan maroon. Ulos mangiring juga memiliki filosofis beriring-iring, bekerja sama dan saling memperhatikan.
“Ulos mangiring memiliki filosofis beriring-iring dan biasanya digunakan oleh remaja. Menggiring itu artinya bekerja sama dan saling memperhatikan. Ibaratnya, kakak selalu memperhatikan adik dalam membimbing dan mendampingi,” ujarnya.
Saat ini, ada berbagai jenis kain ulos yang tidak diketahui banyak orang, seperti padang ursa, mangiring, bintang maratur, ulos boolean, ragi hotang, pinan lobu-lobu, ragi huting, sibolang pamutaring, ragi hidup. Kemudian tutur-tutur, tumtuman, ragi pakko, ragi harangan, ulos si suri suri ganjang, serta ulos si luotuo yang kini mulai tenggelam dan langka di pasaran.
Kain tenun Dame Ulos seharga Rp 9 juta (kiri) dan kain tenun seharga Rp 2,5 juta (kanan). Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Kini, ulos-ulos yang nyaris tenggelam di pasaran itu telah dipamerkan di museum-museum dunia, seperti museum di Leiden dan Stuttgart, Jerman. Bahkan, menurut Manguji, kain ulos yang kini beredar di pasaran bukanlah hasil tenun asli Sumatera Utara.
Para pengrajin ulos pun sekarang ini sangat sulit ditemui. Banyak produsen kain ulos yang menggunakan mesin demi meningkatkan kuantitas. Industri fashion misalnya.
Lebih lanjut, menurutnya pakaian di industri fashion yang diklaim terbuat dari kain ulos, bukanlah kain tenun ulos asli. Sebab, cara pembuatannya yang berbanding terbalik dengan hakikat ulos itu sendiri.
Menurut Manguji, kain ulos yang sebenarnya adalah kain yang pembuatannya melalui proses menenun menggunakan tangan, bukan menggunakan mesin. Bukan hanya itu, makna dan filosofis yang terkandung dalam kain ulos saat ini sudah mulai terkikis. Hal itu lantaran terjadinya pergeseran makna dari penggunaan dan pemberian kain ulos.
''Itu makanya saya katakan, dari segi filosofi ulos itu sudah sangat miskin. Ulos-ulos yang saya sebutkan tadi itu ulos-ulos yang ditenun dengan tangan. Dan makna ulos sekarang kan sudah terjadi pergeseran pemaknaan ulos karena yang memberikan ulos sekarang sudah tidak tepat lagi, siapa mengirim ke siapa,'' ujar Manguji.
Rumah pengrajin kain ulos.
Sementara itu, sebagai rumah pengrajin kain ulos, Desa Meat yang terletak di Kabupaten Toba Samosir telah menjadi bagian tubuh kain ulos Sumatera Utara. Desa Meat menjadi salah satu tempat untuk menyaksikan langsung pembuatan kain ulos secara tradisional.
Dari tangan-tangan wanita perajin ulos Desa Meat, kain khas Batak itu sudah terbang ke Selandia Baru, Perancis, dan Inggris. Pembuatan kain ulos secara tradisional memang dipertahankan oleh penduduk Desa Meat.
Di Desa Meat, pengunjung dipersilakan untuk melihat langkah-langkah membuat ulos dari proses pengerasan benang dengan nasi atau mangunggas, lalu makulhul atau memutar benang supaya bisa diikat.
Proses selanjutnya adalah manorha, memasukkan benang untuk ulos. Selanjutnya mangani, yaitu proses mencampurkan benang warna. Lalu martonun dan menarik untuk merapikan sisi kain ulos agar tidak terurai.
Desa Wisata Meat juga menawarkan ulos dari bahan dasar benang gulung dengan harga yang terjangkau. Satu helai kain dihargai mulai Rp 400.000, sedangkan kain yang sudah masuk di pasar harganya bisa dua kali lipat.
Bagaimana, apakah kamu tertarik menjadikan kain ulos khas Suku Batak sebagai pemberian pengantar berkat untuk kerabat, dan sanak saudara? Jangan lupa juga mampir ke Sumatera Utara saat liburan #DiIndonesiaAja, ketika nanti pandemi usai, ya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten