Komitmen UNESCO-Indonesia Pertahankan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia

24 Mei 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menparekraf Sandiaga Uno saat melakukan kunjungan kerja di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (3/5/2024). Foto: Dok. Kemenparekraf RI
zoom-in-whitePerbesar
Menparekraf Sandiaga Uno saat melakukan kunjungan kerja di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (3/5/2024). Foto: Dok. Kemenparekraf RI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bersama Pemerintah Indonesia akan tetap berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian sistem pengairan pertanian Bali atau yang biasa disebut subak, sebagai bagian dari warisan budaya dunia.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikatakan Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu, saat menyampaikan sambutan dalam diskusi bertajuk “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management”, pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10, di BICC, Nusa Dua, Bali, belum lama ini.
Xing Qu mengatakan bahwa sistem irigasi Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini, karena dijaga secara turun temurun.
"Pada 29 Juni 2012 UNESCO menetapkan bahwa Subak sebagai warisan budaya dunia, dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya," ujar Xing Qu, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima kumparan.
Subak yang dikelola masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan), dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia.
ADVERTISEMENT
"Salah satu upayanya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air, demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak," kata Xing Qu.
Saat ini menurut Xing Qu, ada sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi, serta edukasi tentang bagaimana memanfaatkan air secara bijak. Sejumlah inisiatif itu di antaranya dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas. Upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke-10 di Bali.
"Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Xing Qu pun menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air. Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali itu selalu melekat dengan air.
Oleh karena itu, jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini akan menjadi ancaman. Nantinya, dampak krisis air tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global.
Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air sudah melekat di masyarakat Indonesia.
Selama ribuan tahun, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan. Kearifan lokal ini menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan menjadi pembelajaran, serta bisa berkontribusi bagi masyarakat global.
ADVERTISEMENT
"Apabila kita mau mempelajari khazanah itu dengan baik, saya yakin, kita semua akan bisa menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini. Bali telah memiliki basis nilai pengelolaan air, yakni solidaritas dan konektivitas. Mereka yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu, juga harus bisa berterima kasih dengan masyarakat di hulu," ujar Hilmar.