Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Makna, Mitos, dan Sejarah Panjang dari Hadirnya Sabung Ayam di Indonesia
5 Maret 2023 7:59 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Percayakah kamu saat ada yang mengatakan keberadaan sabung ayam memiliki sejarah panjang di Indonesia ? Mungkin karena itulah alasan munculnya mitos ayam jantan yang lekat pada kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Kira-kira seperti apa sejarah tentang sabung ayam di Indonesia? Atau bahkan itu semua hanyalah mitos belaka? Berikut perjalanan sabung ayam di Indonesia.
Dilansir berbagai sumber, pada awal April 1958, ada seorang antropolog bernama Clifford James Geertz, yang sedang meneliti di desa terpencil di Bali .
Clifford James Geertz yang terkenal dengan karyanya berjudul "Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali" itu, datang bersama istrinya dan kaget, karena melihat kedatangan polisi untuk menggerebek judi sabung ayam.
Pengalaman itu ia tuliskan lewat esai terkenalnya yang diberi judul "Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight". Tulisan tersebut menjadi salah satu artikel terpenting dalam bukunya yang berjudul "The Interpretation of Culture: Selected Essaysi".
Dalam esai itu, Greetz menuliskan bahwa kelihatannya ayam-ayam jagolah yang bertarung di sana, padahal sebenarnya para pemiliknya yang bertarung.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut Greetz di balik sabung ayam, ada suatu bangunan kultur yang besar tentang status, tentang kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang menjadi dasar pembentukan budaya Bali.
Terlebih lagi, menurutnya ini bukan hanya sekadar judi, melainkan juga merupakan simbol ekspresi dari status, otoritas, dan lain sebagainya.
Namun, jika bicara konteks lokalitas Bali, sayangnya Geertz tidak memaparkan perbedaan makna antara sabung ayam dalam bentuk "tetajen" dan "tabuh rah".
Tentu keduanya memiliki makna dan konteks yang berbeda. Kalau Tetajen adalah ritus sosial yang bersifat profan berupa perjudian, sedangkan tabuh rah ialah ritus yang bersifat sakral dan keagamaan.
Selain Greetz, ada Thomas Stamford Raffles yang menulis tentang sabung ayam dan terbit di dalam The History of Java pada tahun 1817. Di dalamnya bertuliskan bahwa sabung ayam adalah perlombaan yang umum di masyarakat Jawa.
Biasanya, sabung ayam dilakukan dengan menggunakan ayam jago. Nama jago pada ayam itu diduga berasal dari bahasa Portugis "jogo" yang berarti permainan.
ADVERTISEMENT
Konon, istilah itu digunakan, karena permainan sabung ayam di Indonesia sangat disukai oleh orang Portugis.
Ada lagi yang menuliskan tentang sabung ayam ini, yaitu Anthony Reid lewat karyanya yang berjudul "Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Lands Below the Winds".
Menurutnya, sabung ayam mirip dengan pertarungan spektakuler, seperti adu gajah atau harimau yang biasanya diadakan untuk memeriahkan acara kerajaan di kota-kota Asia Tenggara.
Ia juga mengatakan bahwa di masa lalu, ayam menjadi hewan yang sering diadu sebagai simbol kemeriahan atau kebesaran wajah kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Sedangkan masyarakat Jawa yang mengenal folklore Cindelaras ini percaya bahwa ada sejarah di zaman Kerajaan Jenggala abad ke-11, yang bercerita perihal sabung ayam dan relasinya dengan simbol kuasa.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, masyarakat Sunda mengenal sabung ayam dari cerita yang ditemukan pada folklore Ciuang Wanara, yang sejarahnya berada di zaman Kerajaan Galuh abad ke-8.
Keduanya memiliki cerita yang sama, yaitu tentang putra raja yang terbuang, dan ditakdirkan bertemu lagi dengan ayahnya yang notabenenya seorang raja, melalui sabung ayam.
Kalau folklore dari masa lalu itu dijadikan sumber rujukan sejarah, maka secara historis pemaknaan hadirnya ayam memiliki arti sebagai kekuatan.