Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Melihat Tradisi Gumbregan, 'Ulang Tahunnya' Hewan Ternak di Gunungkidul
21 Agustus 2024 17:19 WIB
ยท
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
"Raja kaya" atau hewan ternak menjadi sumber penghidupan bagi mayoritas warga masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. DIY. Dari hasil beternak ini mereka bisa hidup lebih sejahtera maupun menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Salah satu wujud syukur atas nikmat hasil peternakan dituangkan masyarakat Gunungkidul dalam tradisi gumbregan atau selamatan hewan ternak. Acara ini juga kerap disebut sebagai "hari ulang tahun" ternak.
Selasa (20/8) jelang petang, sejumlah anak di Pedukuhan Tanjung, Kalurahan Bleberan, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, berkumpul. Masing-masing dari mereka membawa baskom untuk makanan.
Sekelompok anak ini lalu mendatangi rumah-rumah pemilik ternak. Lalu, pemilik rumah membagikan nasi momongan yang berisi nasi, sayur urap, dan ketupat ke masing-masing anak.
Pemilik rumah lalu mengajak berdoa bersama. Doa usai, kini giliran parikan atau pantun yang disebut warga sebagai tembang. Pantun itu dibalas anak-anak dengan seruan "surakyun".
"Tembang ora, sopo sik nembang (pantun tidak siapa yang kasih pantun)," kata Edi Padmo salah satu warga pemilik hewan ternak.
ADVERTISEMENT
"Kembang kanthil, Gendis gaweane mentil (bunga kanthil, Gendis sukanya nyusu)," seru Edi Padmo.
"Surakyun," sahut para anak-anak.
Tak hanya satu rumah, anak-anak ini berkeliling ke rumah-rumah lain yang memiliki ternak.
"Gumbregan adalah budaya petani, jadi agraris. Budaya agraris di Gunungkidul untuk menghormati hewan ternak sebagai rekan petani," kata Edi Padmo.
Edi Padmo menjelaskan petani menganggap hewan ternak sebagai rekannya. Tak hanya hewannya saja, kotorannya pun bermanfaat bagi petani sebagai pupuk.
"'Raja kaya' sebagai tabungan. Kotorannya dibawa ke ladang untuk pupuk," jelasnya.
Lanjutnya, gumbregan ini sebagai bentuk kearifan lokal, soal keseimbangan. Edi Padmo mengatakan nenek moyang telah memiliki nilai-nilai luhur menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan lingkungannya.
"Ini bentuknya sodakoh. Bentuk rasa syukur yang paling tinggi adalah memberi atau sodakoh. Kenapa anak-anak ini, biar suasananya gembira. Jadi petani harus selalu gembira," bebernya.
ADVERTISEMENT
Teriakan "surakyun" yang dilantangkan anak-anak usai si empu rumah berpantun pun sebagai salah satu cara untuk bergembira.
Ngajinah, warga setempat, mengatakan gumbregan adalah tradisi selamatan hewan ternak. Para warga berharap hewan ternaknya tetap sehat dan bisa beranak pinak lebih banyak lagi.
"Yang dibawa ketupat sama urap. Ini sudah lama (tradisi), dari dulu. Diperingati delapan bulan sekali," kata Ngajinah.
Dia mengatakan semua warga yang punya hewan turut berpartisipasi. Nanti anak-anak keliling hingga ujung kampung.
"Nasinya ya dimakan manusia, tetapi hewannya juga dikasih urapnya sama nasi," jelas Ngajinah yang mempunyai lembu dan kambing ini.