Mengenal Dukha, Suku Penggembala Rusa Kutub Terakhir di Bumi

29 Oktober 2020 7:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
zoom-in-whitePerbesar
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
ADVERTISEMENT
Di tengah perkembangan era digital serba instan ini, ternyata masih banyak suku-suku asli di berbagai tempat di dunia yang memegang erat tradisi dan budayanya. Salah satunya adalah Suku Dukha atau yang juga dikenal orang-orang Tsaatans.
ADVERTISEMENT
Lebih dari ribuan tahun, suku ini mendiami pedalaman hutan di utara Mongolia. Menariknya, Suku Dukha dikenal sebagai suku penggembala rusa kutub terakhir yang ada di Bumi.
Dilansir CNN Travel, Suku Dukha merupakan suku nomaden yang kerap berpindah tempat. Suku ini akan berpindah dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya setiap tujuh hingga 10 minggu.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
Orang asli Rusia Siberia dan Mongolia yang tinggal utara jauh di Provinsi Khovsgol itu bergantung pada rusa bertanduk panjang untuk bertahan hidup. Tak hanya itu, rusa kutub merupakan hewan yang menjadi lambang budaya dan spiritual Suku Dukha.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan mereka di pedalaman terancam. Tradisi kuno yang mereka miliki pun berisiko tamat.
ADVERTISEMENT
"Mereka jelas adalah kelompok masyarakat yang kini tengah sekarat menghadapi era modern," kata antropolog dari Harvard, Hamid Sardar-Afkhami.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
Sardar, yang menghabiskan hidupnya dengan tinggal bersama orang Dukha sekaligus mendokumentasikan cara mereka bertahan, mengatakan bahwa sebelumnya ada 200 keluarga tinggal di daerah pedalaman di Mongolia. Namun, sekarang ini, ia memperkirakan hanya tersisa 40 keluarga dengan 1.000 rusa kutub.
"Jumlah keluarga menurun karena banyak di antara mereka memutuskan untuk tinggal dengan komunitas mainstream," kata Sardar.
Sardar mengungkapkan bahwa banyak di antara Suku Dukha yang pindah ke kota-kota, bahkan tinggal di ibu kota.
Tak hanya itu, ancaman terbesar yang dihadapi Suku Dukha adalah keengganan generasi mudanya yang menolak untuk tinggal di kondisi yang keras di Taiga atau hutan salju.
ADVERTISEMENT
"Mereka ingin turun gunung, tinggal di kabin hangat saat musim dingin. Mungkin membeli mobil dan mengendarainya," kata Sardar.
"Jelas itu adalah godaan terbesar dari kehidupan modern. Susahnya menjalankan kehidupan tradisional sebagai gembala rusa kutub jelas memainkan faktor," lanjut Sardar.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
Suku Dukha tidak hanya menghadapi ancaman modernisasi yang kian menggerus kebudayaan mereka. Namun, tempat tinggal mereka pun juga terancam.
Adanya penambangan emas di sekitar tempat yang biasa mereka tinggali mengakibatkan susutnya jumlah komunitas tersebut.
"Pemerintah juga menutup kawasan berburu orang Tsaatans karena dianggap sebagai taman nasional yang dilindungi. Gerakan mereka kini terbatas dan kemungkinan mereka sudah tak bisa hidup dengan cara berburu lagi," ujar Sardar lagi.
Sebagai kompensasi, pemerintah memberikan uang sebesar 150 dolar AS atau Rp 2,2 juta per keluarga per bulannya, yang menurut Sardar hal itu sangat menyedihkan.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
"Saat kau membayar mereka sebagai kompensasi untuk tidak berburu, itu sama saja merusak dan menghancurkan kebudayaan mereka," terang Sardar.
ADVERTISEMENT
Bahkan, keberadaan Suku Dukha kian terancam, karena jumlah rusa yang telah menyusut secara dramatis akibat penyakit dan kurangnya perawatan yang tersedia.

Bergantung Pada Pariwisata

Faktor-faktor itu akhirnya membuat beberapa orang Suku Dukha mencoba mencari peruntungan lain. Salah satunya adalah dengan bergantung pada pariwisata atau kedatangan turis.
Pariwisata menjadi pemasukan terbanyak bagi mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan jasa pariwisata menawarkan paket wisatanya untuk mengunjungi Suku Dukha sebagai bagian dari rencana perjalanan ke Mongolia.
Namun, para turis diwajibkan bisa naik kuda serta bersedia menghabiskan waktu berhari-hari menuju tempat Suku Dukha tinggal. Belum lagi jalanan yang berbatu dan terjal. Banyak turis tak sanggup melakukan perjalanan itu.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
Akibatnya, orang-orang Suku Dukha yang harus menuju tempat para turis tinggal. Mereka membangun tenda seakan-akan itu adalah rumah mereka di dekat Danau Khovsgol, di daerah favorit para wisatawan.
ADVERTISEMENT
Dipimpin oleh Enkhatuya, sebagai kepala suku dan dukun, sekolompok keluarga Dukha menawarkan turis merasakan bagaimana menjadi bagian dari mereka, tanpa perlu pergi ke tempat asal di dalam hutan.
Enkhatuya mengakui, bahwa hidup semakin susah bagi orang-orangnya.
"Ini alasan kami turun gunung tiap musim panas menuju Danau Khovsgol. Kami butuh uang agar kami bisa bertahan hidup di musim dingin," ungkapnya.

Kontroversi

Rusa, khususnya, telah menjadi daya tarik terbesar bagi turis. Mereka pun dengan senang hati membayar 5.000 Tugrik Mongolia atau sekitar 2,5 dolar AS atau Rp 36 ribu untuk satu kali kesempatan foto.
Jika dirata-rata dari setiap jumlah bus yang datang dan pergi, satu keluarga Suku Dukha bisa mendapat uang sekitar 200 dolar AS atau Rp 2,9 juta per hari. Pendapatan itu pun bahkan cukup lumayan, di mana rata-rata pekerja di Mongolia mendapatkan 330 dolar AS atau Rp 4,8 juta per bulan.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
Tapi banyak turis yang justru prihatin dengan kondisi rusa-rusa kutub itu, sehingga beberapa perusahaan perjalanan, seperti Travel Melbourne, Australia yang berbasis di Intrepid, mencegah mengunjungi suku.
ADVERTISEMENT
"Banyak turis yang berpendapat bahwa daerah ini bukan lingkungan terbaik untuk rusa, karena mereka hewan yang biasa hidup di iklim dingin dan dibawa ke Danau Khovsgol yang hangat, sehingga penggembala bisa mendapatkan keuntungan dari pariwisata," kata Timur Yadamsuren, pemandu lokal dan Country Manager untuk Travel Intrepid di Mongolia.
Kehidupan Suku Dukha Foto: REUTERS/Thomas Peter
"Untuk alasan ini Travel Intrepid tidak merekomendasikan kegiatan ini," imbuhnya.
Walau demikian, Enkhatuya menolak tuduhan tersebut. Ia pun mengatakan, bahwa hewan tersebut menjadi salah satu bagian dari kebudayaan mereka dan mereka tidak pernah menyakiti hewan.
"Sebagai budaya, kami punya hubungan batin yang erat dengan rusa-rusa itu. Kami tidak pernah menyakiti rusa-rusa itu seperti yang mereka kira," tutur Enkhatuya.
Meskipun populasi rusa menurun, dia percaya budaya Dukha akan terus berkembang. Sebab, menurut Enkhatuya, para generasi muda akan kembali untuk melanjutkan tradisi leluhurnya.
ADVERTISEMENT
"Mereka dekat dengan suku dan budayanya. Mereka terus berbicara bahasa ibu kita," katanya
Bahkan, cucu Enkhatuya telah mengikuti jejaknya dan menjadi dukun. Meski sang dukun optimis, tapi tidak bagi Sardar. Ia yakin cara kuno hidup mereka kini jalan menuju kepunahan.
"Mereka yang terakhir dari jenisnya. Bahkan jika mereka bertahan hidup, bahkan jika mereka meninggalkan budaya menggembala rusa, budaya mereka akan mati," pungkas Sardar.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Saksikan video menarik di bawah ini: