Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
ADVERTISEMENT
Bagi para penikmat budaya atau yang baru pertama kali menyambangi Jepang , Kota Kyoto merupakan salah satu destinasi wisata yang tidak boleh terlewatkan.
ADVERTISEMENT
Di kota ini, kamu bukan hanya dapat menemukan kuil yang indah, tetapi juga geisha. Dengan pupur putih di wajah, bibir dan pipi yang merah, geisha berjalan dengan anggun dan tenang.
Pembawaannya berwibaya, ia terlihat santun, tidak ada gerakan yang berlebihan. Ia melangkah pasti, sambil mengenakan kimono dan memegang payungnya. Di sekitarnya, orang-orang terlihat memandanginya dengan mata kagum. Sebab geisha yang biasa hanya dapat dilihat di televisi atau layar lebar, kini bisa mereka temui langsung.
Geisha adalah pekerja seni dan budaya Jepang yang bertugas untuk menghibur. Dilansir Culture Trip, Geisha dianggap sebagai pelindung budaya dan adat kuno. Mereka adalah seniman yang menghibur tamunya dengan beragam cara. Seperti menemani untuk berbincang, bernyanyi, menari, atau minum teh.
Istilah geisha berasal dari bahasa Jepang, yaitu huruf kanji untuk "seni" 芸 (gei) dan "pelaku" 者 (sha) yang berarti seniman pertunjukan. Dalam budaya tradisional maupun kontemporer, geisha biasanya disewa sebagai guru budaya.
ADVERTISEMENT
Geisha tinggal dalam sebuah rumah yang dikenal sebagai Okiya. Di Okiya, kamu akan menikmati pengalaman mencicipi budaya Jepang yang orisinil dan klasik, misalnya seperti mengikuti upacara minum teh, bernyanyi, menari, atau sekadar berbincang.
Untuk mereka yang menyenangi kebudayaan Jepang, geisha dan Okiya adalah cara untuk melepaskan diri dari beragam kesibukan dan tekanan. Ketika bertemu dengan geisha, mereka akan menikmati waktu yang tenang sambil menyelami budaya klasik Jepang yang indah.
Tapi tahukah kamu bahwa pada masa lampau, geisha bukanlah perempuan. Ya, mereka awalnya adalah laki-laki yang lebih dikenal sebagai taikomochi. Taikomochi telah ada sejak abad ke-13. Tugasnya sama, mereka bekerja sebagai seniman yang menghibur tamunya dengan menampilkan budaya klasik Jepang.
ADVERTISEMENT
Geisha wanita diketahui baru ada pada Zaman Edo, tepatnya abad ke-18. Hanya perlu 25 tahun, geisha wanita menjadi lebih populer dan jumlahnya melampaui taikomochi, terutama ketika Perang Dunia II, Jepang mengalami perubahan yang besar. Ketika itu, taikomochi bahkan dengan cepat menjadi jenis pekerjaan yang hampir punah.
Kini hanya ada lima taikomochi saja yang bekerja di Jepang, empat orang di Tokyo dan satu orang lainnya di Kyoto. Sementara geisha, seiring waktu walaupun tak ada angka pasti dalam catatan, diperkirakan ada sekitar 600 orang yang bekerja di seluruh Jepang.
Walaupun jumlah ini dinilai menurun banyak dari angka 40-80 ribu selama era Shōwa awal (1926-89), jumlah ini masih jauh lebih banyak dari pada taikomochi.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu hingga sekarang, pusat geisha berada di Kyoto. Geisha di Kyoto lebih dikenal sebagai Geiko, sementara para wanita yang masih belajar menjadi geisha dikenal sebagai Maiko.
Maiko biasanya berusia sekitar 15-20 tahun, di luar Kota Kyoto, mereka dikenal sebagai Hangyouku. Untuk bisa menjadi geisha, seorang wanita mesti berlatih selama lima tahun.
Ia mesti memahami cara merangkai bunga, menarikan tarian dan bernyanyi lagu tradisional, mampu memainkan alat musik tradisional seperti shamisen, dan juga mengerti upacara minum teh. Geisha yang telah berpengalaman biasanya akan punya kelebihan lebih dari itu. Mereka memiliki etika yang baik dan mampu menghibur kliennya dengan baik.
Itu sebabnya, walau telah resmi menjadi geiko, para wanita ini tetap akan mengambil kelas seni dan budaya untuk belajar serta berlatih untuk mengasah keterampilannya.
ADVERTISEMENT
Kemampuan bercakap yang baik, keindahan tarian yang mereka bawakan, cara mereka dalam menjamu tamu ketika upacara minum teh dianggap sebagai 'ciri' kemewahan.
Geisha di Jepang dianggap sebagai wanita yang 'berkelas', tak bisa sembarangan disewa orang, dan juga tak bisa sembarangan diperlakukan. Geisha juga biasanya hanya disewa oleh orang-orang kaya. Acara bisnis atau pertemuan yang digelar dengan membawa geisha sebagai penghiburnya dinilai memiliki status sosial yang lebih tinggi.
Karena itulah geisha dianggap sebagai orang-orang yang terpelajar dan hingga kini tetap ada. Sayang, geisha sering kali dianggap sebagai 'wanita penghibur' yang lebih mengarah pada seksualitas. Padahal umumnya geisha tidak melakukan hubungan fisik dengan kliennya.
*Geisha di Jepang tak hanya mesti mampu bertutur kata, tetapi juga memahami kesenian tradisional, salah satunya memainkan alat musik
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai pertunjukan, para gadis yang menjadi geisha akan berdandan bersama. Mereka akan saling membantu dalam memulas make-up di bawah pengawasan geisha senior yang menjadi pemilik rumah. Dari make-up yang dikenakan pada geisha, kamu akan mengetahui usia mereka.
Maiko biasanya akan meninggalkan kulit yang tidak dicat pada bagian tengkuk sebagai simbol bahwa mereka masih muda dan belum mendapatkan wig geisha secara penuh. Geisha 'magang' biasanya hanya memulaskan cat bibir pada salah satu bibirnya saja.
Mereka juga kemudian akan mengenakan riasan make up merah muda di sekitar mata. Sedangkan geisha yang dianggap telah memenuhi syarat akan merias mata mereka dengan warna hitam serta mewarnai bibir dengan penuh.
Menariknya, kini di Jepang, kamu bukan hanya bisa melihat geisha secara langsung, tetapi juga 'menjadi geisha' dalam sehari. Kamu akan diberi kesempatan untuk berdandan seperti geisha, mengenakan kimono, make up, hingga riasan rambut yang sama. Unik sekali, kan. Tertarik melihat geisha di Jepang ?
ADVERTISEMENT