Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Mengenal Sejarah Kemaro, Pulau Cantik yang Menyimpan Kisah Tragis
19 Februari 2018 9:04 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Selama ini Palembang dikenal sebagai daerah yang identik dengan makanan khasnya, yaitu pempek. Atau, masyarakat juga banyak yang mengenal sebagai daerah yang memiliki Jembatan Ampera yang membelah Sungai Musi.
ADVERTISEMENT
Namun, tahukah kamu dibalik jembatan yang menjadi landmark kota ini, Palembang juga punya tempat wisata menarik di aliran Sungai Musi yang memiliki legenda romantis, tetapi juga miris?
Pulau Kemaro, begitu tempat ini biasa dikenal. Pulau ini merupakan delta yang terbentuk dari proses sedimentasi Sungai Musi.
Terletak di antara daerah industri, yaitu Pabrik Pupuk Sriwijaya, Pertamina Plaju, dan Sungai Gerong, Pulau Kamaro berjarak sekitar 40 km dari kota Palembang, berukuran 30 hektar dan hanya diisi oleh ratusan orang saja.
Pulau ini menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk berekreasi, khususnya masyarakat Palembang. Di sini terdapat sebuah wihara yang dikenal dengan nama Klenteng Hok Tjing Rio, yang dibangun pada tahun 1962. Di depan klenteng tersebut, masyarakat membangun makan Tan Bun An dan Siti Fatimah yang terletak berdampingan.
ADVERTISEMENT
Tan Bun An dan Siti Fatimah adalah legenda pasangan yang menjadi cikal bakal kemunculan Pulau Kamaro.
Konon, di Sumatera Selatan pada masa kerajaan Sriwijaya, raja memiliki seorang putri yang sangat menawan bernama Siti Fatimah. Suatu hari datanglah seorang putra raja dari Negeri China yang bernama Tan Bun An. Tan Bun An berdagang di Sumatera Selatan dengan persetujuan sang raja.
Tan Bun An yang menaruh hati Siti Fatimah akhirnya memutuskan untuk meminangnya. Ayah Siti Fatimah meminta mahar berupa tujuh guci emas. Tan Bun An yang memang memiliki niatan serius pada Siti akhirnya meminta orang tuanya untuk mengirimkan sembilan guci emas dari Negeri China.
Ketika guci tersebut tiba, Tan Bun An kaget melihat guci berisi sayur sawi asin dan bahkan ada yang hampir membusuk. Orang tua Tan ternyata melapisi emas tersebut dengan sayur agar tidak mencurigakan dan terhindar dari perompak.
ADVERTISEMENT
Tan yang tidak tahu menahu memutuskan untuk membuang guci. Namun, akhirnya ia tidak sengaja sadar bahwa emas batangan untuk mahar tersebut dilapisi sayur sawi yang hampir membusuk, ketika guci terakhir yang dibuangnya jatuh dan pecah di dek kapal.
Tersadar akan hal itu, Tan akhirnya memutuskan untuk melompat ke Sungai Musi bersama seorang pengawal setianya untuk mengambil guci-guci yang telah ia buang.
Karena tak kunjung muncul, Siti Fatimah dan dayangnya yang setia ikut menceburkan diri untuk mencari Tan Bun An. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncul tumpukan tanah yang diyakini adalah kuburan dari Siti Fatimah yang dikenal dengan nama Pulo Kemaro, yang berarti Pulau Kemarau, karena tidak pernah tergenang air meski Sungai Musi meluap.
ADVERTISEMENT
Selain legenda pasangan ini, ada hal lain yang menjadi daya tarik Pulau Kemaro. Sebuah pagoda berlantai sembilan yang dibangun pada 2006 lalu berdiri megah bersama dengan kuil Buddha yang sering dikunjungi untuk berdoa serta berziarah. Bukan hanya itu saja, di pulau ini sering diadakan Festival Cap Go Meh setiap 15 hari setelah Tahun Baru Imlek.
Di pulau ini juga terdapat sebuah pohon yang dikenal sebagai Pohon Cinta, yang melambangkan cinta sejati antara dua bangsa dan dua budaya yang berbeda. Mitosnya, jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon ini, maka hubungannya akan bertahan sampai jenjang pernikahan.
Karena itulah Pulau Kemaro juga disebut sebagai Pulau Jodoh.
Untuk mencapai tempat ini, wisatawan hanya perlu menggunakan sampan atau kapal boat sewaan yang ada di dermaga di Jembatan Ampera.
ADVERTISEMENT