Mengenal Shuzu, Suku Tikus Penghuni Bawah Tanah Kota Beijing

18 November 2020 7:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai salah satu kota terpadat di dunia, Beijing menjadi rumah bagi jutaan pekerja yang ingin mengadu nasib dan meraih impian di Negeri Tirai Bambu. Namun, layaknya kota besar pada umumnya, hidup di Beijing tidaklah semudah dibayangan.
ADVERTISEMENT
Banyak dari para pekerja berpenghasilan rendah yang terpaksa tinggal di bawah tanah kota Beijing untuk mencukupi hidupnya. Jutaan pekerja berpenghasilan rendah inilah yang disebut sebagai 'Shuzu' atau 'Suku Tikus'.
Ilustrasi kehidupan di bawah tanah. Foto: Getty Images
Dilansir Aljazeera America, para Suku Tikus tersebut mendiami daerah-daerah bawah tanah Kota Beijing. Kebanyakan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah para pekerja migran dan kawula muda yang berharap bisa melejitkan karier di kota terpenting di China itu.
Mereka memilih tinggal di ruang bawah tanah demi harga sewa yang lebih murah, ketimbang rumah kontrakan atau apartemen yang ada di atas tanah. Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta penduduk Beijing yang tinggal di bawah tanah tersebut.
Tempat tinggal para 'Suku Tikus' secara teknis ilegal menurut keputusan pemerintah Beijing pada 2010. Itu dikarenakan, pemerintah setempat memutuskan bahwa ruang bawah tanah ataupun bekas bunker dan sejenisnya tidak boleh disewakan.
ADVERTISEMENT
Lalu sejak kapan mereka mendiami ruang-ruang bawah tanah kota Beijing? Bagaimana akhirnya mereka bisa tinggal di sana?

Asal-usul Suku Tikus di Kota Beijing

Dilansir History, Hal ini bermula ketika hubungan antara Republik Rakyat China (RRC) dan Uni Soviet mulai memanas pada akhir 1950-an. Meski keduanya merupakan dua negara komunis terbesar di dunia kala itu, terdapat beberapa perbedaan politik yang memungkinkan terjadinya konflik besar.
Bahkan, keduanya dikabarkan tidak ragu untuk berperang nuklir. Kala itu, Pemimpin RRC, Mao Zedong, menganggap ketegangan sudah hampir mencapai puncaknya pada tahun 1969.
Dixia Cheng. Foto: Wikimedia Commons
Saat itu, akhirnya Mao Zedong pun memerintahkan rakyatnya untuk menggali terowongan di bawah rumah. Fungsinya sebagai tempat perlindungan diri, untuk mengantisipasi jika Uni Soviet menjatuhkan bom atom.
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 1970, 75 kota besar di RRC pun dilaporkan telah menggali lubang yang bisa menampung sekitar 60 persen populasi rakyatnya. Termasuk di Beijing, pembangunan terowongan mencapai 30 kilometer dan menghubungkan kehidupan 8 juta rakyat di bawah tanah.
Namun, pada akhirnya pembuatan terowongan massal di era Mao Zedong pun sia-sia. Perpecahan Uni Soviet pada 1960-an menjadi alasan pembatalan serangan.
Penduduk yang sudah terlanjur nyaman hidup di bawah tanah pun enggan pindah begitu saja. Mereka terlanjur nyaman karena tinggal di bawah tanah karena jauh dari kebisingan kota.
Selain itu, saat cuaca dingin, mereka yang tinggal di bawah tanah merasa lebih hangat. Juga merasa lebih sejuk di musim panas.
ADVERTISEMENT
Alih-alih merusak peninggalan bersejarah, Kantor Pertahanan Sipil pun menginstruksikan warga untuk mengalihfungsikan tempat penampungan tersebut sebagai tujuan komersial seperti pabrik, gudang, arena sepatu roda, dan sebagainya. Area bekas terowongan inilah yang kemudian disebut Dixia Cheng (Underground City).

Serba-serbi Kehidupan Suku Tikus di Beijing

Ruang-ruang bawah tanah inilah yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal para Suku Tikus hingga sekarang.
Menurut salah seorang warga laki-laki bernama Wei Kuwan mengatakan dirinya tinggal di area itu karena takut jatuh miskin.
"Banyak dari teman-teman saya yang tinggal di atas, tetapi saya pikir di sini juga nyaman, tempat ini bahkan memaksa saya untuk bekerja keras," kata Wei.
Wei pun kini memiliki penghasilan sekitar 30 ribu yuan atau (4.800 dolar AS) setara dengan atau sekitar Rp 64,4 juta per bulan. Padahal, sebelumnya Wei hanya memiliki gaji sekitar 800 yuan atau Rp 1,8 juta. Wei berprofesi sebagai sales asuransi.
Ilustrasi kehidupan di bawah tanah. Foto: Getty Images
Karena sudah memiliki penghasilan yang cukup, Wei pun berencana untuk pindah ke bagian atas kota Beijing.
ADVERTISEMENT
Menurut Annette Kim, seorang profesor di University of Southern California yang telah mempelajari kehidupan Suku Tikus tersebut, tempat itu menjadi solusi alternatif untuk masalah yang dihadapi oleh banyak orang.
Kota Beijing Foto: Denny Armandhanu/kumparan
Meskipun masa depan tempat itu masih belum pasti, beberapa penduduk setempat dilaporkan bekerja dengan desainer untuk mengubah terowongan yang kosong menjadi ruang komunitas yang lebih hidup.
Walau demikian, pada 2012 silam Pemerintah Beijing mengeluarkan larangan untuk tinggal di bawah tanah dengan alasan keamanan, seperti risiko kebakaran atau banjir. Alasan utama lainnya tampaknya bertentangan dengan citra Beijing sebagai kota modern.
“Kami tidak pernah mengizinkan penggunaan tempat tinggal bunker-bunker di bawah tanah. Tapi seiring berjalannya waktu Beijing menjadi begitu padat sehingga orang mulai berdesakan di bawah tanah," kata office director Kantor Pertahanan Sipil Kota Beijing, Xu Jinbao.
ADVERTISEMENT
Cerita Suku Tikus di Beijing ini juga pernah dituangkan di dalam buku berjudul "The Rat People: A Journey through Beijing’s Forbidden Underground" karya Patrick Saint-Paul.
Dalam buku itu, Saint-Paul menyebut bahwa masih banyak Suku Tikus yang mendiami ruang bawah tanah beijing. Diperkirakan, dari 1,4 miliar populasi penduduk China, sekitar 40 persennya terdapat Suku Tikus yang masih bertahan.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)