Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Udeng adalah salah satu dari beragam jenis ikat kepala yang ada di Nusantara. Kita telah mengenal iket Sunda dan blangkon Jawa dengan ragam variasinya di berbagai daerah. Kini udeng yang biasa kita kenal berasal dari Bali ternyata dimiliki juga oleh tetangganya, Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Udeng Banyuwangi sedikit berbeda dari Bali. Jika ikat kepala milik Pulau Dewata memiliki gunungan di bagian kanan lebih tinggi daripada bagian kiri, maka ikat udeng Banyuwangi dibuat sejajar. Perbedaan lainnya tentu perihal motif yang menjadi ciri khas Banyuwangi: gajah oling.
Kain yang digunakan sebagai udeng bisa berbentuk segitiga atau bujur sangkar. "Udeng yang saya pakai ini adalah bentuknya bujursangkar. Bujur sangkar konsepnya sama seperti soko papat tadi kita berada di tengah-tengah itu (di tengah pendopo)," cerita Aekanu Hariyono, budayawan Banyuwangi, kepada kumparan.
Bagi Aekanu, udeng tak sekadar aksesori yang membuat dirinya merasa lebih percaya diri. "Dari empat saya lipat menjadi segitiga. Ini kalau saya lepas. Segituga juga konsepnya sama lagi. Tentang keseimbangan alam tadi. hubungan manusia-tuhan, manusia-manusia, manusia dengan alam," lanjutnya tersenyum sambil menunjuk udeng yang dikenakannya sekarang.
ADVERTISEMENT
Makna tersebut menjadi pengingat bagi dirinya. "Kemudian kalau orang jawa mengatakan udeng itu mudeng, mudeng itu ngerti, ngerti yo marang urip, sebenarnya kan itu. Mengapa itu disebut udeng," jelasnya kemudian.
Udeng bagi masyarakat Banyuwangi menjadi salah satu kebanggaan hingga diterapkan dalam beberapa arsitekturnya. Hal itu bisa kita lihat dari Bandara Blimbingsari yang baru milik Banyuwangi.
"Jadi di tas saya selalu ada udeng, kemana pun. Umrah saja saya pakai udeng. Ya karena fungsinya sama, untuk penutup kepala kan? Intinya seperti itu. Saya bangga," tukas Aekanu.