Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Gang mabuk, demikian segelintir orang menyebutnya. Ada alasan di balik sebutan itu. Gang sempit ini merupakan tempat nongkrong populer pecinta arak tahun 70-an di Pulau Dewata.
ADVERTISEMENT
Tak ada makna siang atau malam. Gang yang memiliki nama asli Gang Beji yang terletak di Banjar Gerenceng, Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali selalu ramai dikunjungi pencinta arak.
Konon dikabarkan, para pecinta arak semalaman suntuk menenggak minuman keras tradisional di sekitaran gang dengan lebar 1 meter ini. Begitu mabuk, ada yang pulang, ada juga yang memutuskan tidur di sana. Menunggu penggar hilang lalu pulang.
Inilah yang membuatnya jadi populer. Pemabuk santun dan tahu aturan. Moralitas dijaga ketat oleh akal.
“Namanya banyak orang mabuk di sana. Makanya disebut-sebut gang mabuk. Kembali gini aja, ada yang senang dengan komunitas itu pasti didukung (disebut gang mabuk) dan sebaliknya. Tergantung dipandang dari sisi mana. Bagi saya mending netral saja. Saya menyebutnya Gang Beji,” kata mantan Kelian Adat Banjar Gerenceng, I Made Artana membuka obrolan mengenai sebutan Gang mabuk, Jumat (25/10).
ADVERTISEMENT
Artana mengatakan, sejatinya, bukan karena Gang Beji yang sempitlah yang memuat gang yang berada di dekat Pasar Badung, yang direnovasi jadi pasar e-Money dan diresmikan Presiden Jokowi Mei 2019 lalu jadi populer. Arak sendirilah yang membuat tempat yang akan dibuat jadi kawasan heritage ini menjadi populer.
Arak ini diracik dan dijual oleh seorang pemuda Bali dipanggil Maklek (almarhum) di rumanhnya. Tak ada yang tahu resep Maklek, yang jelas rasanya dikabarkan paling markotop di Bali saat Presiden Soeharto ini memimpin Indonesia. Arak disajikan dalam sebuah sloki guci berbahan tanah lihat. Layanan ramah pemilik juga membuat betah para pecinta arak.
Rasa arak yang enak ini menyebar dari mulut ke mulut. Para pencinta arak memburu, penasaran rasa minuman dari tangan Maklek. Ada juga yang memesan, bawa pulang, dikemas dengan botol kaca, menjaga kualitas arak.
ADVERTISEMENT
“Dia meracik mungkin dia resep pakai apa kita enggak tahu, enggak pernah stalking. Apa racikan itu dirasa cocok bagi peminum. Orang namanya senang, kalau bicara masalah arak kan dengan komunitas arak, kan dia cerita, celoteh-celoteh nyambung, dimana beli-di mana beli, karena penggemarnya bukan dari sini saja. Berita sampai di luar mungkin. makanya dagangannya sampe luar biasa,” tutur lelaki yang enggan menyicip arak ini.
Gang semakin ramai saat warga juga membuka usaha camilan di gang ini. Mulai dari kacang, rujak dan nasi jinggo (nasi kucing) Konon, nasi jinggo lahir pertama kali di bali di daerah ini. Sebab, nasi jinggo jadi makanan penutup para pecinta arak ini.
Sayang, sekitar tahun 1998, usaha arak Maklek ini ditutup. Kabarnya, ada larangan dari aparat. Sebagian warga ada yang terganggu dengan aktivitas pencinta arak ini yang minum semalam suntuk.
ADVERTISEMENT
“Ya mungkin komunitas yang begitu banyak, sebelah-sebelah (tetangga) kan ada yang merasa terganggu. Banyak orang mabuk kan mungkin ngomongnya teriak-teriak, mungkin takut ada pertengkaran. Tapi enggak ada yang berkasus, enggak pernah. Dengan otomatis dengan komunitas yang begitu semakin banyak tetangga sebelah kurang nyaman. Logis sekali. Itu sebenarnya bukan perkara, itu memang siklus yang biasanya terjadi,” kenang Artana.
Sejak saat itu Gang Mabuk sepi. Para pencinta arak absen abadi. Warung-warung yang konon kabarnya ramai juga sudah tutup. Hanya satu warung kecil dan bangunan -bangunan tua saja yang masih kekal. Sejumlah mural tampak mulai dilukis, memberi warga gang ini.
“Kalau udah tutup mau bagaimana pelanggannya,” kata Artana.
Artana menambahkan, memang warga Bali memiliki sebuah kebiasaan minum arak. Selain karena wilayah tropis, arak menjadi media dan pendamping pemersatu warga saat berkumpul bersama.
ADVERTISEMENT
“Kita di Bali, kalau melihat dari sisi iklim kan tropis arak itu sebagai sarana pemersatu, ngobrol. Kita juga punya aturan, satu sampai tujuh sloki,” ujar dia.