Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Pada sore itu, satu per satu rumah mengeluarkan alas duduk. Mulai dari bekas spanduk yang tak lagi digunakan hingga tikar anyaman. Beberapa anak kecil tampak menggunakan baju dan celana hitam, lengkap dengan ikat kepalanya yang disebut udeng.
ADVERTISEMENT
Di depan rumah, obor yang terbuat dari bambu dan botol disertai sumbu telah berdiri. Masih berderet sesuka hati menunggu semua persiapan rapi.
Semua tampak bersuka cita, mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam rumah. Membersihkan alas tempat duduk yang disediakan untuk siapa saja, mulai dari para warga desa lain, wisatawan, hingga pejabat.
Kesibukan itu terjadi setidaknya sekali dalam setahun, seminggu sebelum Idul Adha di Minggu malam atau Kamis malam pertama bulan Zulhijah dalam serangkaian upacara adat mulai dari bersih desa hingga syukuran, yang dipayungi dalam acara bernama Tumpeng Sewu.
Tumpeng Sewu atau seribu tumpeng bukanlah nama yang berlebihan untuk menunjuk pada ritual adat wujud rasa syukur warga Desa Kemiren, yang kini sekaligus menjadi atraksi wisata andalan Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Tim kumparan (kumparan.com) berkesempatan untuk mengikuti acara yang berlangsung pada Kamis (24/8) lalu.
Di wilayah seluas 117.052 meter persegi, ada sekitar 1.300 kepala keluarga di mana setiap kepala keluarga menyediakan minimal satu tumpeng dan Pecel Pitik atau Pecel Ayam yang menjadi menu utama.
Sepanjang jalan raya yang membujur dari dari timur ke barat, kamu akan mendapati alas-alas duduk dan hidangan utama yang bisa kamu makan secara gratis.
Tak peduli kamu siapa, jabatanmu apa, atau apa agamamu, setiap orang yang hadir dalam hajatan itu akan ditawari dan wajib untuk ikut serta makan bersama. Di alas yang sama, di pinggir jalan yang sama, dengan menu yang sama pula: Pecel Pitik.
ADVERTISEMENT
Pecel Pitik bagi masyarakat Suku Osing, suku asli Banyuwangi, merupakan akronim dari "diucel-ucel perkara hang apik", yang artinya kurang lebih dilumuri dengan perkara yang baik.
"Saat masak Pecel Pitik dilarang keras banyak bicara. Harus diam dan banyak berdoa. Kalau dulu perempuan yang masak harus dalam keadan suci. Nggak boleh (dalam keadaan) menstruasi," cerita Bu Cip, salah satu warga Desa Kemiren, kepada kumparan.
Kenikmatan masakan khas Banyuwangi ini, menurut budayawan Aekanu Hariyono, "Karena mereka memasak dengan hati. Demi acara selamatan desa dan nenek moyang mereka."
Sebelum agenda makan-makan bersama di sepanjang jalan sekitar kurang lebih 3 kilometer ini, kamu bisa mengikuti arak-arakan Barong yang berjalan dari ujung timur hingga barat, lalu kembali lagi ke timur. "Itu kan seperti prinsip dalam kehidupan yang berputar," papar Aekanu selanjutnya.
"Barong Kemiren juga berbeda dengan Barong Bali. Perbedaannya terletak pada sayap yang merupakan perwujudan dari nenek moyang mereka," jelas Aekanu selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum mengakhiri arak-arakan yang berlangsung mengelilingi desa, Barong Kemiren akan menyalakan obor yang dipasang di sepanjang jalan.
Api untuk menyalakan obor adalah satu hal yang sakral dan dilakukan hanya oleh orang-orang terpilih, termasuk penari Barong dan pawang Barong yang juga bukan orang sembarang. Mereka dipercaya sebagai orang-orang yang dipilih oleh alam.
Pada pagi hingga siang harinya, para warga Desa Kemiren ini telah terlebih dulu melaksanakan tradisi bersih desa dengan ritual mepe kasur atau jemur kasur. Uniknya, kasur yang dijemur berwarna seragam: merah dan hitam.
"Merah artinya berani, hitam artinya kekal abadi, keseragaman warna menunjukkan kerukunan antarwarga," cerita Pak Cip, yang bernama lengkap Sucipto, salah satu seniman Desa Kemiren.
ADVERTISEMENT
Sementara Bu Cip menceritakan bahwa kasur-kasur itu berasal dari kapuk yang mereka tanam sendiri, dengan kain yang mereka jahit sendiri.
Semuanya sudah menjadi tradisi yang mengurat mengakar.