Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu dari sekian banyak kampung batik yang bisa kamu temukan saat liburan setelah masa pandemi #DiIndonesiaAja . Kampung batik tertua di Surakarta ini tak hanya dikenal sebagai pusat penghasil batik di Pulau Jawa, tetapi juga menyimpan sejarah yang panjang.
Hal itu pun diungkapkan oleh salah satu pegiat Kampung Batik Laweyan, Widhiarso. Ia pun bercerita pada kumparan awal mula Kampung Batik Laweyan berdiri hingga sekarang.
Jika ditarik mundur sedikit ke belakang, tepatnya 1400 tahun yang lalu, Kampung Laweyan erat kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Kampung Laweyan sudah ada sebelum munculnya Kerajaan Pajang yang berarti muncul setelah Kyai Ageng Henis bermukim di Desa Laweyan pada tahun 1546 Masehi silam.
Saat itu, Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan juga mengajarkan teknik pembuatan batik tulis pada santrinya. Kyai Ageng Henis sendiri merupakan putra dari Kyai Ageng Selo, yaitu keturunan Raja Brawijaya V.
“Tokoh yang ada di Laweyan saat itu terkenal dengan nama Ki Ageng Henis, Ki Ageng Henis itu putra dari Ki Ageng Selo. Kalau ditarik ke atas lagi Ki Ageng Selo itu putra dari Ki Ageng Getas dan Ki Ageng Getas itulah putra dari Brawijaya V,” kata Widhi, saat dihubungi kumparan beberapa waktu yang lalu.
Widhi menjelaskan, pindahnya Kerajaan Panjang ke dekat Laweyan membuat desa ini kemudian dijadikan sebagai pusat perdagangan terkemuka. Jejak-jejak Laweyan sebagai daerah industri bisa dibuktikan dengan aliran sungai yang ada di sekitar kampung. Sungai-sungai tersebut merupakan jalur perdagangan para pedagang terdahulu.
“Itu terbukti karena di Laweyan ada sungai daerah-daerah industri, kan, dekat cekungan itu. Transportasi pada zaman dulu, kan, kuda dan kapal, maka dengan kapal kecil atau rakit dari Laweyan itulah yang akan menyusuri sungai,” lanjut Widhi.
Jalur perdagangan tersebut dimulai dari Laweyan melewati Bandar Kabanaran hingga akhirnya melintasi Sungai Bengawasan Solo. Kemudian di Bengawan Solo para pedagang dari Laweyan singgah di Pelabuhan Lusupan atau Bandar Lusupan.
“Setelah dari Pelabuhan Lusupan itu para pedagang ganti kapal yang agak besar menyusuri Bengawan Solo, terus sampai ke Jawa Timur mungkin, bahkan Tuban dan sebagainya. Terus masuk ke pesisir utara sampai masuk ke pemerintahan ke Demak. Itu arus perdagangannya,” ungkapnya.
Pada saat itu, komoditas atau barang yang diperdagangkan adalah bahan sandang. Hal itu pula yang ternyata menjadi asal-usul dari nama Kampung Laweyan itu sendiri. Menurut Widhi, kata Laweyan berasal dari kata ‘Lawe’ yang berarti benang.
“Karena diyakini bahwa konon dulu sebelah selatan Laweyan sampai pesisir pantai selatan itu adalah hutan kapas. Dan itu bisa dibuktikan sampai sekarang masih banyak, banyak pematang sawah di Laweyan itu pohonnya pohon kapas,” cerita Widhi.
Pohon-pohon kapas yang ada di Laweyan dibuat menjadi sebuah benang dan kemudian diperdagangkan. Kemudian seiring berkembangnya teknologi, benang-benang tadi ditenun hingga akhirnya menjadi sebuah lurik atau garis-garis.
“Benang-benang yang ditenun tadi lantas menjadi sebuah kain, dari kain kemudian di batik, diberi warna, dan jadilah jarik (kain panjang). Maka dari situlah muncul pengetahuan bahwa yang namanya batik itu bukanlah hasil atau output. Melainkan adalah sebuah proses, yaitu proses membuat kain jarik,” ujar Widhi.
Widhi mengungkapkan, proses yang dimaksud adalah proses pembuatan kain batik itu sendiri. Mulai dari memberi lilin pada kain hingga pembuatan motif.
“Dimaksudkan proses yang seperti apa, nah proses menempelkan lilin sebagai perintang warna atau malam. Jadi, ada proses pelilinan batik, yaitu malam panas karena didihkan dulu, kan, menggunakan alat yang bernama canting atau cat tembaga yang menghasilkan atau mempunyai output motif yang bermakna. Itulah esensi dari batik,” lanjut Widhi.
Batik tulis merupakan proses pembuatan batik yang pertama kali dilakukan di Desa Laweyan. Adapun, barulah pada abad ke-18, ditemukan stamp atau cap, sehingga proses pembuatan batik menggunakan cap mulai dikenal dan dilakukan.
Sementara itu, Widhi juga menjelaskan bahwa motif batik yang pertama kali dikenal dan dibuat para pengrajin adalah motif folklore. Motif ini erat kaitannya dengan kerajaan.
“Kalau batik sendiri, kan, pada dasarnya adalah motif-motif folklore, karena motif itu yang dipakai kerajaan. Misalkan motif Parang, Kawung, Sido Mukti, Sido Drajat, Sido Luhur, hingga Wahyu Temurun. Motifnya itu adalah motif-motif yang diterjemahkan para cendekiawan keraton pada saat itu,” ujarnya.
Motif Batik Tempo Dulu dan Masa Kini
Laweyan saat ini punya 250 motif batik yang sudah dipatenkan dan bisa kamu temukan di Kampung Batik Laweyan saat liburan #DiIndonesiaAja . Widhi menjelaskan motif-motif batik tersebut merupakan pengembangan dari motif batik terdahulu atau yang sudah ada.
“Kalau motif Laweyan itu terkenal dengan motif sudagaran, jadi motif sudagaran itu motif-motif baru yang dikembangkan oleh para entrepreneur. Jadi motif-motif pakem itu, dikembangkan lagi, digali, dipecah, dipercantik lagi, jadi lebih beranilah. Walaupun terkadang motif tersebut tanpa nama,” kata Widhi.
Bahkan menurutnya, para entrepreneur atau para pengusaha batik di Laweyan sudah membuat motif-motif dengan story telling tertentu. Dengan motif batik tersebut, pembeli bisa mengetahui makna atau filosofi yang terkandung di dalamnya.
“Kalau kekinian itu pengrajin sudah mulai meraba ke storytelling, mereka sudah membuat pattern atau kekhasan dari industri tersebut. ‘Sudah keluar dari batik ini’, ‘oh motif nya ini’, ‘filosofinya ini’, tetapi itu karakter pribadi-pribadi pengusahanya. Sudah ada. Tetapi kalau motif itu jamak bersama itu juga ada filosofinya,” tutur Widhi.
Meski demikian, motif-motif batik khas seperti Sido Asih atau Sido Luhur tetap bisa ditemukan di Laweyan. Motif yang berbentuk pola semen yang memiliki gambar tumbuhan atau gunung ini pun memiliki sebuah filosofi.
“Sido Luhur misalkan, nanti misalnya besar keluarga tersebut mendapatkan keluhuran dan sebagainya. Selain itu, ada pula motif lain seperti motif Babon Angrem dan sebagainya supaya nanti misalkan pada saat dia berkeluarga nanti dia menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, dan mempunyai keturunan dan lain sebagainya,” ungkap Widhi.
Oleh sebab itu, menurutnya tidak ada kekhasan mengenai motif batik di Laweyan, karena semuanya memang ada di sana. Meski demikian, Widhi mengakui bahwa kain batik di Laweyan memiliki warna yang lebih terang.
“Makanya orientasi orang di Laweyan pada zaman dulu mungkin sampai sekarang masih mengilhami yang menentukan motif atau warna adalah taste pasarnya. Pasar itu mau seperti apa, mengikuti tren atau perkembangan pasar. Maka dia akan membuat sebanyak-banyaknya apa yang dimau oleh pasar tadi dan mau dilepas (dijual),” lanjutnya.
Wisata Sejarah yang Menarik Bagi Wisatawan
Selain memiliki sejarah sebagai kota batik tertua, gaya arsitektur di Kampung Batik Laweyan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan saat liburan #DiIndonesiaAja. Dinding tinggi dan gang-gang sempit menjadi karakter khas kampung batik ini.
Selain itu, wisatawan bisa menemukan bangunan-bangunan bersejarah yang mengalami proses akulturasi. Seperti salah satunya Masjid Laweyan yang dulunya merupakan sebuah vihara.
“Masjid Laweyan diyakini masjid tertua di pesisir Pantai Selatan. Karena itu dulunya adalah vihara untuk umat Hindu, terjadi akulturasi dengan campur tangan para wali juga saat itu,” kata Widhi.
Bangunan rumah pedagang batik Laweyan banyak dipengaruhi oleh arsitektur Jawa, Eropa, China dan Islam. Bangunan mewah ini menjadi ciri kejayaan saudagar batik asli pribumi Laweyan pada masa itu dan dikenal dengan sebutan “Gal Gendhu”.
“Terjadi akulturasi budaya tadi itu yang dulunya rumah itu biasanya ukiran hewan-hewan gitu. Bekas-bekasnya pun enggak rapi, ya, mungkin karena pakai pisau atau apa. Nah, setelah terakulturasi itu tekstur rumahnya sudah bagus sudah presisi gitu, ukirannya sudah agak modern itu mungkin sudah dengan pahatan yang lebih halus,” kata Widhi.
Selain itu, artefak-artefak lain tentang batik juga bisa ditemukan di kampung ini. Widhi mengatakan baik dari sisi perdagangannya, religiusnya, akulturasi itu ada di sana, bahkan artefak-artefaknya juga bisa ditemukan.
“Jadi kita kalau bicara batik tidak cuma tradisi atau perdagangan, tetapi artefak-artefak yang bisa membuktikan atau mendukung tentang batik itu sendiri. Kalau di Laweyan kan pasti, serambi kanan serambi kiri pabrik semuanya kan seperti itu. Hampir keseluruhannya, nah pabrik itu terdiri dari apa tempat mebel, mlorot, tempat nyuci, tempat mewarna dan sebagainya itu artefaknya semua ada. Nah, itu yang bisa diceritakan,” katanya.
Tak hanya berjualan batik, Kampung Batik Laweyan juga menawarkan paket wisata workshop membuat batik. Bagi yang tertarik, kamu juga bisa mengikuti kursus membatik dalam waktu singkat sekitar dua jam dan bisa membawa pulang hasil karyamu sendiri.
Selain itu, juga ada pelatihan membatik secara intensif bagi kamu yang ingin mendalami teknik pembuatan batik tulis dan cap. Untuk informasi lebih lanjut, kamu bisa menghubungi atau berkunjung langsung Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan.
Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang keindahan batik di Kampung Batik Laweyan? Kalau iya, jangan lupa memasukkan Kampung Batik Laweyan ke dalam destinasi kamu saat nanti merencanakan liburan #DiIndonesiaAja .