Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menyusuri Jejak Makna Pendopo Banyuwangi
9 Oktober 2017 20:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Nama lengkapnya Pendopo Sabha Swagata Blambangan. Pendopo kebanggaan masyarakat Banyuwangi ini berada di kawasan Taman Sritanjung, Temenggungan, Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Pendopo yang pada mulanya hanya sebagai rumah dinas bupati ini mengembangkan fungsinya menjadi salah satu area wisata di pusat kota Banyuwangi. Untuk kebutuhan tersebut renovasi dilakukan di masa pemerintah Bupati Azwar Anas sejak 2012.
Hasilnya adalah bangunan eco-friendly seperti yang tampak di kanan dan kiri area pendopo. Gedung yang dimanfaatkan sebagai guest house dan kantor itu kini beratap rumput hijau, tampak menyatu dengan taman.
"Ruangan-ruangan ini dulu kantor ya. Kantor biasa dengan atap genteng begitu," papar Aekanu Hariyono, budayawan Banyuwangi ketika mengajak kumparan berkeliling. "Konsep menyambung dengan alam dan memanfaatkan alam itu. Di atas itu kan langsung cahaya matahari. Sirkulasi udara juga bagus, kalau kita lihat di mata juga nyaman kan," lanjutnya kemudian.
ADVERTISEMENT
Bangunan utama area ini ada pendopo di bagian depan dan rumah bupati yang bergaya kolonial. "Yang pendopo itu untuk umaro (pemimpin atau pejabat pemerintahan), lalu yang masjid untuk ulama, kemudian ada pasar, kemudian di situ ada kantor polisi, dan di tengah-tengah untuk berkumpul," jelas Aekanu tentang konsep awal pendopo di area Taman Sritanjung itu.
Konsep area Taman Sritanjung ini kita kenal sebagai sistem pemerintahan macapat. Lapangan Tegal Masjid (Taman Sritanjung) sebagai tempat berkumpulnya warga (alun-alun) berada di tengah, lalu Pendopo sebagai pusat pemerintahan di sisi utara lapangan.
Sementara Masjid Jami’ sebagai tempat ibadah di sisi barat, dan penjara sebagai perlambang keamanan (kini menjadi Mall of Sritanjung) di sisi timur lapangan. Terakhir, Pasar Banyuwangi sebagai pusat kegiatan ekonomi di sisi selatan lapangan.
Pada bangunan pendopo di bagian depan, terdapat empat tiang yang berada di titik pusat dan menjadi tumpuan bangunan. "Kalau kita mau melihat soko utama itu ada empat, di tengah-tengah kalau kita mau berdiri kita memposisikan diri kita, empat itu kalau kita mau bicara tentang kosmologi, Kita berada pada mikro yang alam adalah makro," papar Aekanu terkait filosofi bangunan pendopo tersebut.
ADVERTISEMENT
"Alam terdiri dari apa? Angin, air, cahaya, dan bumi. Kita juga dipercaya terbuat dari unsur itu. Tetapi ketika kita ada di tengah-tengah, kita melihat dalam Islam itu ada empat nafsu, ada amarah, ada lawwamah, ada mulhimah, mutmainah. Dan kita tidak boleh satu nafsu pun yang menonjol, harus imbang. Keseimbangan itu ada pada kita," tukasnya.
Nafsu amarah adalah letupan emosi, sementara lawwamah adalah sikap tak punya pendirian disertai penuh penyesalan. Dibungkus kemudian oleh mulhimah yang bermakna rendah hati dan pandai menempatkan diri. Terakhir adalah mutmainah yang bersifat memberi manfaat.
Di bagian belakang pendopo kemudian terdapat bangunan rumah dinas yang merupakan bangunan awal. "Rumah difungsikan untuk rumah tinggal bupati, yang sekarang tentunya kita lihat ada perubahan. Tetapi yang cukup menarik dan sangat menarik adalah bagaimana (area) tetap hijau, kemudian bagaimana burung masih tetap hidup. Kemudian keliatan asri dan ini yang paling penting bagi kami di era yang sekarang, masih ada sesuatu yang mempunyai spirit-spirit, mempunyai aura keseimbangan dengan alam terjaga," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Bangunan ini ada sejak kabupaten Banyuwangi berdiri di bawah kepemimpinan Tumenggung Wiroguno I atau Mas Alit. Mas Alit menjadi bupati pertama yang tinggal di rumah dinas tersebut di era kolonial pada 1771.
Sementara di ujung area Pendopo Banyuwangi terdapat Rumah Osing beratap empat. Suku Osing merupakan suku khas Banyuwangi. "Jadi yang ini tigel balung (atap 4). Kemudian yang roofnya (atapnya) 3 itu namanya baresan, kemudian yang roofnya 2 itu namanya crocogan," tutur Aekanu.
Atap pada Rumah Osing menunjukkan rentang pengalaman dari si pemiliki rumah. Makin berlekuk atapnya hingga empat atap, makin matang dan banyak pengalamannya. "Yang seperti ini (empat atap), ini sudah liku-likunya sudah banyak dan itu sudah mapan," jelas Aekanu.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap bangunan pendopo disambut positif. Bagi Aekanu, "Modernitas oke, tetapi dengan tetap menjaga keseimbangan alam tadi itu."