Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Suku Osing merupakan suku asli Banyuwangi yang masih memegang teguh adat dan budayanya hingga saat ini. Salah satu tradisi yang cukup populer dan masih dilakukan sampai saat ini adalah mepe kasur.
ADVERTISEMENT
Mepe kasur merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kemiren, sebagai daerah asli tempat tinggal masyarakat Suku Osing.
Ketua Adat Desa Osing Kemiren, Suhaimi, mengatakan mepe kasur adalah tradisi menjemur kasur yang dipercaya bisa mengusir berbagai hal buruk.
"Mepe Kasur itu sebenarnya sejak dulu sudah dilakukan tidak hanya setahun sekali, tetapi dilakukan masyarakat sehari-hari. Masyarakat Kemiren itu masih percaya dengan mistis, jadi barangkali di kasur itu ada hal-hal yang negatif itu dikeluarkan, dipukuli pakai sapu lidi lalu dijemur. Supaya hal tersebut hilang," kata Suhaimi saat dihubungi kumparan, Senin (29/6).
Mengutip laman resmi Kabupaten Banyuwangi, warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur. Sehingga mereka mengeluarkan kasur dari dalam rumah lalu dijemur di luar agar terhindar dari segala macam penyakit.
ADVERTISEMENT
Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang. Ritual ini digelar setiap tanggal 1 Dzulhijjah atau menjelang Hari Raya Idul Adha dan bagian dari ritual bersih desa.
"Jadi itu karena ada festival tumpeng sewu untuk melengkapi tradisi Kemiren, diangkatlah tradisi mepe kasur. Sebenarnya tradisi mepe kasur bukan dilakukan setahun sekali, tetapi melihat kondisi kasur itu sendiri," ucap Suhaimi.
Kegiatan menjemur kasur di depan rumah masing-masing ini biasanya dilakukan di sepanjang jalan Desa Kemiren. Saat tradisi ini digelar, terlihat kasur-kasur yang berjejer, layaknya orang menjemur kasur pada umumnya.
Kegiatan mepe kasur biasanya dilakukan pada pagi hari. Setelah matahari melewati kepala alias pada tengah hari, semua kasur harus dimasukkan. Konon jika tidak demikian kebersihan kasur akan hilang.
ADVERTISEMENT
Menariknya lagi, Suhaimi pun menjelaskan bahwa kasur-kasur di yang dijemur di Desa Kemiren pasti didominasi dengan warna merah dan hitam. Kasur merah hitam tersebut ternyata punya nilai filosofi tersendiri.
"Merah itu difilosofikan sebagai ibu dan hitamnya itu abadi. Jadi, kasih sayang seorang ibu terhadap anak itu enggak ada batasan, selalu abadi. Makanya, di sini kalau punya anak perempuan yang akan menikah di kasih kasur merah hitam," kata Suhaimi.
Tak hanya itu saja, bagi pasangan suami-istri kegiatan mepe kasur juga diyakini sebagai ritual permohonan agar terus diberi kelanggengan dalam mengarungi biduk rumah tangga.
"Memang filosofi kasur itu tidak hanya itu tadi tetapi berkaitan dengan rumah tangga juga. Kalau difilosofikan dengan rumah tangga, merah itu berani, hitam tetap abadi dan langgeng tadi," lanjut Suhaimi.
"Jadi kalau anak mau menikah ditanya dulu sama orang tua, 'kamu mau menikah berani enggak menghadapi tantangan dalam rumah tangga?' karena dalam rumah tangga tidak selalu mulus karena ada tantangan dan permasalahan. Kalau berani ya sudah silakan, tetapi jangan sampai gagal karena permasalahan tadi, harus tetap langgeng dan abadi tadi rumah tangganya," imbuh Suhaimi.
ADVERTISEMENT
Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, warga Osing pun melanjutkan tradisi bersih desa ini dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari Ujung Desa menuju ke batas akhir desa
Sebagai puncaknya, warga bersama-sama menggelar selamatan tumpeng sewu pada malam hari.
Semua warga mengeluarkan tumpeng dengan lauk khas warga Osing, yaitu pecel pithik alias ayam panggang dengan parutan kelapa.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.