Merasakan Indahnya Perbedaan di Tanah Sumba

17 April 2019 8:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
masjid dan gereja yang hidup bersebelahan. Foto: Fanny Kusumawardhani
zoom-in-whitePerbesar
masjid dan gereja yang hidup bersebelahan. Foto: Fanny Kusumawardhani
ADVERTISEMENT
Biasanya setiap hari saya mendengar suara adzan berkumandang, memanggil umat Muslim untuk menjalankan ibadah. Tapi beberapa waktu yang lalu suara itu tidak terdengar lagi lantaran sedang berada di Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Katolik.
ADVERTISEMENT
Bila selama ini laman berita terkadang diisi dengan pemberitaan negatif terkait perbedaan keyakinan. Tapi yang saya rasakan di tanah Sumba tak seperti itu, justru sangat indah, karena adanya perbedaan tersebut.
Masih teringat di kepala, tanggal 23 Maret siang, kumparan berkunjung ke Desa Adat Ratenggarong, Sumba Barat Daya. Saat sibuk mencari foto, mata saya tertuju pada seorang ibu yang tengah memasak di lahan terbuka. Sambil berjongkok, ia terlihat sangat sibuk dengan kuali besarnya di atas bara api.
Kampung adat Ratenggaro (dilihat dari pantai wainyapu). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Intan namanya, warga asli Desa Adat Ratenggarong, menuturkan setiap Pasola (atraksi budaya dari Sumba) pasti ibu-ibu warga setempat memasak makanan dalam jumlah besar. Dan rupanya, kuali tersebut berisi daging kerbau yang diolah untuk dihidangkan kepada para pejabat setempat atau wisatawan yang habis menonton Pasola.
ADVERTISEMENT
Saya pun diajak ke ruang makan sebagai tempat perjamuan untuk para tamu. Sederhana saja dengan atap terpal dan 20 kursi plastik, serta meja berisi lauk, seperti nasi, mi, semur daging, sambal, krupuk, air mineral, dan buah sebagai pelengkap.
“Kami masak daging kerbau untuk mereka yang memang tidak makan babi. Nah, kalau yang makan babi boleh saja pergi ke rumah,” jelas Intan, sambil mengelus perutnya yang tengah hamil.
Penduduk setempat memang sengaja memasak kerbau untuk dihidangkan kepada pejabat atau wisatawan yang tidak mengkonsumsi babi. Mereka boleh datang untuk menyantap makanan sampai kenyang.
Tradisi potong babi untuk makan di rumah menjelang Pasola. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Di tengah perbincangan antara kumparan dan Intan, tiba-tiba datang dua wisatawan asing yang meminta makan. Dengan Bahasa Inggris terbata-bata, Intan dan ibu-ibu lainnya mempersilahkan kedua turis tersebut untuk mengambil makan.
ADVERTISEMENT
Puas menyatap makanan, turis tersebut berpamitan untuk pergi. Ibu-ibu tersebut tak meminta imbalan untuk setiap piring berisi lauk pauk sederhana yang dimakan.
Setelah berbincang dengan Intan, kami juga berjumpa dengan Wakil Ketua Adat Ratenggarong, Adi Mada, yang menyambut kedatangan kumparan dengan hangat. Pertemuan itu akhirnya membawa kami untuk santap siang di rumahnya.
Di tengah perbincangan, Adi mungkin sudah mengira bila kami tidak makan babi. “Tak usah khawatir, kami sudah siapkan ayam kok,” ucapnya seraya tertawa.
Danau Weekuri, Sumba. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Senada dengan Intan, Adi menjelaskan bila setiap Pasola, pasti rumah di Desa Adat Ratenggarong menyediakan aneka makanan, termasuk ayam. Tujuannya, bila ada turis yang ingin makan, mereka bisa mengkonsumsinya.
Habis santap siang dan menghimpun informasi dari Adi, kumparan melanjutkan perjalanan ke Danau Weekuri. Butuh waktu 1,5 jam perjalanan menuju danau berair payau tersebut.
ADVERTISEMENT
Setibanya di danau, saya bertemu dan berbicang dengan seorang pejabat Dinas Pariwisata Ende, Nyo Kosmas. Mungkin Nyo sempat melihat saya yang ketakuan saat berada di dekat anjing. “Kamu Muslim, ya?,” tanyanya.
“Wah, tenang saja, orang-orang di timur itu baik, kita semua bersaudara kan, apapun agamanya,” jawabannya.
Jawaban itu pun saya iyakan, sambil di dalam hati bergeming dan mengingat dua kejadian sebelumnya yang memang sangat menghargai perbedaan. Dan rupanya, peristiwa serupa tak berhenti sampai di situ saja.
Tanggal 27 Maret, kumparan sempat menginap di salah satu rumah warga yang tak jauh dari Desa Wainyapu. Kami bermalam lantaran ingin melihat rangkaian ritual Pasola yang digelar sejak pagi hari.
Rumah yang kami tinggali dihuni sepasang suami istri beserta dua anaknya, dan dua orang laki-laki. Mereka semua adalah guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar di Sumba.
ADVERTISEMENT
Kedatangan kami disambut dengan ramah dan hangat. Sambil menyesap kopi, kami berbincang banyak hal, rasanya baru sebentar kenal kami sudah merasa seperti keluarga.
Mereka sungguh baik, selain ramah dan disambut dengan hangat, mereka juga rela memotong ayam supaya kami bisa makan. Lauk-lauk sederhana, tetapi nikmat itu mereka sajikan kepada kami. Bahkan, dengan senang hati mereka mau mengantar kami ke masjid terdekat bila ingin salat.
“Kalau mau salat bilang saja, nanti kami antarkan dengan motor ke masjid terdekat. Enggak usah khawatir,” kata salah satu dari mereka seraya tersenyum.
Apa kamu pernah mengalami kejadian serupa?