Misteri di Balik Kokohnya Stasiun Tugu Yogyakarta

19 Oktober 2019 7:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stasiun  Yogyakarta yang indah dengan gaya arsitektur modern awal Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Stasiun Yogyakarta yang indah dengan gaya arsitektur modern awal Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Melepaskan rasa rindu dari Yogyakarta dirasa menjadi hal yang sulit untuk dilakukan oleh sebagian orang yang pernah berkunjung. Kulinernya yang nikmat, tradisi dan budaya yang masih terjaga dengan rapi hingga wisatanya yang lengkap, mulai dari gunung hingga pantai membuat Yogyakarta pantas untuk dirindukan.
ADVERTISEMENT
Lokasinya yang juga masih berada di Pulau Jawa memungkinkan wisatawan untuk datang berkunjung menggunakan beragam moda transportasi sesuai bujet mereka masing-masing. Salah satunya adalah dengan menggunakan kereta api.
Di Yogyakarta, ada beberapa stasiun yang bisa kamu jadikan sebagai titik akhir perjalanan. Seperti Brambanan, Lempuyangan, Yogyakarta, Wates, dan Sentolo. Di antara kelima stasiun tersebut, Stasiun Yogyakarta atau yang biasa dikenal pula sebagai Stasiun Tugu adalah salah satu landmark ikonik yang memiliki kisahnya sendiri.
Ilustrasi Stasiun Yogyakarta Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Dibangun pada tahun 1885, Stasiun Tugu secara resmi beroperasi pada 2 Mei 1887. Sekitar 15 tahun setelah Stasiun Lempuyangan beroperasi secara resmi. Mengutip buku Kisah Tanah Jawa, stasiun ini merupakan stasiun yang didirikan dengan dua kepemilikan.
ADVERTISEMENT
Jalur sisi selatannya dimiliki oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) dengan lebar 1.435 mm. Sementara sisi utaranya dimiliki oleh Staatsspoorwegen (SS) dengan lebar rel 1.067 mm. Adanya dua kepemilikan ini terjadi karena NISM dan SS saling berbagi tanah untuk jalur kereta api jurusan Yogyakarta-Solo.
Megah dan indahnya Stasiun Yogyakarta Foto: Shutter Stock
Untuk mencari tahunya penanda jalur peron utara dengan selatannya pun terhitung cukup mudah. Karena jalur peron selatan berada di bagian selatan bangunan dan begitu pula sebaliknya. Dihimpun dari berbagai sumber, Stasiun Yogyakarta didirikan dengan gaya arsitektur modern awal.
Gaya arsitektur ini adalah Indische Empire yang banyak dianut pada akhir abad ke-19 dan menjadi gaya arsitektur kolonial modern pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Gaya Indische Empire memadukan Neo-Rennaissance dan juga arsitektur modern dengan ornamen bergaya art deco, lengkap dengan penyesuaian di Indonesia.
Stasiun Tugu di Yogyakarta beserta dengan rel keretanya Foto: Wikimedia Commons
Misalnya saja dengan membuat lubang-lubang dinding roster yang berguna sebagai cross ventilation sebagai pemberi karakter bangunan, membuat pinggiran atap yang besar atau atap yang menjulang, agar sesuai dengan iklim tropis Indonesia. Sementara itu bangunananya didominasi warna putih dan ditopang empat pilar menjulang.
ADVERTISEMENT
Di atas dua pilar utamanya terdapat tiang bendera yang simetris dengan puncak atap emplasemen. Hingga saat ini, gaya arsitektur yang dianut Stasiun Tugu Yogyakarta masih belum berubah. Bangunan seluas 74.128 meter persegi itu dibangun di atas lahan seluas 96.112 meter persegi dan memiliki enam jalur rel.
Stasiun Yogyakarta sekitar tahun 1890-an Foto: Wikimedia Commons
Sesuai informasi dalam laman Genpi (Generasi Pesona Indonesia), Stasiun Tugu Yogyakarta adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang memiliki layout Stasiun Pulau, yaitu stasiun yang relnya berada di samping kiri dan kanan bangunan. Keindahan detail yang ditampakkan dalam bangunannya bahkan membuat stasiun ini dianggap sebagai stasiun tercantik pada masanya di Hindia-Belanda.
Di balik megahnya stasiun kereta api terbesar di Yogyakarta ini, rupanya Stasiun Tugu memiliki kisah tersendiri dalam pembangunannya. Menurut buku Kisah Tanah Jawa, sebelum Stasiun Tugu dibangun, kawasan itu dulunya banyak ditumbuhi pohon beringin.
ADVERTISEMENT
Dekat pintu masuknya saja terdapat sebuah pohon beringin berukuran besar yang sangat sulit untuk ditumbangkan. Warga sekitar menyebutya sebagai pohon beringin Nyai Giri Kencono. Nyai Giri Kencono adalah sesosok makhluk berkepala manusia dan bertubuh macan yang diyakini sebagai penguasa gaib di kawasan itu.
Tampak luar Stasiun Tugu di Yogyakarta pada malam hari Foto: Shutter Stock
Pada awal pembangunan, seekor kerbau dijadikan sebagai tumbal bagi Nyai Giri Kencono. Kepala kerbau itu ditanam pada sebuah upacara simbolik. Ini belum termasuk dengan korban manusia yang konon dijadikan tumbal untuk mempermudah proses pembangunan.
Masih menurut buku Kisah Tanah Jawa, tumbal manusia untuk pembangunan Stasiun Tugu dipilih langsung oleh penunggu kawasan itu.
"Kala itu, tiga orang pekerja (buruh bangunan) yang 'dipilih' menjadi tumbal mendadak mengalami sakit parah dan kecelakaan kerja hingga meninggal," tulisnya dalam halaman dua.
ADVERTISEMENT
Tiga orang pekerja itu kemudian secara bertahap meninggal dalam berbagai cara dan alasan dengan kronologi sebagai berikut:
1. 18 Februari 1886
Seorang buruh bangunan mendadak jatuh ketika memasang tembok, kepalanya kemudian membentur bahan material yang ada di bawah dan ia pun tewas seketika. Salah seorang mandor yang memiliki 'kemampuan' pun langsung mendapat tugas melakukan prosesi. Kepala sang pekerja kemudian ditanam di bawah tegel pintu (pintu dalam atau bangunan yang lama.
2. 23 Maret 1886
Seorang pekerja yang tengah bekerja lembur mendadak kesurupan. Ia berlari dan meloncat seperti kerasukan siluman kera. Walau telah dikejar pekerja lain yang mencoba membantu, mereka kalah cepat. Pekerja yang kerasukan itu kemudian berlari sampai tiba di sebuah lokasi dan memenggal kepalanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu pula, kepalanya yang terputus masuk ke dalam lubang galian yang akan menjadi pondasi di salah satu sudut bangunan.
3. 7 April 1886
Masinis tengah mencoba mengangkut material bagunan menggunakan lokomotif, namun lokomotif berjalan mundur. Naasnya, di saat yang bersamaan, ada seorag buruh yang tengah memperbaiki rel kereta. Kejadian ini membuat kepalanya terpenggal roda lokomotif.
Becak baru saja meninggakan Stasiun Yogyakarta setelah mengantarkan penumpang Foto: Shutter Stock
Percaya atau tidak, hingga kini kisah tersebut hanya bisa dibuktikan sendiri oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Di luar dari itu, wisatawan nyatanya tak perlu merasa takut akan adanya kisah-kisah ini, karena pemerintah sendiri telah membenahi Stasiun Tugu dan menjadikannya tempat yang nyaman.
Baik bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Yogyakarta, maupun bagi kamu yang ingin melanjutkan perjalanan atau kembali ke rumah setelah liburan panjang di Kota Pelajar. Yang pasti, ingat selalu untuk selalu menjaga sikap dan sopan santun di mana pun kamu berada dan menghargai setiap adat istiadat yang berlaku di tempat liburanmu. Iya, kan?
ADVERTISEMENT