Nagoro, Desa di Jepang yang Dihuni Lebih Banyak Boneka Dibanding Penduduknya

17 Oktober 2020 15:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Boneka dengan karakter ibu dan anak yang duduk di desa Nagoro di Jepang. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Boneka dengan karakter ibu dan anak yang duduk di desa Nagoro di Jepang. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah desa biasanya terdiri dari pemukiman yang menjadi tempat tinggal warganya. Pemandangan itu pun seakan berbanding terbalik dengan sebuah desa yang ada di Jepang ini.
ADVERTISEMENT
Ya, percaya tidak percaya, sebuah desa di pedalaman Pulau Shikoku, Jepang, dihuni oleh ratusan boneka mirip dengan orang-orangan sawah. Unik sekaligus ngeri tapi itulah pemandangan yang akan kamu dapatkan saat berkunjung ke Desa Nagoro.
Suasana desa Nagoro di Jepang. Foto: AFP
Boneka-boneka itu bahkan lebih banyak daripada jumlah penduduk di desa tersebut. Yang lebih unik lagi, boneka-boneka di Nagoro dibuat menyerupai orang-orang yang pernah menghuni Desa Nagoro.
Lalu, siapa yang sebenarnya menciptakan dan menempatkan boneka di seluruh Desa Nagoro? Apa motif yang sebenarnya terjadi?
Adalah Tsukimi Ayano, pencipta sekaligus seniman yang menghabiskan masa kecilnya di desa di Prefecture Tokushima itu.
Setelah lama merantau ke Osaka, Ayano kembali ke desanya pada 2003 silam untuk menjaga ayahnya. Ia kemudian mendapati penduduk desa terpencil itu terus menyusut. Bahkan, pada Agustus 2016, jumlah populasi di sana hanya 30 jiwa.
ADVERTISEMENT
Setelah ayahnya meninggal, Ayano kemudian membuat boneka yang menyerupai sang ayah.

Boneka Tersebut Dibuat untuk Menggambarkan Suasana Desa yang Dulu

Dilansir National Geographic, sepuluh tahun kemudian Ayano telah membuat boneka 10 kali lipat jumlah manusia di Desa Nagoro atau lebih dari 350.
Kebanyakan boneka itu menyerupai warga yang telah meninggal atau pindah dari desa tersebut.
Penduduk setempat Tsukimi Ayano (tengah) berpose dengan boneka seukuran aslinya yang dipajang di sebuah sekolah dasar, yang ditutup tujuh tahun lalu. Foto: AFP
Ketika semakin banyak penduduk desa yang meninggal atau pindah, Ayano pun mulai menciptakan lebih banyak orang-orangan sawah untuk mengingat kehadiran mereka. Proses pembuatan boneka tersebut biasanya dilakukan selama tiga hari per boneka.
“Ketika saya membuat boneka menyerupai mereka yang telah meninggal, aku jadi memikirkan mereka saat masih hidup dan sehat,” jelas Ayano dalam sebuah film dokumenter The Valley of Dolls yang dibuat Fritz Schumann.
ADVERTISEMENT
Boneka itu dibuat dari kain, lengkap dengan baju bekas dan aksesoris yang menghiasinya. Mereka bahkan mengenakan topi dan sepatu, serta diletakkan sesuai profesi orang yang diserupai.
Bekas gedung sekolah di Desa Nagoro yang telah ditutup pada 2012 juga tak luput dari boneka ciptaan Ayano. Tampak dalam kelas-kelasnya, ia menempatkan boneka-boneka serupa guru dan murid yang sedang melakukan proses belajar mengajar.
Sejumlah boneka seukuran manusia yang dipajang di sebuah sekolah dasar, yang ditutup tujuh tahun lalu. Foto: AFP
Lama kelamaan, kediamannya pun menjadi terasa hidup dan damai. Ia pun mengatakan sangat nyaman tinggal di rumahnya karena selain aman dari hewan liar, boneka-boneka tersebut membuatnya dapat mengenang masa lalu bersama orang-orang yang dicintainya.

Desa Nagoro Dulu dan Sekarang

Dahulu, Desa Nagoro adalah desa yang dihuni dengan jumlah penduduk yang banyak. Sekitar 300 penduduk termasuk keluarga dan anaknya tinggal bertahun-tahun di sana.
ADVERTISEMENT
Sejak Perang Dunia II selesai, sekitar 1960-an, para anak muda penduduk Nagoro pindah ke kota besar seperti Tokyo. Alasannya karena di kota-kota besar tersebut mereka mendapatkan ekonomi yang lebih terjamin. Mereka pun pergi dan tak pernah kembali ke desa tersebut.
Sedangkan, sebagian besar penduduk lainnya telah meninggal dunia. Pada waktu itu hanya Ayano saja yang kembali ke desa setelah merantau ke kota. Namun sayang, sepulangnya Ayano ia mendapati desa tersebut sangat sepi.
Kini, hanya ada sekitar 27 penduduk yang tinggal di sana dan penduduk termuda pun berusia 50 tahun. Walau demikian, berkat karya Ayano, Desa Nagoro kerap kedatangan turis yang rela traveling ke pedalaman untuk menengok keunikan di sana.
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)