Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Para Seniman di Balik Lima Karya Termahal Art Basel Paris 2024
18 November 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Beberapa publikasi seni mencatat, Art Basel Paris tahun ini meraup sukses besar, baik dari gaung berita maupun angka penjualan. Mari simak para seniman di balik lima karya termahal ajang ini, serta bonus satu seniman perempuan Indonesia yang juga berhasil mencapai angka lumayan fantastis.
Louise Bourgeois, Spider I, 20 juta dolar AS
Patung dinding berbentuk laba-laba raksasa hitam karya Louise, adalah karya termahal Art Basel Paris 2024. Seniman perempuan Prancis multi disiplin yang wafat pada 2010 ini, teguh kepada tema eksplorasi tubuh dan aneka kandungan sensualitasnya. Tema ini berangkat dari kedekatannya dengan sang ibu dari trauma masa kecil Louise menyaksikan hubungan luar nikah antara ayah dan pengasuhnya.
Louise yang lahir pada 1911 di Paris, tumbuh besar membantu sang ibu mencuci dan mereparasi permadani- permadani antik yang kemudian dijual kembali oleh kedua orangtuanya. Karya Spider I, bukanlah satu-satunya karya Louise yang mengambil bentuk laba-laba.
ADVERTISEMENT
Karya paling terkenalnya, Maman, dan salah satu karya seni patung terbesar di dunia, berbentuk laba-laba gigantik setinggi lebih dari 9 meter. Mengapa laba-laba? “Bentuk laba-laba adalah syair pujian bagi ibu saya. Seperti laba-laba, ibu saya adalah seorang penenun, sangat cerdas. Seperti laba-laba yang memangsa nyamuk penebar penyakit, ibu saya adalah penolong dan pelindung.”
Julie Mehretu, Insile, 9.5 juta dolar AS
Perempuan kelahiran Ethiopia ini digadang-gadang sebagai salah satu seniman visual kontemporer terpenting saat ini. Ia menggurat gambar dengan pensil dan pena, melukis dengan cipratan cat akrilik pekat. Materi-materi yang terhampar di dalam karyanya adalah cetak biru arsitektur, peta kota, kisah sejarah, isu terkini dan pemikiran pribadinya.
“Bagi saya arsitektur adalah refleksi bagan-bagan politik. Saya memandang bahasa arsitektural tidak hanya sebagai metafora ruang. Tetapi lebih tentang ruang-ruang kekuasaan.”
ADVERTISEMENT
Konsistensi Julie mengulik lokasi dan pergerakan sosial politik di sekitarnya, terbentuk dari pengalaman pribadinya sebagai pengungsi anak. Tahun 1977 saat ia masih berusia 7 tahun, ia dan orang tuanya mengungsi dari tanah kelahirannya, menjauhi panasnya konflik politik.
Mereka bertolak ke AS, domilisi Julie hingga kini. Pada karya Insile, lapisan-lapisan itu masih berlangsung. Bentukan dan pola geometris menjadi dasar dari gurat-gurat abstrak. Keteraturan yang menyangga kekalutan. Layaknya para pengungsi yang mendamba ketenangan setelah keluar dari kekacauan.
Jean Dubuffet, Parade Nuptiale, 4.1 juta dolar AS
Sebelum jadi bapak pelopor dan pelindung art brut serta seniman multi dimensi, Dubuffet adalah pedagang wine yang sukses. Ia menobatkan art brut (seni mentah), sebagai cabang seni yang penciptanya adalah mereka yang tak pernah menempuh pendidikan formal seni, contohnya adalah para penderita gangguan mental dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Bagi Dubuffet, art brut adalah emosi dan visi yang merdeka, antitesis dari refined art (seni murni). Setelah terjun ke dunia seni, Dubuffet terlibat total.
Ia mencipta, mendirikan Compagnie de l’Art Brut bersama Andrè Breton dan Slavko Kopac, serta menyerahkan 180 karya kepada Musée des Arts Décoratifs di Paris dan sejumlah besar koleksi pribadinya ke kota Lausanne, Swiss. Dalam karya Parade Nuptiale (Pacaran), ia memilih warna hitam dan putih, bentuk grafis tak teratur.
Memang mirip perasaan kasmaran: emosi yang kacau, kadang putih ringan seperti awan, kadang gelap berat serupa aspal. Sesuai kata-katanya, “Seni hanya menarik ketika ia merupakan proyeksi langsung dan segera dari yang sedang terjadi di kedalaman diri seseorang.”
ADVERTISEMENT
Mark Bradford, Not Quite in a Hurry, 3.5 juta dolar AS
Seniman Amerika yang ditatah oleh masyarakat seni global sebagai salah satu seniman kontemporer terpenting ini, menghabiskan keseharian masa kanaknya di salon tempat ibunya bekerja sebagai penata rambut.
Ia terbiasa dikelilingi aneka jepit, cat, atau potongan-potongan kertas pengeriting rambut. Sebagian besar dari karyanya adalah kolase abstrak dari potongan-potongan poster, billboard bekas, dan dempul yang ditempel dengan lem di atas kanvas lalu dilabur dengan cat. Bradford tak sembarangan dalam memilih materi karyanya. Benang merah temanya adalah rasisme, kemiskinan, populasi yang terpinggirkan.
“Sebuah detail yang menunjuk ke sebuah titik yang lebih besar. Dari titik yang lebih besar itulah imajinasi saya berangkat,” papar Bradford. Seperti dalam karya Not Quite in a Hurry, warna merah yang dominan mungkin dipilihnya sebagai ekspresi kegelisahan. Gelisah tentang para pemegang kuasa yang ‘not quite in a hurry’ (tidak terburu-buru) dalam menyelesaikan segala ketimpangan global yang akan berujung kepada terbakarnya ibu bumi.
ADVERTISEMENT
Barbara Chase-Riboud, Numero Noir #2, 2.2 juta dolar AS
Perempuan kelahiran Amerika Serikat tahun1939 ini telah berkarya selama tujuh dekade, dan kobar karyanya belum lagi redup. Berlangsung dari awal Oktober hingga awal tahun depan, delapan museum ternama di Paris mengadakan pameran tunggal karya-karyanya yang berjudul Everytime A Knot is Undone, A God is Released.
Kisah berkaryanya dimulai sejak ia memenangkan kategori kelas malam dewasa di tempatnya kursus mematung, pada usia tujuh tahun. Sembilan tahun kemudian, karya patungnya dibeli oleh William S.
Lieberman, seorang kurator seni legendaris. Selalu ada kontradiksi materi pada karyanya. Materi perunggu yang keras dan berat, bersanding dengan sutra atau wol yang lembut dan ringan. Barbara tak pernah ragu menyentuh tema yang menurutnya patut diberi panggung, seperti sejarah kelam perbudakan. Pada karya Numero Noir #2, lekuk keras dan abstrak di paruh atas, beradu juntai-juntai lentur yang menarik berat di paruh bawah.
ADVERTISEMENT
Mungkin tentang perlawanan kekal atas kekuasaan yang keras menekan, karena menurut Barbara, “Patung saya menciptakan kenyataan. Karena patung bukanlah mimpi, tapi sebingkah cerita.”
Christine Ay-Tjoe, The Model of Plasma Species, 190 ribu dolar AS
Bukan sekali dua kali karya perempuan kelahiran Bandung ini mencapai harga menjulang di balai-balai lelang papan atas dan galeri-galeri ternama, dan terbukti lagi di Art Basel Paris tahun ini. Memulai perjalanannya di dunia seni sebagai seniman grafis, tahun 2002 Christine melansir pameran tunggal pertamanya di Indonesia. Rutin menggelar pameran tunggal selama dua belas tahun terakhir di Asia Timur dan London, memantapkan namanya sebagai salah satu seniman ekspresionis abstrak terdepan di Asia. Manusia dengan segala kompleksitas emosi serta hubungan mereka dengan alam sekitar dan Yang Maha Tinggi, adalah lumbung inspirasinya.
ADVERTISEMENT
Proses kreatifnya dalam berkarya, diakuinya sebagai pengalaman spiritual, “Ketika saya ingin menciptakan karya baru, saya menatap kanvas kosong. Dan sejauh pengalaman saya, guratan demi guratan langsung mengalir lancar. Seakan saya menemukan spirit, dan sang spirit membantu saya mewujudkan karya.”
Dalam The Model of Plasma Species, sapuan kuas yang tegas dan ekspresif, masih berlangsung. Bentuk yang organik, mengingatkan kita akan percikan dari alam atau tubuh yang berpikir dan bergerak mandiri. Karya-karya Christine, adalah seperti pendapatnya tentang pohon, “Mereka tenang, tidak agresif, tapi dapat tumbuh begitu besar.”
Penulis: Rifna Mar'ie