Perang Topat Jadi Simbol Kerukunan dan Perdamaian Antar Umat di Lombok

12 Desember 2019 17:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perang Topat merupakan tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun. Foto: dok. Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Perang Topat merupakan tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun. Foto: dok. Kemenparekraf
ADVERTISEMENT
Bagi banyak orang, perang menjadi hal yang menyeramkan dan penuh dengan pertumpahan darah. Namun, perang berikut ini justru jauh dari kesan seram.
ADVERTISEMENT
Ya, Perang Topat yang digelar di Kompleks Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (11/12), malah memunculkan rasa damai setelah "perang" ini digelar.
Dilansir dari keterangan resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kamis (12/12), ratusan peserta perang antara umat Muslim dan Hindu, serta suku Sasak dan Bali hadir berbaur menjadi satu. Mereka datang untuk menghadiri sebuah tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Tradisi perang topat menceritakan kedamaian masyarakat Lombok Barat saat mempraktikkan hidup dalam keberagaman. Foto: dok. Kemenparekraf
Tradisi Perang Topat ini menceritakan kedamaian masyarakat Lombok Barat saat mempraktikkan hidup dalam keberagaman. Islam dan Hindu menyatu tanpa ada gesekan serta konfrontasi, yang muncul justru tradisi Perang Topat yang lestari hingga sekarang.
Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, saat puncak Perang Topat, Rabu (11/12) menjelaskan Perang Topat bukan merupakan perang sungguhan. Melainkan sebuah tradisi masyarakat Lombok Barat yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Ketupat yang akan digunakan saat Perang Topat sedang dipersiapkan. Foto: dok. Kemenparekraf
Ia mengatakan, tradisi ini melambangkan kedamaian masyarakat Lombok Barat saat mempraktikkan hidup dalam keberagaman. Islam dan Hindu menyatu tanpa ada gesekan dan konfrontasi hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
"Rangkaian kegiatan Perang Topat adalah salah satu bukti kehidupan keberagaman, yang didasari oleh kebersamaan, serta nilai-nilai sepenanggungan. Ini sangat hidup di Kabupaten Lombok Barat," kata Fauzan.
Mengarak kerbau menjadi simbol keharmonisan umat beragama yang ada di Lombok, NTB. Foto: dok. Kemenparekraf
Menurut Bupati Fauzan, gambaran keharmonisan umat beragama tersebut bisa disaksikan sebelum puncak Perang Topat dimulai, dengan ritual mengarak kerbau. Tokoh agama dari perwakilan umat Muslim dan Hindu memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar.
“Kerbau merupakan simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu. Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total bahwa kita semua mahluk Allah SWT, guna merajut persaudaraan dan perdamaian. Jadi filosofi Perang Topat yakni mempertahankan tradisi menjaga toleransi," katanya.
Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid memberikan sambutan saat puncak Perang Topat. Foto: dok. Kemenparekraf
Ia juga meminta kepada Dinas Pariwisata Lombok Barat, untuk memastikan kalender penyelenggaraan tradisi Perang Topat agar bisa diketahui setahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Saya minta Dinas Pariwisata untuk bisa mendiskusikannya dengan seluruh pemangku adat supaya tanggal penyelenggaraan tradisi Perang Topat bisa dipastikan lebih awal,” ujarnya.
Beragam persembahan yang dihadirkan saat Perang Topat di Lombok, NTB. Foto: dok. Kemenparekraf
Sementara itu, Asisten Deputi Pemasaran I Regional III Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Muh Ricky Fauziyani mengatakan tradisi Perang Topat menjadi pelajaran tentang cara menjaga toleransi dan silaturahmi di antara dua suku dan agama di Lombok Barat.
"Lombok Barat beruntung punya tradisi adiluhung yang tinggi. Itu yang harus kita lestarikan, serta dipromosikan sehingga banyak wisatawan yang tertarik dengan budaya yang ada di sini. Terlebih Lombok memiliki kawasan destinasi super prioritas Mandalika, harus dimanfaatkan secara maksimal,” ujar Ricky.