Pro Kontra Atraksi Hewan untuk Wisata: Antara Baik dan Benar

19 Oktober 2019 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sirkus lumba-lumba keliling. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sirkus lumba-lumba keliling. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Atraksi wisata menggunakan binatang kerap menuai pro dan kontra. Mulai dari sirkus menggunakan lumba-lumba, harimau, dan beruang, hingga atraksi menunggang binatang, seperti gajah dan keledai yang dulunya jadi primadona wisata, kini justru sering dikecam oleh para pecinta binatang.
ADVERTISEMENT
Di India misalnya, atraksi naik gajah sebagai kendaraan menuju destinasi wisata, seperti Jaipur mendapat protes dari aktivis hewan. Begitu pula dengan keledai di Yunani, terutama akibat overtourism yang terjadi di Santorini. Keledai-keledai itu sering kali mesti bekerja lebih dari seharusnya dan membawa beban lebih berat dari kemampuannya.
Keledai membawa pengunjung di Santorini, Yunani Foto: Shutter Stock
Selain gajah dan keledai, lumba-lumba dan beragam jenis ikan lainnya menjadi jenis hewan yang sering kali menuai kontroversi ketika digunakan sebagai atraksi wisata. Sirkus lumba-lumba salah satunya. Walau memiliki banyak penonton dan masih langgeng hingga saat ini, banyak juga orang yang mengecam kegiatan sirkus seperti ini.
Terlebih gerakan menjaga keberlangsungan hidup hewan di habitat aslinya semakin berkembang. TripAdvisor bahkan perlahan-lahan menyetop penjualan seluruh atraksi wisata yang menggunakan hewan cetacean (paus dan lumba-lumba) di dalam laman resmi mereka.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan tindakan lanjutan setelah mengeluarkan larangan penjualan tiket atraksi wisata pengalaman bersama hewan, seperti menunggang gajah dan mengelus harimau yang dilakukan sejak 2016 silam. Pro dan kontra terkait pengikutsertaan hewan dalam atraksi wisata tak hanya terjadi di luar negeri saja, tetapi juga di Indonesia.
Rika Sudranto, Vice President SeaWorld Ancol. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Rika Sudranto, VP SeaWorld & Ocean Dream Samudera, mengatakan bahwa salah satu penyebab pro dan kontra ini terjadi adalah adanya perbedaan cara pandang atau filosofi.
"Ada dua filosofi yang digunakan sebagai cara pandang terhadap hewan, yaitu Animal Rights dan Animal Welfare. Kita menganut Animal Welfare, kita sebagai konservasi berusaha mengembangbiakkan dan berusaha memajukan kesejahteraan hewan," ujarnya saat ditemui kumparan dalam konferensi pers Live Feeding Shark: Face to Face, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Rika menuturkan bahwa Ancol tak sekadar memanfaatkan hewan-hewan di dalamnya sebagai ekshibisi semata, tetapi juga berperan sebagai konservasi. Mulai dari hiu hingga penyu dikonservasi, dibesarkan dan dikembangbiakkan di tempat ini. Ketika umurnya telah mencukupi, hewan-hewan itu akan dilepas kembali ke habitatnya.
"Kita juga telah berencana dan berkomitmen mencari tahu bagaimana caranya me-release bayi hiu kita. Karena kita tidak mungkin melepasliarkan hiu yang ada di sini (sembarangan)," tambahnya.
Rohmadi Asisten Manajer PT.WSI Foto: Tommy/kumparan
Sementara itu, Rohmadi alias Romi, Asisten Manajer PT Warsut Seguni Indonesia (WSI) pernah mengatakan bahwa dihadirkannya lumba-lumba sebagai bagian dari sirkus keliling merupakan cara perusahaan dalam mengumpulkan dana untuk melakukan konservasi.
"Kita swasta sih, ya, jadikan untuk pembiayaan juga perawatan dan lain-lain ini, kan, kita harus usaha sendiri. Jadi, ya, dari tiket ini, kita menghidupi yang di sana, lumba-lumba yang di sana untuk perawatan, pengembangan, menjaga mereka, dan juga satwa-satwa yang lain. Lah, ini biayanya kita dari ini (tiket)," ungkapnya seperti yang diberitakan kumparan, (1/11/2018).
Hamish Daud sebagai Founder Indonesian Ocean Pride menceritakan kampanye dan kolaborasinya bersama TeamLab Future Park. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Dari kaca mata yang berbeda, aktor sekaligus presenter Hamish Daud yang juga founder Indonesian Ocean Pride rupanya tak serta-merta setuju dengan opini di atas. Ia punya mimpi bahwasanya kelak tak ada lagi hewan yang mesti hidup di dalam akuarium. Sebab menurut Hamish, animal cruelty tak seharusnya berlangsung hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Apalagi jika alasannya adalah demi mengumpulkan uang untuk konservasi itu sendiri. Ayah satu anak itu menganggap bahwa melakukan ekshibisi atau pertunjukan bukanlah cara yang kreatif dan justru dapat membuat hewan tersebut merasa stres.
"Niatnya kumpulin uang lewat exhibition untuk konservasi itu kurang kreatif, ya. Itu seperti burung di kandang, mereka punya sayap karena ada fungsinya, tapi malah dikurung," ujar Hamish, ketika ditemui dalam Konferensi Pers Kolaborasi SGE Live dengan Indonesian Ocean Pride, (11/10).
"Saya rasa ada banyak cara kreatif untuk mengumpulkan dana. Salah satu contohnya adalah TeamLab Future Park yang bisa mengkreasikan teknologi digital dan edukasi. Mengurung binatang di suatu tempat bisa bikin binatang stres, kita tidak punya hak untuk membuat mereka stres," katanya menutup pembicaraan
ADVERTISEMENT
Hmm.. Bagaimana menurutmu?