Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Pada penghujung 2019, sebanyak 1.499 benda seni dan bernilai sejarah koleksi Museum Nusantara Delft di Belanda dipulangkan ke pangkuan Ibu Pertiwi.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya sebilah keris Bugis juga diserahkan terlebih dahulu oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, kepada Presiden Joko Widodo saat kunjungan resminya ke Indonesia pada 23 November 2016 silam.
Berdasarkan cerita turun-temurun, masyarakat Sulawesi Selatan meyakini bahwa keris telah ada sejak zaman dahulu. Saat di mana, manusia pertama dikenal sebagai 'Tomanurung' (orang yang turun dari kayangan), mendiami tanah yang sekarang bernama Luwu.
Sebagian budayawan dan sejarawan Bugis pun percaya bahwa kerajaan pertama muncul di daerah Luwu dengan senjata khasnya berupa keris atau ‘kawali’. Hal itu pula yang diungkapkan oleh Ahmad Ubbe, selaku Pengamat Keris, sekaligus penulis buku ‘Senjata Pusaka Bugis’.
Menurutnya, asal-usul keris Bugis bisa ditelaah berdasarkan dua periode zaman, yaitu zaman prasejarah dan zaman sejarah.
ADVERTISEMENT
“Prasejarah itu disebut fase La Galigo. Fase berikutnya setelah berlalu fase La Galigo, masyarakat Bugis masuk ke fase Lontara atau fase sejarah. Jadi gampangnya gitu,” ujar Ubbe, saat berbincang dengan kumparan.
Ubbe menjelaskan berdasarkan karya sastra La Galigo atau Galigo --karya sastra tertebal di dunia setelah Ramayana- keris Bugis diperkirakan telah ada sejak abad ke-14 hingga 15.
“Dalam naskah tua Galigo (itu kira-kira sekarang abad ke-15 bahkan mungkin abad ke-14) menyebut misalnya tokoh-tokoh utama Galigo itu sudah berkeris. Dikatakan dalam Galigo bahwa Sawerigading (nama seorang putera Raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba), keris itu dari Batara, guru dewa langit yang turun ke bumi menjadi raja itu diturunkan dengan kerisnya. Keris itu diberi nama laula balu artinya ular kobra dan launga waru atau bunga waru,” ujar Ubbe saat dihubungi kumparan beberapa waktu lalu.
Kemudian setelah masa Galigo berakhir, masuklah ke masa Lontara. Di masa inilah raja-raja Galigo telah hilang di Bumi dan digantikan raja-raja baru yang turun dari langit. Raja-raja tersebutlah yang disebut Tomanurung ‘to’ yang berarti ‘orang’ dan ‘manurung’ berarti ‘turun’ atau orang yang turun dari langit.
ADVERTISEMENT
“Mereka itu juga berkeris, keris para Tomanurung itu ada yang turun di Bone, ada yang turun di Soppeng. Orang-orang yang turun ini adalah raja pertama di masa sejarah, itu semua disertai dengan senjata, ada yang keris, ada yang pedang,” ungkap Ubbe.
Keris inilah yang kemudian menjadi sebuah regalia (tanda kerajaan) kebudayaan atau regalia kerajaan yang diwariskan turun-temurun hingga sekarang. Selain itu, di zaman dahulu keris menjadi sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya, bahkan keris saat itu mampu melebihi derajat seorang raja.
“Nah, siapa yang memegang pusaka itu, itu yang oleh rakyat dianggap sebagai raja. Sehingga peneliti-peneliti Barat mengatakan yang memerintah di Sulawesi Selatan itu bukan raja tapi pusaka, benda-benda keramat itu. Saya rasa seperti itu dan ditulis juga oleh peneliti-peneliti Barat. Bicara tentang konsep kerajaan bahkan di Asia Tenggara juga begitu, di Melayu juga begitu. Jadi yang dianggap memerintah itu adalah regalia-regalia-nya,” jelas Ubbe.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, keris Bugis juga tidak lepas kaitannya dari Kerajaan Luwu yang pernah berdiri pada abad ke-10 sampai abad 14.
Dosen Arkeologi Universitas Hasanudin Makassar, Irwan Sumantri, mengatakan kekayaan budaya Kerajaan Luwu berupa keris. Keris ini diduga menjadi pusaka para bangsawan dan panglima perang kerajaan, terutama di kalangan orang Bugis-Makassar.
“Kejayaan Kerajaan Luwu itu ketika berpusat di Malangke, di situ ada banyak komunitas dan suku yang pernah hidup, termasuk orang Jawa itu abad ke-15 dan 16. Oleh sebab itu, menurut saya kelahiran keris itu antara abad ke-15 hingga 16,” ungkap Irwan.
Selain itu, Irwan juga menjelaskan bahwa keris menjadi bagian dari parewa bessi (senjata dari besi). Berdasarkan catatan sejarah, Sulawesi terkenal dengan biji besi dan nikelnya yang pada masa itu keduanya digunakan sebagai bahan baku senjata, seperti keris dan badik.
ADVERTISEMENT
“Di sejarah Sulawesi Selatan ada salah satu raja dengan gelar dari Bone itu Petta Panre Besi yang artinya ‘Tuan Kita Pandai Besi’, bangsawan yang memerintah atau yang memulaikan pengerjaan besi. Nah, pengerjaan besi di situ sebetulnya adalah salah satu parewa bessi itu ada, mulai dari badik, salapu, keris, tombak, parang, kapak dan sebagainya. Itu bisa ditelusuri kapan Petta Panre Besi ini muncul,” kata Irwan.
Perbedaan Keris Jawa dan Keris Bugis
Lalu, apakah ada perbedaan antara keris Jawa dan keris Bugis? Ubbe pun memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Menurutnya dari segi bentuk, keris Jawa dan Bugis tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh.
“Dari segi anatomi itu kan terdiri dari tiga, pessik dibungkus otting, bagian tengah, dan pangkal dan ujung. Sebelum pangkal ada otting. Secara anatomi tidak ada perbedaan tapi dari segi ricikan (bagian-bagian keris) sepertinya kalau di Jawa ricikan atau bagian-bagiannya itu disebut sangat rinci,” ungkap Ubbe.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ubbe menjelaskan bahwa keris Bugis memiliki persamaan dengan keris orang-orang Melayu. Hal itu diakibatkan oleh proses asimilasi yang terjadi pada dua kebudayaan tersebut.
“Bugis dengan Melayu itu, ada keris orang Melayu sama anatominya dengan keris Bugis. Persamaan ini ternyata disebabkan oleh asmiliasi kebudayaan. Jadi keris Bugis itu berasimilasi sebagian dengan kerisnya orang Melayu. Demikian juga Bima dan Lombok, sehingga kalau ada pameran keris kita bisa lihat itu (persamaannya),” lanjutnya.
Meski demikian, ternyata ada beberapa hal yang membedakan antara keris Jawa dan keris Bugis. Ubbe menuturkan ada beberapa bagian yang membedakan antara keris Jawa dengan Bugis.
“Jawa itu pakai dawung punya agak bertangkai, kalau Bugis tidak bertangkai cuma agak segi empat. Bisa dilihat sampirnya ada batang sarungnya, kemudian ada sepatunya bagian buntutnya itu ada buntutnya. Kalau keris Jawa tidak pakai buntut, lonjong saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Keris Bugis Sebagai Sebuah Simbol
Sementara itu, menurut Ubbe keris tidak hanya kaya akan sejarah, tetapi juga menjadi sebuah simbol atau tanda bagi masyarakat Bugis.
“Cuma menurut saya yang ada di keris itu adalah simbol, kalau di Sulawesi Selatan itu di Bugis-Makassar dikatakan bahwa keris itu berisi tanda-tanda. Ada tanda baik, tanda buruk, tanda-tanda kekuasaan, ada tanda tentang kesejahteraan, ada tanda tentang harta benda dan kebudayaan, dan seterusnya,” kata Ubbe.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh sejarawan sekaligus sekaligus Founder Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali. Menurutnya, keris bugis ataupun badik sebagai sebuah senjata memiliki nilai simbolis.
“Secara umum setiap badik memiliki nilai tertentu. Ciri khas utama masyarakat Bugis dan digunakan dari lingkungan kerajaan hingga masyarakat biasa,” kata Asep.
ADVERTISEMENT
Asep menjelaskan badik sama terkenalnya dengan senjata pusaka tradisional Nusantara seperti keris dari Suku Jawa, kujang dari Pasundan atau rencong dari Aceh. Pada zaman dahulu, Badik wajib dimiliki setiap orang Bugis-Makassar.
“Badik dan keris sebenarnya merujuk pada konsep tertentu dan wilayah tertentu,” imbuh Asep.
Suku Bugis memiliki beberapa jenis badik, seperti Badik Gecong, yang memiliki bilah melengkung bagian dalam di dekat gagang. Badik Gecong umumnya berasal dari masyarakat Bugis di sekitar Bone, Soppeng, dan Wajo.
Selain Gecong, ada juga badik jenis Toasi dari Sidenreng. Perbedaan badik Gecong dan Toasi terletak di gagangnya. Badik Toasi memiliki gagang lurus. Selain itu, ada juga Badik Raja yang menjadi buruan kolektor pusaka Nusantara.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Bugis juga memiliki tradisi untuk membersihkan benda-benda pusaka, termasuk keris Bugis.
Prosesi tersebut dilakukan dalam upacara adat mattompang arajang atau biasa juga disebut masossoro arajang (mattompang) yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya bertepatan dengan hari jadi Bone.
“Regalia itu masih disimpan bahkan sekarang pencucian keris yang namanya mattompang itu di Sulawesi Selatan dilakukan pada Idul Adha. Bahkan misalnya Bone pencucian kerisnya setiap tahun itu ramai sekali itu proses penyuciannya itu,” kata Asep.
Mattaompang sendiri dilaksanakan setiap sang raja telah menggunakan pusaka-pusaka tersebut, maka sang raja menyuruh para pembantunya untuk membersihkan atau menyucikannya kembali. Dari situlah dilakukan secara turun temurun hingga sekarang ini.
Keris Bugis yang Direpatriasi dari Belanda ke Indonesia
Sementara itu, setelah penantian panjang, perjalanan sebuah keris Bugis berlapis emas yang dulu sempat menetap di Museum Nusantara Delft, Belanda, kini telah kembali ke pelukan Ibu Pertiwi.
ADVERTISEMENT
Keris Bugis berlekuk 11 tersebut diboyong kembali ke Indonesia oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada 2016 lalu. Saat itu, keris diterima oleh Presiden Jokowi dan disimpan untuk sementara oleh Sekretariat Presiden.
Penyerahan dari istana kepada Museum Nasional memang tak langsung dilakukan sesaat setelah keris diterima pemerintah Indonesia pada 2016.
Alasannya, pihak istana harus menunggu 1.499 artefak bersejarah lainnya yang baru tiba di Indonesia secara lengkap pada akhir 2019.
“Jadi pada waktu itu 1.400 sekian diserahkan tinggal tersisa satu keris itu dan satu keris itu menjadi momen dan simbol tamu negara perdana menteri dengan bapak presiden hadir untuk menyerahkan dengan niat untuk mengembalikan mungkin hampir 1.500 dan seterusnya itu benda-benda bersejarah milik Indonesia yang pernah tersimpan,” ujar Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono.
ADVERTISEMENT
Kepala Museum Nasional Siswanto menjelaskan bahwa keris Bugis yang diserahkan kepada Museum Nasional diharapkan bisa menjadi objek riset yang memberikan nilai tambah.
Ia berharap pihak museum bisa menyimpan keris tersebut dengan baik, sekaligus melakukan penelitian dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Akan lebih informatif lagi untuk kami bersama menyampaikan kepada masyarakat adalah apabila narasi ini dilengkapi dan kita membuka kepada akademisi, peneliti, budayawan, pemerhati, kurator untuk ke Museum Nasional menambahkan atau mengungkap yang ada,” katanya.