Sejarah Marseille di Prancis: Kota dengan 100 Lingkungan

12 Februari 2022 17:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marseille, kota terbesar kedua di Prancis Foto: Dok. Badan Pariwisata Cote d'Azur Tourism Board
zoom-in-whitePerbesar
Marseille, kota terbesar kedua di Prancis Foto: Dok. Badan Pariwisata Cote d'Azur Tourism Board
ADVERTISEMENT
Kota Marseille mungkin tidak seperti kota-kota borjuis lainnya di Prancis. Ini adalah kota metropolitan di pinggiran baik secara geografis dan budaya, penghuninya terdiri dari gelombang migran yang tiba lebih dari dua setengah milenium catatan sejarah.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadikannya bukan hanya kota tertua di Prancis tetapi juga kota yang paling multikultural. Cerita Marseille ini dimulai dari orang Yunani yang berlayar dari Asia.
Dilansir BBC, orang tersebut sudah mengenali pelabuhan laut dalam yang strategis dan menetap di tempat yang sekarang disebut Le Panier yang menghadap ke Pelabuhan Vieux.
Orang Yunani berdagang dengan Galia untuk memperkenalkan anggur dan zaitun ke wilayah tersebut. Tanpa disadari hal tersebut membuat meletakkan sejarah untuk masakan Provençal.
Ilustrasi kota-kota di Yunani Foto: Shutter Stock
Setelah enam abad sebagai kota Yunani yang independen, kota itu berakhir ketika pasukan Caesar datang menyerbu, dan mengeklaim kota itu untuk Roma pada 49 SM dan memulai 500 tahun budaya Gallo-Romawi.
Berikutnya datanglah Visigoth, yang menginvasi kota tersebut pada abad ke-5. Namun, populasi perkotaannya pun ikut runtuh karena terjadinya wabah besar pada tahun 1720 hingga 1721.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diperingati dalam pameran sementara di Museum Sejarah Marseille.
Ketika Prancis memiliki ambisi untuk mendunia, terutama setelah 1830 dan penutupan perang Napoleon, pelabuhan selatan pun mulai muncul sebagai titik perhubungan utama kekaisaran.
Pelabuhan Vieux di Marseille, Prancis. Foto: Dmitry Rukhlenko/Shutterstock
Dan Marseille menikmati masa keemasan tersebut dan disebut sebagai "Gerbang Kekaisaran". Karena perwira kolonial Prancis, angkatan laut, dan pencari kekayaan berangkat dari Pelabuhan Vieux.
Semuanya mendarat di Marseille, mulai dari manusia, hasil bumi, budaya, hingga barang selundupan. Tentu hal tersebut terlihat di sepanjang Cours Belsunce, sebuah jalan raya luas yang dinamai Uskup Henri François Xavier de Belsunce de Castelmoron, orang yang merawat orang sakit selama wabah besar.
Ketika melewati jalan tersebut aroma masakan Arab dan Turki tercium di udara, belum lagi ada banyak pedagang kaki lima di pinggir jalan menjajakan ukiran kayu Afrika, kerudung warna-warni, dan kaus sepak bola Olympique de Marseille.
ADVERTISEMENT
Nicholas Hewitt menulis tentang "afinitas kuat" yang luar biasa antara Marseille dan Aljir, sebuah kota yang secara emosional lebih dekat dengan Paris.
Pelabuhan Vieux di Marseille, Prancis. Foto: Dmitry Rukhlenko/Shutterstock
Hampir 200 tahun berlalu, konsep Marseille sebagai kota Afrika Utara tetap menjadi bagian dari citra populernya di Prancis. Tentu saat di Marseille para turis bisa menemukan para pemuda yang melantunkan lagu rap dengan bahasa Arab dan Prancis, belum lagi ada penjual almond yang berasal dari Maroko dan Pantai Gading.
Karena banyaknya orang-orang di luar Prancis yang tinggal di Marseille, hal tersebut membuat kota ini disebut sebagai kota dengan 100 lingkungan.
Pada tahun 1873, untuk menuju ke Marseille dari Paris harus memakan waktu 19 jam menggunakan kereta api. Tapi sekarang hanya 3 jam saja.
ADVERTISEMENT
Tentu dari seluruh bagian Marseille, Pelabuhan Vieux tetap menjadi fokus utama, ketika melihat pelabuhan itu perairannya dipenuhi kapal pesiar yang terombang-ambing seperti angsa di danau.
Bagi para pencela, Marseille dinilai tidak memenuhi visi "Parisian" mereka tentang Prancis seperti yang dilakukan Lyon, saingan terdekatnya atau oleh penggemar tetangga Aix-en-Provence, yang penghuninya yang anggun dan konservatif telah membantunya mendapatkan julukan "arondisemen ke-21 Paris".
“Baru pada tahun 2013 kota ini ditunjuk Uni Eropa sebagai ibu kota Kebudayaan Eropa, mereka benar-benar membersihkan Pelabuhan Vieux,” kata Marie Picard, salah satu penduduk Marseille.
Penunjukan UE selama setahun tidak hanya memberi Marseille kesempatan untuk mempromosikan budaya Mediteranianya yang kaya dan unik.
Dekorasi grafiti menghiasi restoran Meksiko yang tutup di Marseille, Prancis. Foto: CHRISTOPHE SIMON/AFP
Tetapi juga mendorong pihak berwenang untuk menertibkan pelabuhan lama, dermaga, dan jalan-jalan komersial di sekitarnya untuk menjadi jalur pejalan kaki dan berorientasi pada pariwisata.
ADVERTISEMENT
Kota Marseille hanyalah ekspresi lain dari sebuah negara yang lebih beragam dan rumit secara budaya daripada yang sering dia akui.