Serunya Bersafari dengan Mobil Volkswagen Klasik di Yogyakarta

10 April 2019 21:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peserta memilih sendiri dan menaiki kendaraan VW klasik untuk bersafari Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peserta memilih sendiri dan menaiki kendaraan VW klasik untuk bersafari Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta dan mobil klasik seperti Volkswagen bagi beberapa orang punya makna yang sama, yaitu kenangan dan nostalgia. Istimewa. Begitu kata para penikmatnya.
ADVERTISEMENT
Katon Bagaskara, penyanyi tanah air bahkan pernah membuat lagu spesial bagi Kota Pelajar tersebut. Sama seperti Volkswagen (VW) yang seakan tak pernah surut pecinta, terutama mobilnya yang bermodel klasik.
Uniknya, mobil yang berasal dari Jerman tersebut justru semakin giat dicari traveler untuk berfoto ria, karena mampu memberikan sentuhan vintage yang klasik dalam jejak digital masa kini.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Sabtu, 6 April 2019, kumparan diajak oleh The Alana Yogyakarta Hotel untuk merasakan sendiri keseruan jalan-jalan di Kota Gudeg dengan menaiki mobil klasik Volkswagen. Kesempatan tersebut tentu saja tidak kumparan sia-siakan.
Mobil VW Combi klasik yang digunakan untuk safari di Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Berangkat pukul 08.30 WIB dari hotel, kumparan bersama banyak media lainnya, beberapa perwakilan dari perusahaan, dan loyal customer The Alana Yogyakarta Hotel pun kemudian bersiap. Kami dibagi ke dalam belasan mobil VW, setiap mobil diisi sekitar empat hingga enam orang tergantung kapasitas masing-masing mobil.
Mobil VW Safari yang digunakan oleh peserta untuk eksplorasi Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Mobil VW yang digunakan terbagi menjadi dua jenis, yaitu Combi dan Safari. Warnanya beragam. Mobil-mobil Combi cenderung berwarna pastel cerah, seperti creme, biru muda, atau hijau telur asin. Walaupun kumparan menemukan satu di antaranya yang berwarna hitam dengan banyak coretan grafiti menghias setiap bagian badannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan VW Safari yang digunakan untuk acara bertajuk "Dolan Bareng Alana Yogyakarta" tersebut lebih cenderung berwarna 'ngejreng', seperti hijau tua, orange, dan kuning terang. Mobil-mobil berbaris rapi melintasi lobby hotel dengan teratur, penumpang memilik tumpangannya secara acak sesuai keinginan.
Mobil VW Safari menjemput peserta di lobby hotel Alana Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Jumlah penumpang tidak boleh terlalu banyak, karena mobil-mobil klasik ini mesti dioperasikan dengan lebih hati-hati. "Nanti takutnya enggak bisa menanjak," kata supir kami saat itu. Mobil pertama yang kumparan tumpangi adalah VW Combi keluaran 1972 berwarna biru muda.
Usut punya usut, ternyata safari kali ini adalah bentuk kerja sama antara The Alana Yogyakarta Hotel dengan komunitas pecinta mobil VW di Yogyakarta. Karenanya jangan heran jika mobil tersebut merupakan milik pribadi sang supir yang menemani, bisa jadi kendaraan itu sudah diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarganya.
Mobil VW Combi melaju di jalanan Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Menurut penuturan sang supir, mobil tersebut telah mengalami beberapa restorasi. Salah satunya kapasitas mobil yang dari 1600 CC menjadi 1800 CC. Lalu ada pula fasilitas pendingin ruangan, meskipun saat dinyalakan tetap tidak sedingin AC mobil pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, kami pun tetap membuka jendela mobil, untuk mengobati rasa panas yang menemani kami sepanjang perjalanan. Bau mesin terasa walau tak pekat. Hanya saja, perjalanan menyusuri Yogyakarta yang indah dan suasana desa yang kami dapatkan terasa mampu menutupinya.
Deretan mobil klasik parkir dengan rapi di Objek Wisata Alam Muncar, Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Perjalanan pertama kumparan berlabuh di Objek Wisata Alam Muncar Taman Nasional Gunung Merapi. Mobil-mobil menepi, parkir dengan rapi, sementara para penumpang antusias untuk berfoto dan eksplorasi destinasi tersebut.
Mulai saat kami tiba, terlihat monyet-monyet berekor panjang secara sigap menyambut. Mereka melompat, bergantung, berjalan di sekitar gapura sambil mencari makanan. Menariknya, ibu-ibu penjaja jadah tempe yang mencari nafkah di sekitar gapura malah tak takut diserang monyet.
Monyet ekor panjang menyambut pengunjung di depan gapura Objek Wisata Alam Muncar Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Dari cerita ibu-ibu tersebut, monyet ekor panjang yang menghuni Taman Nasional Gunung Merapi tidak akan mengganggu jualan mereka. Dan memang benar, tak sekalipun kumparan menemukan tangan jahil monyet sampai ke jualan ibu-ibu penjaja tersebut.
ADVERTISEMENT
Tingkah mereka yang menggemaskan seakan memberi kesan bahwa hewan liar juga butuh disayang. Puas melihat tingkah monyet yang lucu, kami pun berjalan memasuki kawasan Objek Wisata Alam Muncar Taman Nasional Gunung Merapi. Objek yang kami tuju adalah Air Terjun Tlogo Muncar.
Pengunjung trekking menuju Air Terjun Tlogo Muncar di Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Selama kurang lebih 5 menit perjalanan, kumparan pun menemukan air terjun yang dimaksud. Batuan tebingnya sangat tinggi, sementara di sebelah kanan dan kirinya terlihat hijau karena pepohonan. Jangan harapkan air yang jatuh dengan deras, Air Terjun Tlogo Muncar yang kumparan datangi beberapa waktu lalu debitnya terhitung sedikit.
Jatuh dari tempat tinggi dan tertampung di kolam bawah kaki tebing tak membuat Air Terjun Tlogo Muncar terlihat garang. Walau airnya menyegarkan, rasanya melihat air terjun dengan debit air yang sedikit, terasa kurang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, para peserta corporate gathering The Alana Yogyakarta Hotel tampak sangat antusias berfoto dan mengabadikan momen saat berada di sana.
Air Terjun Tlogo Muncar dikenal pula sebagai Air Terjun Kaliurang Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Menurut informasi dari seorang peserta yang juga merupakan warga lokal asli Yogyakarta, debit air yang kecil di Air Terjun Tlogo Muncar diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi. Tebing yang menjadi tempat bernaungnya air terjun di kawasan Objek Wisata Muncar tersebut adalah satu-satunya penghalang antara Gunung Merapi dengan Kaliurang.
Tebing batu itulah yang menjadi pelindung Kaliurang saat Gunung Merapi meletus, sehingga penduduk setempat tidak terkena dampak yang parah. Letusan itu pula yang membuat hulu air terjun mengalirkan air yang lebih sedikit.
Papan informasi Air Terjun Tlogo Muncar di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Di sekitar air terjun terdapat papan informasi yang bisa dibaca oleh para pengunjung, baik tentang Air Terjun Tlogo Muncar maupun monyet ekor panjang. Pihak pengelola juga sudah menyiapkan kursi kayu bagi kamu yang hendak beristirahat atau sekadar foto-foto semata di kawasan air terjun.
ADVERTISEMENT
Pada bagian samping diletakkan pula patung monyet, sebagai simbol penghuni Objek Wisata Alam Muncar. Patung tersebut tampaknya sudah lama berada di sana, lumut terlihat sudah mulai memadati hampir tiap tepi tubuhnya.
Air Terjun Tlogo Muncar di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Lalu ada pula jembatan bambu dan deretan payung warna-warni yang sengaja digantung untuk memberikan pengunjung spot asyik untuk berfoto ria. Rindangnya pepohonan dan air terjun memberikan pemandangan yang kontras bagi tiap pengunjung. Wajar saja, para peserta tampak enggan untuk berpindah tempat. Namun, perjalanan mesti berlanjut.
Kami kembali memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan. Deru mesin mobil VW Combi memang tak sehalus mobil kekinian, tapi keseruannya sangat berbeda. Walau belum pernah menunggangi kendaraan ini sebelumnya, para peserta lain yang berada semobil dengan kumparan terlihat sangat menikmati. Beberapa di antara mereka bahkan bercerita satu dengan yang lain tentang mobil tersebut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Perhentian kedua kumparan adalah Desa Wisata Kembangarum. Desa wisata yang diresmikan pada tahun 2005 tersebut menghadirkan pesona kampung yang sungguh menyegarkan mata. Dalam perjalanan kedua ini, kumparan mendapat suguhan tembang khas Jawa.
Mulai dari lagu "Gambang Semarang" hingga "Bojoku Galak" milik Via Vallen didendangkan sang biduan bersama teman-teman pemusiknya. Peserta pun bebas untuk me-request lagu atau bernyanyi bersama dengan pemusik.
Pondok-pondok bambu diisi dengan makan siang, dan di depan pondok bambu telah disediakan meja kayu beserta durian sebagai jamuan bagi para peserta.
Desa Wisata Kembangarum di Sleman, Yogyakarta Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Hidangan yang disajikan pun merupakan menu tradisional, seperti mangut lele, tempe dan tahu goreng, sayur lodeh dan tumis cumi pete. Lanskap hijau, cuaca sejuk, dan semilir angin, berpadu dengan suasana desa yang didukung pondok bambu membuat rasa lelah peserta jadi tak sia-sia.
ADVERTISEMENT
Apalagi sebelum makan seluruh peserta diajak untuk mengikuti games, rasa lelah dan lapar benar-benar dilibas dengan sajian nikmat serta keindahan Desa Wisata Kembangarum.
Meja-meja berisi durian juga tak pernah sepi. Para pecinta raja buah dengan sigap dan antusias melahap buah tersebut. Rasa manis dan kelembutannya seakan lumer di lidah begitu durian dimasukkan dalam mulut.
Peserta menikmati durian yang disajikan saat berada di Desa Wisata Kembangarum Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Puas bersantap, kumparan dan seluruh peserta corporate gathering bertajuk "Dolan Bareng Alana Jogja" kemudian melanjutkan perjalanan menuju salah satu ikon wisata Kota Yogyakarta. Ya, apalagi kalau bukan Malioboro. Kawasan perbelanjaan legendaris tersebut dimanfaatkan para shopaholic untuk berbelanja pernak-pernik khas Kota Gudeg dan juga oleh-oleh.
Wisatawan berbelanja oleh-oleh di Malioboro Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Baju batik, blangkon, gantungan kunci, gelang, bakpia, dan kaos bertuliskan Yogyakarta bertebaran di sepanjang jalan. Harganya pun bersaing. Untuk kamu yang senang berbelanja, kamu bisa puas mencari barang yang kamu mau dan mempraktikkan kelihaianmu menawar di sepanjang Jalan Malioboro.
Hiasan penolak nyamuk yang dijual di Malioboro Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Apabila kamu tidak suka menawar atau membeli barang di kawasan ramai yang panas dan pengap, tersedia pula toko-toko menarik di sekitarnya yang bisa kamu jelajahi. Walau harganya sedikit lebih mahal, setidaknya kamu bisa mendapatkan kenyamanan yang lebih dibandingkan di pasar.
ADVERTISEMENT
Mau yang murah meriah? Pasar Beringharjo jawabannya. Lokasinya masih di sekitar kawasan Malioboro, kamu akan dengan mudah menemukannya.
Blangkon, penutup kepala tradisional khas Jawa yang dijajakan di kawasan Malioboro Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Cari saja gapura tinggi berwarna hijau dengan tulisan Pasar Beringharjo, setelahnya kamu tinggal masuk saja. Di sana kamu akan menemukan deretan batik mulai dari yang masih berbentuk kain hingga baju jadi, daster hingga blangkon. Seru, bukan?
Selain sebagai pusat perbelanjaan, Malioboro juga menjadi kawasan budaya dan sejarah yang patut diperhitungkan.
Gapura Kampung Ketandan di Jalan Malioboro Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Pasalnya, di kawasan yang menjadi andalan dan kebanggaan penduduk Yogyakarta ini, kamu akan menemukan Kampung Ketandan, Museum Benteng Vredeburg yang berisi diorama perjuangan Indonesia, Museum Senobudoyo, Monumen Serangan Umum 1 Maret, dan cabaret show di lantai III Hamzah Batik, atau yang lebih dikenal sebagai Raminten.
ADVERTISEMENT
Kuda-kuda bersama dengan kusir delman menepi di sisi kanan dan kiri jalan, menunggu datangnya tamu yang hendak diajak berkeliling. Sang kusir mengenakan pakaian khas Jawa dengan lurik berwarna cokelat tua. Di sisi lain, becak-becak berbagai warna berderet menunggu hal yang sama, hadirnya tamu yang meminta diajak berkeliling.
Kusir sedang menunggu penumpang bersama delman dan kudanya di Jalan Malioboro Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Sepanjang mata memandang, Yogyakarta masih terasa sama. Indah, ramah, dan kaya budaya. Dengan berakhirnya eksplorasi kumparan di Malioboro, maka berakhir pulalah safari bersama The Alana Yogyakarta Hotel.
Dengan kamera menggantung di leher, kumparan mengakhiri perjalanan dengan menumpangi mobil VW Safari berwarna jingga, kembali ke hotel tempat bertolak, sambil tetap menatap Yogyakarta dari balik jendela.