Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Setrika Payudara, Cara Para Ibu di Afrika Lindungi Anak Perempuan dari Pelecehan
8 Juni 2021 7:04 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ada berbagai hal yang dilakukan oleh perempuan --baik secara terpaksa maupun tidak-- untuk memenuhi kewajiban ritual adat yang telah diberlakukan. Terkadang, ritual aneh yang dilakukan seringkali menyakitkan dan menyebabkan luka fisik.
ADVERTISEMENT
Dilansir Global Citizen, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi anak mereka dari perhatian yang tidak diinginkan, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan. Dalam tradisi ini, para ibu akan menyetrika payudara anak perempuan hingga rata.
Menyetrika payudara yang dikenal sebagai 'mutilasi alat kelamin wanita', menjadi praktik seksual yang telah diabadikan sebagai bentuk kebaikan bagi masa depan anak perempuan. Praktik menyetrika payudara ini kerap dijumpai di Kamerun.
Setengah dari keseluruhan populasi perempuan Kamerun di bawah usia sembilan tahun disetrika payudaranya. Sebanyak 38 persen gadis remaja di bawah usia 11 tahun bernasib sama.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, setrika payudara tak hanya dipraktikkan di Kamerun, tapi juga di negara-negara Afrika Tengah dan Barat, seperti Guinea-Bissau, Chad, Togo, Benin, Pantai Gading, Kenya, Zimbabwe, Guinea, Burkina Faso, dan Nigeria. Bahkan, berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa 3,8 juta remaja putri di seluruh dunia telah melakukan tradisi keji tersebut.
Menurut Quartz Africa, praktik ini dilakukan menggunakan alat dengan tingkat suhu panas tinggi, untuk memijat, mengetuk, bahkan menekan dada hingga rata. Alat yang dipanaskan sering meninggalkan bekas luka, membuat anak perempuan rentan terhadap infeksi dan menyebabkan komplikasi di masa depan.
Namun, ritual ini mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Ahli kesehatan dan korban menyebutkan, ritual tersebut adalah penyiksaan terhadap anak-anak yang bisa menyebabkan luka fisik maupun psikologis. Di antaranya, dengan menyebabkan infeksi, kerusakan pada payudara, bahkan kanker payudara.
ADVERTISEMENT
Meskipun "menyetrika payudara" dimaksudkan untuk melindungi anak perempuan dari dorongan seksual yang tidak diinginkan, praktik tersebut dinilai dapat menimbulkan trauma fisik dan emosional. Seperti yang dialami oleh seorang gadis Kamerun berusia 14 tahun, yang menceritakannya kepada fotografer Prancis Gildas Paré.
"Setiap pagi, sebelum pergi ke sekolah, ibu saya membuat saya mengangkat atasan saya sehingga dia dapat memastikan saya tidak melepas perban saya," katanya.
"Sudah dua tahun sekarang dan dia masih memeriksanya setiap hari. Ini memalukan. Saya ingin dia berhenti," lanjutnya.
Dengan menyetrika payudara anak perempuan, para ibu di Kamerun berharap anaknya tidak menarik secara seksual bagi laki-laki, mencegah terjadinya pernikahan dini dan kehamilan. Dengan begitu, mereka tetap bersekolah dan melanjutkan pendidikan tanpa terhalang praktik seksual.
ADVERTISEMENT
Praktik itu ternyata dilakukan bukan tanpa alasan. Berdasarkan laporan UNICEF, 38 persen anak-anak di Kamerun menikah pada usia 18 tahun. Lebih dari seperempat gadis remaja adalah ibu, dan 20 persen dari mereka putus sekolah setelah hamil.
"Ketika payudara saya mulai tumbuh, orang-orang di rumah saya mulai membicarakannya," kata seorang wanita Kamerun berusia 28 tahun, kepada Paré.
"Akhirnya, ibu saya memutuskan untuk menyetrika payudara saya. 'Jika kita tidak menyetrikanya, itu akan menarik laki-laki. Dan kita tahu bahwa laki-laki berarti kehamilan'," katanya.
Meskipun tradisi menyetrika payudara dimaksudkan untuk melindungi diri, praktik ini nyatanya menimbulkan masalah sistemik yang lebih besar. Salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).
ADVERTISEMENT