Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Suku Mosuo, Satu-satunya 'Kerajaan Wanita' di China yang Tidak Menikah
7 Maret 2018 18:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Pola matriarki atau dominasi wanita dalam memimpin dengan sistem otoritas yang diturunkan dari pihak wanita, umumnya jarang ditemukan di Indonesia bahkan dunia. Namun, sebuah suku yang berada di kaki gunung Himalaya masih menerapkan sistem ini dan menjadi satu-satunya 'kerajaan wanita' di daerah lembah Yunnan, barat daya China.
ADVERTISEMENT
'Kerajaan Wanita' ini bernama suku Mosuo. Suku yang tinggal di tepi Danau Luga itu merupakan sebuah komunitas suku kuno dari umat Buddha Tibet. Mereka hidup dengan persamaan gender, para wanita memiliki kesempatan untuk memilih pasangan seksualnya, bekerja, memiliki anak, menentukan pilihan hidup, hingga merawat orang tua.
Wanita dari suku ini juga boleh memiliki dan mewarisi properti, bertani, mengurus rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Bahkan, mereka juga dapat melakukan pekerjaan pria, seperti membangun dan memperbaiki rumah, membajak, serta membuat keputusan besar dalam keluarga.
Suku Mosuo tidak menjalani pernikahan seperti masyarakat pada umumnya. Mereka bebas untuk tidur dengan pria manapun yang diinginkan, tanpa ada ikatan pernikahan. Wanita di suku ini akan mendapatkan kamar tidurnya sendiri begitu ia dianggap sudah dewasa secara seksual dan diperbolehkan untuk mengundang pria yang disenangi untuk tidur dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Pria yang mengunjungi dan tidur dengan seorang wanita harus meletakkan topi di pegangan pintu tempat wanita tersebut tinggal, sebagai tanda bagi pria lain agar tidak masuk. Kegiatan ini disebut dengan axia.
Axia bisa berlangsung pada satu malam atau bahkan lebih, sehingga bisa menjadi cara mendapatkan keturunan bagi wanita suku Mosuo. Hal ini disebut dengan 'pernikahan berjalan'. Anak yang lahir dari pernikahan berjalan akan diasuh oleh ibunya dengan bantuan saudara kandungnya.
Para pria di suku ini tidak memiliki tanggung jawab sebagai seorang ayah, seperti memberi nafkah atau tinggal bersama dan mendidik anak-anaknya. Tidak ada stigma dari masyarakat setempat bagi orang yang tidak mengetahui ayah biologisnya, sehingga menjadi hal yang wajar apabila masyarakat di suku ini tidak mengenal siapa ayah mereka.
ADVERTISEMENT
Karena tidak punya kesempatan untuk hidup bersama dengan wanita yang dinginkan dan anak-anaknya, para pria akan memiliki hubungan yang erat dengan anak dari saudari mereka.
Dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi, anak-anak muda mulai pergi dari daerahnya dan bahkan menikah dengan orang-orang yang berasal dari daerah lain. Suku ini berada pada kondisi yang 'terjepit', karena masih bertahan dengan sistemnya ditengah kemajuan yang terjadi.
Para arkeolog berpendapat bahwa Mosuo bisa saja merupakan salah satu peninggalan sejarah yang berasal dari kondisi pernikahan di zaman dulu. Mungkin pria Mouso dulunya adalah pedagang yang beraktivitas di daerah yang jauh dan tidak dapat bersama dengan keluarga untuk waktu yang lama, sehingga membuat gambaran atas pernikahan di suku Mosuo menjadi hilang.
ADVERTISEMENT