Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hujan salju baru saja berhenti ketika pesan WhatsApp masuk ke ponsel Adi Murdani. Pesan itu singkat saja, namun langsung membetot perhatiannya, mengalihkan pandangannya dari bentangan lanskap pegunungan menuju Thorong La Pass, titik puncak pada ketinggian 5.416 meter di atas permukaan laut di jalur pendakian Annapurna, Nepal.
Isi pesan penting di ponsel Adi itu: Nepal bakal memberlakukan lockdown karena wabah virus corona . Seisi “Negeri Atap Dunia” akan dikunci pada 24 Maret hingga 7 April, yang kini diperpanjang hingga 2 Juni.
Masalahnya, pesan itu terlambat sampai hingga empat hari. Wajar, karena cuaca sangat mempengaruhi sinyal telepon di pegunungan. Hujan salju dan kencang angin menyesatkan sinyal di Annapurna Circuit yang merupakan jalur pendakian klasik nan tersohor di Pegunungan Himalaya.
Kolega Adi di Indonesia mengabarkan bahwa pemerintah Nepal akan menerapkan lockdown empat hari ke depan karena negeri itu mengalami lonjakan kasus infeksi corona. Tanpa pikir panjang, Adi bersama rekannya—Teddy—yang berada di Distrik Manang langsung memutuskan menghentikan pendakian.
“Saat kami (mulai naik) di gunung itu, (di Annapurna) masih nol case. Di gunung juga ada pemeriksaan suhu tubuh dan sebagainya, juga ada di jalur pendakian,” kisah Adi ketika berbincang dengan kumparan, Selasa (21/5).
Adi tak menyangka pandemi coronavirus COVID-19 ikut mengancam hingga ke atap dunia. Ketika ia menginjakkan kaki di Kathmandu, ibu kota Nepal, pada 8 Maret lalu, pasien positif corona hanya satu—seorang mahasiswa Prancis asal Nepal yang tengah pulang kampung. Itu pun sudah dinyatakan sembuh.
Kala itu, situasi di Nepal normal saja. Protokol kesehatan diterapkan di bandara, dan izin pendakian masih dibuka disertai pemeriksaan suhu tubuh. Pada saat yang sama, di Indonesia kasus positif corona baru 19 pasien. Oleh sebab itu Adi bersama dua rekannya, Teddy dan Fauzan, merasa aman-aman saja memulai pendakian.
Fauzan hanya mendaki sampai Poon Hill. Ia pulang duluan karena jatah cutinya pendek. Sedangkan Adi dan Teddy lanjut ke Annapurna dan berencana kembali pada Kamis (26/3). Fauzanlah yang kemudian berkirim pesan peringatan lockdown itu.
Cemas terjebak lockdown, kedua pelancong itu memutuskan untuk pulang sesegera mungkin. Mereka hanya punya waktu empat hari sebelum pemberlakuan lockdown.
Jalan cepat menuju Kathmandu pun ditempuh. Jumat (20/3), mereka menyewa jip menuju titik awal pendakian. Kendaraan ini dapat menghemat perjalanan. Dengannya, Gunung Annapurna dapat dilintasi selama delapan jam.
“Saya melanjutkan lagi empat jam perjalanan dengan bus menuju kota Pokhara karena ada beberapa barang saya di sana,” cerita Adi.
Keesokan harinya, ia dan Teddy menyambung perjalanan ke Kathmandu menggunakan bus turis selama delapan jam. Sesampainya di Kathmandu, mereka langsung menuju Bandara Internasional Tribhuvan untuk membeli tiket pesawat terakhir menuju Kuala Lumpur, Malaysia, untuk selanjutnya melanjutkan penerbangan ke Indonesia.
“Sampai di airport ternyata sudah tidak ada kantor maskapai yang beroperasi, tutup semua,” ujarnya. “Saya coba cari online juga sudah tidak tersedia lagi tiket pesawat.”
Tak kehabisan akal, Adi langsung menuju ke kantor maskapai di pusat kota dengan harapan mereka masih melayani penjualan tiket pesawat. Nyatanya, kantor itu juga kosong tertutup.
“Akhirnya karena tidak dapat penerbangan, sampai sekarang kami terjebak di hotel, nggak bisa pulang,” imbuhnya.
Adi dan Teddy kini tinggal di Hotel Yala Peak, pusat Kota Kathmandu. Bayangan avontur menyusuri Annapurna dan menapakkan kaki di Thorong La yang sudah direncanakan tiga bulan lamanya, sekejap sirna. Mereka terkurung di kamar karena lockdown sudah diterapkan.
Ini bukan kali pertama Adi ke Nepal. Magnet Himalaya, wisata murah, dan keramahan penduduk selalu membuatnya ingin mengulang bertualang. Sama sekali tak ia bayangkan harus terjebak lockdown.
Meski begitu, Adi bersyukur karena berhasil sampai di Kathmandu. Menurutnya, masih banyak pendaki yang terjebak di jalur pendakian. Kebanyakan dari mereka tak mengetahui kebijakan pemerintah Nepal. Baru beberapa hari kemudian mereka dievakuasi ke pusat kota.
Kisah WNI terjebak lockdown di Nepal tak hanya dialami Adi. Yuri Pibriandi yang berasal dari Mataram, NTB, juga terjebak di Tilganga, Kathmandu. Optometris atau perawat mata ini terbang ke Nepal untuk mengikuti pelatihan anestesi mata selama tiga bulan, dari Februari hingga April.
Siapa sangka, baru sebulan mengikuti pelatihan, ia juga terjebak lockdown. Menurut catatan Worldmeters Coronavirus Update, saat ini Nepal memiliki 402 kasus positif corona.
Yuri pun berdiam di guest house rumah sakit tempatnya menjalani pelatihan. Ia tinggal bersama tiga orang lainnya yang berasal dari Etiopia, Vietnam, dan Thailand. Mereka tak ditarik biaya menginap oleh pihak rumah sakit.
“Karena kami tidak bisa kembali, ya diizinkan dulu di sini. Dikasihanilah,” ujar Yuri lewat sambungan telepon.
Yuri yang kini berpuasa Ramadhan di Nepal, harus menghemat pengeluarannya baik-baik. Sebab, uangnya hanya mampu untuk bertahan 15 hari ke depan. Ia belum menerima bantuan dari KBRI Bangladesh-Nepal.
Di tengah lockdown, tutur Yuri, membeli kebutuhan untuk berpuasa ternyata tak mudah. Hampir semua toko logistik tutup. Alhasil, hanya mi instan dan telur yang paling bisa ia andalkan untuk menemani sahur dan berbuka.
“Semua sudah dibatasi. Keluar dari sini pun susah sekarang karena kasus corona semakin meningkat,” ujar Yuri.
Senada, Adi hanya bisa membeli roti untuk menemaninya sahur dan berbuka puasa. Menurutnya, kondisi Kathmandu saat ini dijaga ketat oleh aparat setempat. Berbagai toko kebutuhan logistik hampir semua tutup. Hanya beberapa pedagang yang berani berjualan diam-diam.
“Beberapa grosir masih ada yang buka di jam tertentu. Di jam 5 dan 6 sore, atau 6-8 pagi. Tapi kondisi terakhir ini, pasar udah tutup semua. Logistik sisa dua hari lagi,” imbuhnya.
Adi yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang barang online diberi keringanan oleh pemilik hotel tempatnya tinggal, yang menurunkan harga sewa hotel dari semula 1.900 Rupee menjadi 1.400 Rupee atau setara dengan Rp 180 ribu per hari. Pihak hotel juga berjanji memberikan makanan tanpa harus dipungut biaya.
Sebagai rasa terima kasih, Adi dan Teddy ikut membantu karyawan hotel memasak. “Dari sekian tamu, kami yang dia bantu,” ujar Adi.
Berbeda dengan Yuri, Adi dan Teddy mendapat bantuan dari KBRI. Saat periode pertama lockdown, ia mendapat uang tunai Rp 650-750 ribu untuk dibelikan kebutuhan logistik. Akan tetapi, jumlah tersebut tentu tak mencukupi karena masa lockdown diperpanjang.
Maka untuk bertahan hidup, keduanya membuka jasa titip (jastip) untuk teman-temannya di Indonesia. Ada 20 item barang yang harus dibeli. Beruntung di sepekan awal lockdown, masih banyak toko suvenir yang buka sehingga mereka sempat berbelanja.
Nantinya, barang-barang itu akan dibawa saat mereka kembali ke Indonesia. Beruntung pula, teman-teman mereka percaya kepadanya sehingga mau memberikan uang terlebih dahulu sebelum barang sampai. Dengan begitu, uang jastip bisa digunakan untuk menyambung hidup di Nepal.
“Tapi nggak tahu buat ke depannya, karena status lockdown diperpanjang dan tokonya sudah tutup, jadi jastip sudah saya setop,” imbuh Adi.
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, sebanyak 20 WNI masih terjebak di Nepal. Ia mengatakan, KBRI telah memperingatkan para WNI agar cepat kembali sebelum pemerintah Nepal menerapkan lockdown.
“Tapi memang ada beberapa yang memilih untuk tetap di sana dan ter-lockdown,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (20/5).
Saat ini tim KBRI Dhaka telah mendata seluruh WNI di Nepal untuk pemberian bantuan. “(Kami) upayakan semaksimal mungkin agar mereka bisa menghadapi masa lockdown dan terjaga kebutuhan pokok, logistik, dan akomodasinya.”
Judha memahami kondisi psikologis para WNI yang terjebak di negeri-negeri asing. Menurutnya, berdasarkan catatan Kemlu, ada WNI di hampir seluruh negara di dunia. Oleh sebab itu KBRI berupaya untuk menjaga suplai logistik dan akomodasi mereka.
Ia berjanji akan segera mengecek lagi ke KBRI untuk memastikan ada bantuan bagi tiap WNI itu. Menurut dia distribusi logistik adalah aspek prioritas. Bagi WNI yang masih bisa bertahan dan memiliki supply dari keluarga maka akan dikecualikan sementara waktu.
Kini, baik Adi, Teddy, Yuri maupun 20 WNI lainnya di Nepal memendam rindu teramat sangat pada keluarga di tanah air. Kerinduan itu semakin dalam karena dua hari lagi Hari Raya Idul Fitri akan datang.
Kali ini tak ada ketupat, opor ayam, dan rendang. Mereka hanya bisa merayakan lebaran dengan sederhana. Adi berencana ber-video call dengan keluarganya ketika hari raya nanti untuk bisa sedikit melepas rindu.
“Pasti sedih jauh dari keluarga. Biasanya setiap tahun ngumpul, tapi tahun ini sendirian, jauh dari keluarga. Begitu juga Pak Teddy dan semua teman di sini merasakan hal yang sama,” ujar Adi.
Perasaan Yuri setali tiga uang. Ia tak kuasa menahan rindu kala mengingat momen lebaran bersama istri tercinta tahun lalu. Kerinduan itu membuncah setiap kali mendengar istrinya menangis di telepon.
“Ini Ramadhan kedua saya bersama istri seharusnya. Sekarang jadi berbeda.”
Para WNI di Nepal dan negara-negara lain berharap pemerintah Indonesia dapat mengevakuasi atau memulangkan mereka. Khusus di Nepal, mereka telah tiga kali mencoba mengajukan repatriasi atau pemulangan mandiri ke KBRI, namun sejauh ini belum berhasil. Jawaban yang tersedia adalah, pemulangan belum bisa dilakukan.
Tahun ini, di tengah pandemi yang mencengkeram dunia, mereka pun berlebaran di Negeri Atap Dunia.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.