Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tiga Surga Tersembunyi yang Harus Dikunjungi Saat Berlibur ke Pulau Samosir
1 Desember 2020 16:26 WIB
ADVERTISEMENT
Pesona Danau Toba bukan melulu soal keindahan alamnya saja, di balik lanskap bumi yang membingkainya, Danau Toba dilimpahkan kekayaan budaya dan cerita legenda. Jika Anda ingin GoLocal dan menikmati semuanya, datanglah ke Pulau Samosir .
ADVERTISEMENT
Berada di tengah Danau Toba, pulau ini memiliki objek wisata ikonik yang mungkin jarang diketahui wisatawan di luar Sumatera Utara. Dari Kota Medan, hanya butuh waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan darat menuju Pulau Samosir.
Diundang oleh Agoda sebagai bagian dari kampanye GoLocal yang mempromosikan pariwisata domestik dan menawarkan diskon hingga 25% untuk akomodasi di seluruh Indonesia, Kumparan berkesempatan mengunjungi Pulau Samosir, setelah sebelumnya bermalam di Inna Hotel Parapat. Sebelum tiba di Samosir, kami harus menyeberang dari Pelabuhan Ajibata di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun.
Dari pelabuhan tersebut, kami menaiki kapal Ihan Batak. Biayanya Rp 130 ribu untuk satu mobil, termasuk berapa pun penumpang di dalam mobil.
Fasilitas kapal yang diresmikan 2018 itu juga baik. Ruangannya dilengkapi pendingin udara dan tempat duduk yang menggunakan sofa.
Sepanjang perjalanan, penumpang akan menyaksikan birunya air Danau Toba yang dihiasi gugusan bukit hijau. Perjalanan menyeberang ke Samosir hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam.
ADVERTISEMENT
Menurut survei GoLocal Agoda, orang Indonesia mencari "ketenangan dan relaksasi" pada liburan mereka berikutnya. Samosir akan menjadi tujuan yang sempurna untuk bersantai, apakah Anda ingin lebih dekat dengan alam atau mengenal budaya lokal.
Kumparan merangkum tiga hidden gem di Pulau Samosir yang bisa kamu kunjungi.
1. Huta Siallagan
Tempat ini wajib kamu kunjungi karena lokasinya berada dekat dengan Pelabuhan Ambarita, tempat kapal bersandar. Hanya butuh tujuh menit untuk sampai ke Huta Siallagan. Saat masuk, pengunjung diwajibkan membayar tiket sebesar Rp 5 ribu.
Saat tiba di lokasi, yang pertama terlihat adalah delapan deretan jabu bolon (rumah khas batak) yang dikelilingi tembok batu bertingkat yang tingginya satu sampai dua meter, sedangkan luasnya mencapai 2.400 meter persegi.
ADVERTISEMENT
Menurut Bagus Simatupang, pemandu sekaligus keluarga pemilik Huta Siallagan, tempat ini dibangun sejak abad ke-18. Karena termakan usia, Jabu Bolon sudah mengalami renovasi, terutama bagian atapnya. Dulunya berbahan ijuk, tapi sekarang diganti jadi seng.
Meskipun begitu, bukan berarti filosofi bangunan berusia ratusan tahun itu luntur. Rumah adat di Huta Siallagan tetap artistik. Dinding rumah masih lengkap dengan gorga atau ukiran berbentuk ornamen Batak, seperti ukiran singa di sisi kiri dan kanan rumah. Bagi orang Batak, ukiran itu untuk menangkal roh jahat yang coba masuk ke rumah.
Selain itu, ada juga ukiran Boraspati atau cicak yang menempel di dinding rumah. Cicak kata Bagus, diartikan sebagai lambang kehidupan dan kemewahan bagi orang Batak.
ADVERTISEMENT
“Kita tahu cicak binatang kecil, tapi kita bisa melihat bahwa cicak itu bisa hidup di mana saja. Jadi dalam tradisi batak itu seperti orang Batak (itu) bisa tinggal di mana saja,” tutur Bagus.
Pada dinding rumah juga terdapat simbol berbentuk payudara. Simbol itu diartikan sebagai kesuburan, sesuai pepatah Batak yang bunyinya, ‘maranak sampulo pitumarboru sampulo onom’.
“Artinya kalau mereka berumah tangga, mereka berharap punya keturunan anak laki-laki 17 dan 16 perempuan. Inilah lambang kesuburan,” kata Bagus.
Warna-warna yang mendominasi ukiran rumah adat Batak juga punya arti bagi orang Batak. Ketiganya putih, merah dan hitam.
“Warna putih dunia atas itu dunia Tuhan. Merah dunia di mana kita sekarang hidup. Warna hitam dunia bawah (para) roh,” ujar Bagus.
Uniknya lagi, di bagian bawah rumah dulunya dijadikan tempat ternak. Di masa lalu, digunakan untuk kandang kerbau. Karena itu, bentuknya menyerupai rumah panggung. Tinggi kolom rumah juga disesuaikan tinggi kerbau di masa itu, begitu juga pintunya dibuat selebar tanduk kerbau yang paling besar.
ADVERTISEMENT
Lalu, atapnya menyerupai seperti solu atau sampan, bentuk atapnya juga dirancang unik, bagian belakangnya lebih tinggi daripada bagian depannya.
“Itu artinya orang tua di depan dan anak di belakang, dan nanti kalau anak mereka sudah besar tentu mereka mengharapkan bahwa anaknya harus lebih maju daripada orang tua. Makanya orang tua kita itu menyekolahkan kita sampai semampu kita biar tidak sama dengan orang tua kita,” tutur Bagus.
Masih di kompleks Huta Siallagan, di sana juga terdapat satu set kursi dan meja persidangan berusia ratusan tahun. Dulunya tempat ini dijadikan tempat persidangan tawanan perang dan pelaku tindakan kejahatan. Bagi mereka yang bersalah akan di penjara di bawah kolong rumah.
“Karena bagi raja mereka yang bersalah tidak dianggap manusia, mereka disamakan seperti binatang,” ujar Bagus.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan Raja Siallagan hadir. Kalau hanya mencuri, kata Bagus, hukumannya hanya penjara atau mengganti empat kali lipat dari apa yang dicurinya.
Namun, jika kasusnya pembunuhan, pemerkosaan, hingga tawanan perang, maka akan dipancung. Di samping batu persidangan juga tampak pohon harihara, yang dulunya dijadikan sebagai tempat pemujaan roh, lantaran di Huta Siallagan belum masuk agama.
"Pohon harihara ini memang sudah ada 500 tahun lalu, tapi ini yang sekarang generasi kedua. Artinya sudah ada lalu mati kemudian hidup lagi,” cerita Bagus.
Beranjak 10 meter dari Batu Parsidangan ada tempat mengeksekusi mati pelaku kejahatan. Tempat itu terdiri dari meja dan kursi yang terbuat dari batu. Pada masa lalu, raja dan rakyatnya menyaksikan proses eksekusi mati.
ADVERTISEMENT
Kata Bagus, sebelum dieksekusi, pelaku kejahatan dibaringkan di sebuah meja. Lalu diperiksa apakah masih ada kesaktianya oleh seorang dukun. Jika sudah dipastikan tidak memiliki kekuatan gaib, maka orang tersebut langsung di eksekusi.
Di Huta Siallagan juga terdapat Si Gale-gale atau boneka khas Batak. Boneka ini menjadi ikon pariwisata di Pulau Samosir. Bahkan di Huta Siallagan boneka dijadikan sebagai atraksi budaya. Pengunjung bisa menortor bersama boneka tersebut.
Meski dijadikan hiburan, boneka ini diyakini memiliki kekuatan mistis. Dari berbagai literatur, kata Bagus, awalnya boneka si Gale-gale adalah seorang anak remaja di Samosir bernama Simanggale. Saat itu Simanggale yang merupakan anak laki-laki tunggal di keluarganya ikut berperang.
Namun, saat peperangan, Simanggale terbunuh. Karena insiden itu, orang tua Manggale kerap menangis. Kemudian datang seorang dukun yang membuatkannya patung mirip dengan Simanggale.
ADVERTISEMENT
"Setelah patung dibuat dan diserahkan, orang tua tadi menolak. Karena patung yang hadir itu tidak bisa bergerak," ujarnya.
Kemudian untuk memanggil arwah patung itu, dibuat acara dengan memakai gondang atau alat musik khas batak.
“Roh Simaggale pun datang lalu masuk ke dalam patung itu, kemudian patung itu bisa bergerak bisa menari mengikuti irama gondang itu. Maka diberi nama Patung Sigale-gale,” tutur Bagus.
2. Desa Tomok
Usai berkeliling di Huta Siallagan, tak puas rasanya bila tidak membeli oleh-oleh di Danau Toba. Desa Tomok adalah surganya oleh-oleh bagi pengunjung Danau Toba. Hanya butuh 10 menit untuk sampai sana dari Huta Siallagan.
Begitu tiba mata akan dimanjakan puluhan kios cinderamata yang menjual berbagai kerajinan khas batak. Mulai dari kain tenunan khas Toba, baju, tas, hingga gantungan kunci dengan miniatur rumah batak. Harganya juga terjangkau, asal kamu pandai menawar.
ADVERTISEMENT
Tak hanya menjual berbagai macam souvenir, di belakang Pasar Tomok juga terdapat kuburan batu Raja Ompu Tolu Sidabutar. Makam ini memiliki ukiran yang sangat khas dan penuh makna.
Di bagian depan makan terdapat ukiran wajah yang besar dan menggambarkan Raja Ompu Tolu Sidabutar. Sedangkan di sisi kanan dan kiri makan terdapat dua patung gajah berwarna putih yang melambangkan mahar sang raja untuk permaisurinya.
Kemudian, agak jauh ke belakang juga ada Museum Batak Tomok. Museum ini memiliki koleksi yang menggambarkan sejarah dan budaya masyarakat Batak, seperti peralatan perang, alat berburu, buku aksara Batak, patung kayu, alat tenun dan kain ulos berbagai motif, hingga tongkat Batak.
Menariknya, museum ini dibangun dari kayu yang punya arsitektur indah dengan banyak makna filosofis. Rumah adat ini memiliki banyak ukiran cantik yang dinamakan gorga dan ukiran tersebut memiliki makna tersendiri.
ADVERTISEMENT
3. Batu Gantung
Selain folklore dari Huta Siallagan, Danau Toba juga memiliki narasi folklore lainnya,salah satunya Batu Gantung. Disebut Batu Gantung, karena batu tersebut tampak bergantung di sisi tebing Danau Toba.
Ada dua spot yang digunakan untuk melihat batu tersebut pertama, yakni dengan menyewa kapal boat dari Pelabuhan Tiga Raja Kabupaten Simalungun atau bisa juga melihatnya dari tepi penatapan, di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun.
Namun, dari situ dibutuhkan teropong atau lensa tele, lantaran jaraknya cukup jauh.Bagi masyarakat sekitar, Batu Gantung punya cerita mistis. Dikisahkan awalnya di dekat lokasi Batu Gantung hidup sepasang suami istri yang memiliki anak perempuan bernama Seruni.
Menjelang dewasa, Seruni dijodohkan ayahnya oleh sepupunya. Padahal saat itu dia sudah punya kekasih. Putus asa menjalani hidupnya, Seruni ingin bunuh diri dengan melompat ke Danau Toba.
Saat hendak melakukan niatnya, ia membawa anjing peliharaanya. Namun, belum sampai ke tempat tujuan, Seruni terperosok ke lubang batu yang begitu besar. Di dalam lubang ia terus berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang menyahuti.
ADVERTISEMENT
Saat itu, tercetus di hatinya kalau ingin mati saja di lubang itu. Tak disangka permintaannya seolah disahuti. Tiba-tiba dinding lubang tersebut merapat. Bukannya takut, Seruni malah meminta dinding itu pun semakin cepat merapat.
“Parapa parapat,” ujar Seruni.
Melihat kejadian itu, anjing Seruni lari pulang mengabarkan ke orang tua Seruni. Sang anjing memberi kode dengan cara menggonggong dan mondar mandir dirumah majikanya. Menyadari anjingnya mengisyaratkan bahaya, kedua orang tua Seruni mengikuti jejak anjingnya yang berlari ke lokasi kejadian.
Di lokasi itu, orang tua Seruni dan penduduk tidak bisa berbuat banyak, karena lubang sangat dalam. Mereka hanya mendengar suara Seruni yang menyebut "parapat, parapat,".
Perlahan lubang itu menghimpit Seruni lalu terjadi gempa dan muncul batu besar yang seolah menyerupai tubuh wanita menggantung di dinding.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, banyak yang mengira itu jelmaan Seruni. Maka dikenallah istilah Batu Gantung. Lalu karena ucapan Seruni yang terdengar warga ‘Parapat’, maka tempat di sekitar wilayah itu disebut wilayah Parapat.
Terlepas cerita itu benar atau tidak, kini Parapat dikenal sebagai kota tujuan wisata di Sumatera Utara dengan pemandangan Danau Toba yang menawan.