Tradisi Bakar Batu, Wujud Rasa Syukur dan Toleransi Masyarakat di Papua

23 September 2020 6:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan
ADVERTISEMENT
Dikenal memiliki banyak suku, masyarakat Papua masih memegang teguh tradisi yang diwariskan nenek moyang. Salah satunya adalah tradisi bakar batu.
ADVERTISEMENT
Tradisi membakar batu di Papua bukan dilakukan karena iseng. Tetapi, tradisi ini masih dilakukan oleh suku-suku yang menghuni Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo, dan daerah lainnya.
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan
Tradisi bakar batu merupakan salah satu bentuk rasa syukur masyarakat Papua. Ya, ritual itu dilakukan untuk mengumpulkan warga satu kampung dan prajurit perang untuk bersama-sama bersyukur dan berbahagia.
Mengutip laman Indonesia.go.id, batu yang telah dibakar hingga membara digunakan untuk memasak daging babi hasil buruan. Dulu memang bakar batu bagi masyarakat pegunungan tengah Papua adalah pesta daging babi.
Namun, sekarang di sejumlah tempat, pesta bakar batu sudah tidak lagi hanya daging babi, tapi juga menyediakan daging ayam yang akan disuguhkan untuk mereka yang tidak bisa makan babi.
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan

Tradisi Bakar Batu Sebagai Wujud Toleransi Masyarakat Papua

Bahkan, komunitas Muslim Papua, misalnya, di daerah Walesi Jayawijaya dan komunitas Muslim Papua daerah lain, dalam menyambut Ramadhan mereka juga melakukan bakar batu. Namun, media yang dibakar diganti ayam. Boleh jadi, ini menjadi bukti lain dari tingginya toleransi masyarakat Papua.
ADVERTISEMENT
Tradisi bakar batu punya nama berbeda pada tiap-tiap daerah yang melangsungkannya. Misalnya di Paniai, ritual itu dinamakan Gapila, di Wamena dinamakan Kit Oba Isogoa, dan di Jayawijaya dikenal sebagai Barapen.
Prosesnya kurang lebih seperti ini. Batu-batu berukuran besar dibakar dalam perapian dengan kayu-kayu. Kayu akan habis terbakar hingga batu menjadi panas membara. Kemudian, batu akan dipindahkan ke dalam lubang dalam tanah yang telah dibuat.
Batu akan diletakkan di dasar lubang, lalu di atasnya ditumpuk daging yang akan dimasak. Tak harus babi, daging ayam, sapi atau ubi pun boleh dimasak.
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan
Lubang kemudian ditutup dengan daun-daun pisang. Tunggu hingga daging matang dan dapat dinikmati bersama-sama.
Selain sebagai bentuk rasa syukur, tradisi bakar batu juga diyakini dapat menguatkan rasa kebersamaan. Warga yang terlibat akan merasa lebih dekat dengan proses memasak bersama.
Tradisi bakar batu rayakan Perdamaian di lapangan Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura. Foto: Ricky Febrian/kumparan
Oleh karena itu, ritual tersebut kini tak hanya dilakukan mengumpulkan warga kampung. Namun, juga dihelat untuk menyambut tamu dari luar, seperti kepala daerah, gubernur, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Upacara bakar batu juga merupakan simbol kesederhanaan masyarakat Papua. Muaranya ialah persamaan hak, keadilan, kebersamaan, kekompakan, kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan yang membawa pada perdamaian.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)