Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Prabowo adalah satu di antara mereka yang tak percaya dengan quick count atau hitung cepat. Tak seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 kala ia meyakini hasil quick count dan mengumumkan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan mengacu pada hitung cepat tersebut, kali ini Prabowo menyebut lembaga-lembaga survei yang menggelar quick count sebagai “tukang bohong”.
Hitung cepat memang bukan hasil resmi. Namun ia juga bukan barang baru. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) telah mencoba melakukannya sejak 1999, dan mulai mempublikasikannya pada 2004, kala Indonesia menggelar pemilu langsung pertama untuk memilih presiden dan wakil presiden.
“Tahun 2004 untuk pertama kalinya secara resmi melakukan quick count, diumumkan, dan hasilnya akurat. Banyak orang nggak percaya dan banyak politisi meragukan. Tapi seiring waktu, tahun 2009 nggak ada yang protes, makin ke sini quick count malah makin ditunggu-tunggu orang,” kata Direktur LP3ES Rustam Ibrahim kepada kumparan di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).
Bagaimana kini? Sementara real count KPU baru diumumkan pada 22 Mei 2019 atau lima minggu setelah pencoblosan, bisakah quick count menjawab rasa ingin tahu publik terhadap hasil Pilpres?
Simak video di atas, dan baca juga rangkaian ulasan mendalam pada Liputan Khusus kumparan: Gusar Prabowo usai Pemilu