Konten dari Pengguna

Patriarki dalam Budaya Populer: Potret Perempuan dalam Film dan Musik

Virena Putri Sholiha
Mahasiswa Farmasi Universitas Airlangga
6 Juni 2023 13:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Virena Putri Sholiha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Potret Wanita didalam Film. Foto: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Potret Wanita didalam Film. Foto: ShutterStock
ADVERTISEMENT
Dunia hiburan—film dan musik—mempengaruhi dan mencerminkan budaya kita, tetapi seringkali melalui lensa patriarkal yang miring dan terdistorsi. Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana stereotip gender dikekalkan dalam film dan musik populer?
ADVERTISEMENT
"Kita melihat dunia, bukan seperti apa adanya, tetapi seperti apa yang kita percayai," kata Anais Nin, penulis terkenal. Kutipan ini merefleksikan bagaimana patriarki telah membentuk persepsi kita tentang wanita dalam budaya populer.
Lihatlah Hollywood, misalnya. Di sepanjang sejarahnya, Hollywood telah dituduh melakukan stereotyping terhadap wanita. Wanita seringkali digambarkan sebagai objek yang rapuh, emosional, dan tergantung pada pria. Dalam laporan "The Celluloid Ceiling" oleh San Diego State University, hanya sekitar 20% dari semua sutradara, penulis, produser, editor, dan sinematografer yang bekerja pada 100 film top di box office Amerika pada 2020 adalah wanita.
Musik populer juga tidak luput dari patriarki. Lirik lagu sering menggambarkan wanita sebagai objek seksual atau sebagai sosok yang membutuhkan perlindungan. Dalam studi yang diterbitkan di Journal of Broadcasting & Electronic Media pada 2009, peneliti menemukan bahwa wanita digambarkan secara seksual atau objektif dalam 27% video musik.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat, kita perlu mempertanyakan dan mengkritisi representasi wanita dalam budaya populer. Ada banyak wanita tangguh dan berbakat di dunia ini yang layak mendapat pengakuan dan representasi yang lebih baik.
Emma Watson, seorang aktris dan aktivis yang terkenal, pernah berkata, "Feminisme, menurut saya, adalah tentang keadilan. Saya benar-benar yakin bahwa dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika pria dan wanita diminta untuk menjadi sejajar." Kutipan ini merangkum pentingnya mempromosikan kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam film dan musik.
Cerita tentang "Hidden Figures" adalah contoh bagus tentang bagaimana film dapat membantu mengubah narasi dan melawan arus patriarki. Film ini menceritakan kisah tiga wanita Afrika-Amerika yang memainkan peran penting dalam program luar angkasa NASA, sebuah kontribusi yang selama ini seringkali terabaikan atau terlupakan. Film ini tidak hanya menantang stereotip gender dan ras, tetapi juga memberikan sebuah contoh representasi wanita yang kuat, cerdas dan berdampak dalam sebuah film populer.
ADVERTISEMENT
Namun, representasi seperti itu masih jarang. Dan ini menimbulkan pertanyaan: Apa dampak dari kekurangan representasi ini terhadap persepsi publik tentang wanita? Apa dampaknya terhadap generasi muda yang tumbuh dengan budaya populer penuh dengan stereotip ini?
Menurut sebuah studi oleh Geena Davis Institute on Gender in Media, ketika wanita dan gadis tidak sering muncul dalam media dan, ketika mereka muncul, mereka sering digambarkan dalam peran-peran yang seksis atau stereotip, penonton mulai menyerap pesan tersebut dan mempercayai bahwa wanita dan gadis 'kurang layak' dibanding pria dan laki-laki. Ini berarti bahwa budaya populer patriarkal yang kita konsumsi bisa berkontribusi pada peningkatan disparitas gender dan keragaman dalam masyarakat kita.
Seiring berjalannya waktu, adalah tanggung jawab kita semua—penonton, pembuat film, musisi, penulis lagu, produser, dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan budaya populer—untuk memastikan bahwa representasi wanita adalah seimbang, adil, dan bebas dari stereotip berbahaya. Seharusnya, budaya populer berfungsi untuk merayakan keragaman dan keberagaman manusia, bukan memperkuat struktur kekuasaan patriarkal.
ADVERTISEMENT
Seperti yang pernah dikatakan oleh Gloria Steinem, "Kita telah mulai mengetahui bahwa kita adalah 'manusia' pertama kali, dan 'wanita' kedua. Itu adalah suatu pemahaman yang revolusioner." Dengan pemahaman ini, kita memiliki peluang untuk mengubah cara kita merayakan dan menggambarkan wanita dalam budaya populer, dan dengan demikian, mengubah cara kita memahami dan menghargai setengah dari populasi dunia. Mari kita gunakan budaya populer sebagai alat untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan, bukan sebagai sarana untuk mempertahankan status quo.