16 HAKTP: Fakta-Fakta Terbaru Seputar Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

28 November 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi stop kekerasan pada perempuan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stop kekerasan pada perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Kondisi ini menuntut perhatian lebih dari berbagai pihak demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember diperingati sebagai Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP). Kampanye skala global ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat upaya perlindungan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender serta memenuhi hak-hak mereka.
Sayangnya, meski sudah banyak upaya pencegahan dan perbaikan yang dilakukan, Komnas Perempuan masih menemukan banyak catatan merah atas persoalan ini. Berikut sederet fakta terbaru tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

1. Layanan kesehatan dan aduan khusus perempuan masih minim

Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan sayangnya tidak diimbangi dengan jumlah layanan kesehatan yang memadai. Banyak perempuan di berbagai daerah masih menghadapi tantangan terkait akses dan sarana prasarana kesehatan.
Komnas perempuan mencatat, jumlah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) hingga Juni 2024 adalah 333 unit dari 514 kabupaten/kota. Jumlah ini juga belum diiringi dengan ketersediaan tenaga profesional seperti konselor, psikolog klinis, pekerja sosial dan pendamping hukum.
ADVERTISEMENT
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, kondisi ini semakin kompleks sebab demografi Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan juga memberikan persoalan tersendiri. Menurutnya layanan kesehatan di wilayah daratan saja hingga kini belum optimal, apalagi di daerah kepulauan, wilayah terpencil, dan tertinggal lainnya.
“Daerah-daerah ini menghadapi tantangan-tantangan yang lebih berat lagi dalam hal sarana, prasarana, sumber daya manusia dan kondisi alam yang ekstrem serta sulit dikendalikan. Akibatnya pemenuhan akses dan layanan kesehatan, terutama bagi perempuan makin terjauhkan karena jarak yang jauh atau melalui transportasi air menuju ke pusat layanan kesehatan,” ujarnya.

2. Sebanyak 98% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah domestik

Ilustrasi stop kekerasan pada perempuan. Foto: Shutterstock
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023 adalah sebanyak 289.111 kasus. Dengan jumlah ini berarti Komnas Perempuan rata-rata menerima aduan sebanyak 16 kasus setiap hari.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi justru dari lingkungan dan orang terdekat. Data pengaduan kasus tersebut merupakan kekerasan berbasis gender (KBG) yang masih didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah personal atau domestik sebanyak 284.741 kasus (98.5%), ranah publik sebanyak 4.182 kasus (1.4%), dan ranah negara 188 kasus (0.1%).
Hal ini menggarisbawahi bahwa ruang domestik yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan. Di sisi lain, kekerasan di ranah publik dan negara tetap mencerminkan adanya kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan di berbagai ruang.

3. Jumlah perempuan korban kekerasan yang melapor masih minim

Ladies, meski jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, namun jumlah perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya masih rendah. Komnas Perempuan mencatat, hanya ada 0,1 persen perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kejadian yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Rendahnya tingkat pelaporan ini disebabkan banyak hal, di antaranya stigma sosial dan budaya patriarki yang membuat banyak korban enggan melapor, keterbatasan akses layanan bagi korban, khususnya di daerah terpencil, masih banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif korban, keterbatasan anggaran, serta ketersediaan UPTD PPA yang belum merata di setiap daerah.

4. Sebanyak 50% perempuan pasien Rumah Sakit Jiwa adalah korban KDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: Shutterstock
Kasus kekerasan terhadap perempuan, terlebih yang terjadi di ranah domestik, ternyata menimbulkan dampak lain terhadap kesehatan jiwa perempuan, Ladies. Sebagai contoh, berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan (2021) di RSJ Abepura, sekitar 50% perempuan yang dirawat di RSJ adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hal ini sejalan dengan data Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Data Kemenkes pada 2022 mencatat, hanya sekitar 50% dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa, sementara hanya 40% rumah sakit umum memiliki fasilitas pelayanan jiwa.
ADVERTISEMENT
Terdapat sekitar 1.053 psikiater di Indonesia, yang berarti satu psikiater melayani sekitar 250.000 penduduk. Ini jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan rasio 1 psikiater untuk setiap 30.000 penduduk.