5 Sisi Buruk dari Sifat Perfeksionis yang Perlu Diwaspadai

22 Januari 2020 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan bekerja seharian di kantor  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bekerja seharian di kantor Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Akibat terlalu banyak dituntut sempurna sejak kecil, kita mungkin tumbuh dewasa dengan sifat perfeksionis. Tidak hanya menginginkan kesempurnaan dalam kehidupan pribadi, kita juga mungkin jadi menginginkan hal yang sama dalam urusan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Sekilas, hal ini mungkin dianggap sebagai hal yang positif. Terutama, karena seorang perfeksionis umumnya selalu berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Mereka juga tidak memberikan ruang bagi kesalahan, sehingga seharusnya, mereka akan bekerja dengan sangat teliti.
Namun, sebenarnya, sifat ini tidak selalu baik bagi kehidupan seseorang. Seperti diutarakan oleh Tracey Wade, seorang profesor dari Flinders University, Australia Selatan, ada hal yang dinamakan sebagai 'perfeksionisme tak sehat'.
"(Ini terjadi saat seseorang memiliki) standar yang sangat tinggi, dikombinasikan dengan kritik terhadap diri sendiri yang brutal," ujarnya, seperti dikutip media asal Australia, body+soul.
Hal ini pun bisa membawa sederet dampak negatif pada kehidupan kita, termasuk dalam ranah profesional. Kita bisa mengalami stres berlebihan dan menjadi takut mencoba hal yang baru.
ADVERTISEMENT
Selengkapnya, berikut sederet sisi negatif dari sifat perfeksionis di tempat kerja yang perlu kita waspadai.

1. Membuang terlalu banyak waktu

Seseorang yang terlalu perfeksionis bisa menghabiskan waktu yang begitu lama untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sebab, mereka akan berusaha merancang pekerjaan itu dengan sempurna dan takkan berhenti sebelum karya itu sesuai dengan standarnya.
Bahkan, menurut Profesor Wade, sifat perfeksionis yang tak sehat juga bisa membuat seseorang berubah jadi tukang menunda-nunda pekerjaan atau procrastinator. "Hal ini sering merusak hubungan dengan orang lain, karena seorang perfeksionis bisa membuat hidup orang di sekitarnya sulit," tuturnya.

2. Takut mencoba hal baru

Ilustrasi perempuan di tempat kerja. Foto: Shutterstock
Selain itu, ada kalanya seorang perfeksionis menjadi takut mencoba hal baru. Sebab, mereka ingin menghindari kemungkinan membuat kesalahan saat mencoba hal baru. Sehingga, mereka akan cenderung memilih pekerjaan yang memang sudah mahir dilaksanakannya. Padahal, bila memang ingin berkembang, kita harus berani untuk mencoba hal yang berada di luar zona nyaman.
ADVERTISEMENT

3. Sulit menerima kritik

Sisi buruk lain yang disebabkan oleh sifat perfeksionis adalah sulit menerima kritik. Tidak hanya cenderung defensif saat menerima masukan, sifat ini juga bisa membuat seseorang merasa sangat bersalah karena merasa gagal mencapai tujuan.
Menurut Profesor Wade, hal ini bisa memberikan imbas negatif pada kesehatan mental seseorang.
"Tak ada yang salah dengan perfeksionisme, yaitu upaya untuk mencapai standar yang tinggi. Tapi, saat seseorang terpaku pada siklus menyalahkan diri sendiri dan mengkritik (diri) saat ambisi-ambisi itu tidak terpenuhi, ini bisa jadi sangat membahayakan," sebutnya.
"Mereka sering merasa tidak berguna karena telah gagal (mencapai tujuan itu)," ujar Wade menambahkan.

4. Keinginan untuk selalu memegang kontrol

Ilustrasi ingin memegang kontrol Foto: Shutterstock
Bukan rahasia bahwa seorang perfeksionis memiliki standar yang begitu tinggi. Sayangnya, standar ini terkadang tak hanya berlaku bagi dirinya sendiri, namun juga bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Menurut Psychology Today, hal ini bisa membuat seseorang berusaha mengontrol segala hal, termasuk mengontrol perilaku orang lain. Ini mereka lakukan agar tak ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Padahal, sebenarnya, hal ini tidak realistis untuk dilakukan.

5. Sulit mempercayai orang lain

Akibat standar yang tinggi, seorang perfeksionis juga cenderung sulit untuk membagi tugas dengan orang lain. Mereka akan kesulitan mempercayai kemampuan orang dan lebih memilih untuk menyelesaikan segalanya sendirian. Pada akhirnya, hal seperti ini hanya akan membuat mereka kewalahan.
Selain itu, saat akhirnya mempercayakan tugas kepada orang lain, mereka bisa menjadi micromanagers. Dengan kata lain, mereka akan menjadi orang-orang yang selalu berusaha mengontrol hingga hal terkecil sekalipun dan membuat orang lain merasa tak nyaman.
ADVERTISEMENT