6 Fakta Maya Ghazal, Perempuan Pengungsi Suriah Pertama yang Jadi Pilot

14 Juli 2022 15:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maya Ghazal, perempuan pengungsi Suriah pertama yang menjadi seorang pilot.
 Foto: Instagram/GhazalMia
zoom-in-whitePerbesar
Maya Ghazal, perempuan pengungsi Suriah pertama yang menjadi seorang pilot. Foto: Instagram/GhazalMia
ADVERTISEMENT
Di tengah beratnya kehidupan sebagai seorang pencari suaka dari Suriah, seorang perempuan bernama Maya Ghazal berhasil membuktikan dirinya mampu meniti jalan menuju kesuksesan. Ya, Maya merupakan perempuan pengungsi Suriah pertama yang menjadi seorang pilot.
ADVERTISEMENT
Tekadnya yang kuat ini tidak hanya mengantarkan dirinya menuju kesuksesan. Ia juga turut menggunakan platform yang dimilikinya untuk menginspirasi perempuan serta memperjuangkan hak-hak pengungsi Suriah.
Pada Sabtu (9/7), nama Maya Ghazal kembali mencuat berkat potret yang dirilis oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Dalam potret tersebut, tampak Maya berfoto bersama dengan aktor kondang Tom Cruise di Grand Prix Formula 1 yang berlangsung di Inggris.
Maya resmi menjadi pilot di usia 21 tahun. Bagi kamu yang penasaran dengan sosoknya, kumparanWOMAN telah merangkum sejumlah fakta mengenai Maya Ghazal dari berbagai sumber.

1. Hidup Maya di Suriah sangat berat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Suriah adalah wilayah konflik, dengan perang saudara telah berkecamuk sejak tahun 2011 silam. Maya, yang lahir dan besar di ibu kota Damaskus, harus menjalani kehidupan yang berat di tengah-tengah konflik tersebut.
ADVERTISEMENT
Dilansir situs resmi Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), kebutuhan-kebutuhan dasar Maya dan keluarganya seperti air bersih, listrik, dan gas tidak selalu tersedia. Bahkan, Maya harus berpindah sekolah sebanyak tiga kali akibat kekacauan situasi di Damaskus. Menurut UNHCR, Maya bahkan merasa keselamatan dia dan keluarganya sudah di ambang batas.
“Saya harus berpindah sekolah sebanyak tiga kali, karena situasi di wilayah yang sebelumnya aman dari serangan bom, terus menerus berubah. Ketika orang tua kami berangkat kerja, kami selalu berpamitan, jaga-jaga bila kami tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi. Itulah situasi yang harus kita alami selama bertahun-tahun dan kami harus menormalisasi itu; anak-anak mendewasakan diri lebih cepat, karena kematian tidak pernah jauh,” ucap Maya kepada Vogue pada 2021.
ADVERTISEMENT

2. Mengungsi ketika usianya 16 tahun

Di usia 16 tahun, tepatnya pada 2015, Maya Ghazal bersama ibu dan dua adik laki-lakinya melarikan diri dari Damaskus dan mengungsi ke Inggris. Ayahnya sudah lebih awal mengungsi ke Inggris, yaitu pada 2014.
Dilansir Vogue, Maya menganggap kepindahannya ke Inggris sebagai babak baru kehidupan yang bahagia dan luar biasa. Sayangnya, masih banyak stigma dan stereotipe negatif yang disematkan kepada para pencari suaka, sehingga alih-alih menjalani hidup yang tenang, tantangan Maya masih tetap berat.

3. Sama sekali tidak berbahasa Inggris ketika mengungsi

Dikutip dari situs resmi UNHCR, ketika Maya pertama kali menginjakkan kaki di Inggris, ia mengaku tidak bisa berbahasa Inggris. Akhirnya, ia belajar bahasa Inggris secara otodidak.
ADVERTISEMENT
“Bahasa Inggris yang saya ketahui hanyalah kata-kata yang saya pelajari dari serial televisi Grey’s Anatomy dan film 50 First Dates,” kata Maya, sebagaimana dilansir Vogue pada 2021.

4. Terinspirasi jadi pilot setelah melihat pesawat

Maya dan keluarganya menjadi pengungsi di Inggris lewat visa family reunion yang disediakan oleh pemerintah Inggris. Di hari ketibaan Maya di Inggris, saat itulah ia menemukan cita-citanya. Dilansir UNHCR, ketika Maya dan Ibunya tiba di London, mereka tinggal sementara di sebuah hotel yang dekat dengan Bandara Heathrow. Maya yang masih berusia 16 tahun pun menyaksikan pesawat lepas landas atau mendarat di landasan udara Bandara Heathrow.
Seketika, hati Maya tergugah untuk bisa menjadi seorang pilot. Ia pun berjuang untuk bisa terus melanjutkan pendidikannya, hingga akhirnya ia diterima di Brunel University, London, dengan program studi teknik penerbangan. Akhirnya, pada 2020, Maya berhasil menjadi perempuan pengungsi Suriah pertama yang menjadi pilot.
ADVERTISEMENT

5. Menjadi aktivis yang memperjuangkan hak bagi para pengungsi

Maya turut membantu memperjuangkan hak-hak para pengungsi yang kerap kali dikesampingkan. Maya tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pencari suaka yang kerap mengalami diskriminasi.
“Saya tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pengungsi. Saya tahu bahwa kita bukanlah berupa jumlah, tetapi manusia yang memiliki harapan dan mimpi, manusia yang meninggalkan segalanya demi keselamatan, serta manusia yang mampu memberikan kontribusi,” ucap Maya dalam keterangan unggahan di akun Instagram-nya, @ghazalmia.
“Saya datang ke Inggris sebagai pencari suaka dan kini saya merupakan seorang pilot, insinyur, dan UNHCR Goodwill Ambassador. Saya tidak akan berada di sini tanpa orang-orang yang telah menyambut dan membantu saya di Inggris. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan perubahan, dan tindakan baik sekecil apa pun, akan menciptakan perubahan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT

6. Sedang mengejar impian menjadi pilot komersial

Kepada Vogue, ia mengungkapkan bahwa ia ingin sekali bisa menjadi pilot komersial. Ia juga ingin bisa mendaratkan pesawat di Suriah, suatu hari nanti.
“Saya kini warga negara Inggris, ini adalah tanah tempat saya mencapai mimpi dan ambisi saya dan saya sangat bersyukur. Namun, saya tidak akan pernah melepaskan kebangsaan Suriah saya. Saya bangga dengan identitas saya,” tegas Maya, dilansir Vogue pada 2021.