6 Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Melakukan Egg Freezing

18 Februari 2022 13:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi egg freezing. Foto: Mashmuh/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi egg freezing. Foto: Mashmuh/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Egg freezing kini ramai diperbincangkan masyarakat, setelah salah satu artis Tanah Air, Luna Maya, melakukan metode ini. Mengutip Medical News Today, egg freezing atau pembekuan sel telur memang dapat memungkinkan seorang perempuan untuk menunda kehamilan sampai usia tertentu.
ADVERTISEMENT
Membekukan sel telur atau egg freezing dapat menghentikan penuaan sel telur. Sel telur yang dibekukan biasanya memiliki lebih besar peluang pembuahan daripada sel telur segar dari perempuan yang berusia lanjut.
Dalam dunia medis, egg freezing atau pembekuan sel telur juga dikenal dengan istilah mature oocyte cryopreservation. Mengutip Mayo Clinic, dalam proses egg freezing, sel telur (oosit) perempuan diambil, dibekukan, dan disimpan untuk digunakan di masa mendatang. Metode ini dilakukan guna menyelamatkan kemampuan perempuan untuk hamil di masa depan.
Buat perempuan yang tertarik dengan egg freezing, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan prosedur ini. Apa saja hal-hal tersebut?
Berikut penjelasan selengkapnya berdasarkan hasil wawancara kumparanWOMAN dengan dokter spesialis kebidanan dan kandungan di Brawijaya Hospital Antasari, Jakarta Selatan, dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG, FFAG.
ADVERTISEMENT

1. Memastikan usia yang tepat untuk melakukan egg freezing

Ilustrasi perempuan berkonsultasi dengan dokter sebelum perawatan prosedur egg freezing. Foto: Shutterstock
Mengutip Medical News Today, seiring bertambahnya usia seorang perempuan, kualitas sel telurnya cenderung menurun. Sel telur mungkin mengandung lebih banyak kelainan kromosom, dan perempuan tidak akan lagi berovulasi setelah menopause. Ini berarti indung telurnya akan berhenti melepaskan sel telur. Oleh sebab itu perlu diperhatikan usia yang tepat untuk melakukan egg freezing sebelum perempuan mengalami menopause.
Menurut Dinda, usia yang tepat untuk melakukan egg freezing adalah perempuan yang berusia di bawah 30 tahun. “Jadi memang secara data yang baik di bawah 30 tahun, tapi pada kenyataannya banyak yang melakukan di atas 30 tahun. Karena melihat biaya yang tidak murah dan biasanya perempuan lebih insecure di 35 tahun daripada di 30 tahun,” jelas Dinda dalam wawancara khusus dengan kumparanWOMAN secara online, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT

2. Memastikan fasilitas dan tenaga kesehatan aman dan terpercaya

Ilustrasi perempuan berkonsultasi dengan dokter sebelum perawatan prosedur egg freezing. Foto: Shutterstock
Menurut Dinda, sebelum melakukan egg freezing, perempuan harus memastikan tenaga medis serta fasilitas kesehatan yang aman dan terpercaya. Kita dapat memastikan ketersediaan layanan dalam fasilitas kesehatan dengan melakukan riset. Selain itu, perempuan harus memastikan apakah tenaga kesehatan berpengalaman melakukan egg freezing.
“Kalau sebuah klinik yang sudah menyatakan diri dapat melakukan bayi tabung atau fertility center, biasanya sudah mumpuni kliniknya. Karena membangun sebuah fertility center itu kan enggak murah dan izinnya tidak semudah itu. Jadi memang harus dibutuhkan tim yang solid. Jadi menurut saya apa yang sudah ada di Indonesia, dan terutama klinik fertility sudah melakukan standar yang benar,” jelas Dinda.

3. Mengenali prosesnya

Ilustrasi egg freezing. Foto: Elena Pavlovich/Shutterstock
Sebelum melakukan egg freezing, ada beberapa hal yang perlu diketahui, misalnya, proses pengambilan sel telur atau ovum pick up. dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG, FFAG atau yang akrab disapa Dinda menjelaskan proses ovum pick up dilakukan melalui vagina perempuan.
ADVERTISEMENT
“Mungkin yang harus diketahui pertama cara pengambilan sel telurnya itu melalui vagina, ya, jadi bukan melalui perut. Jadi harus diperhatikan juga bagi perempuan yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Hal ini masuknya ke dalam etika, apakah mau dilakukan pengambilan sel telur melalui vagina tetapi dia belum pernah memiliki riwayat penetrasi,” ungkap Dinda.

4. Mempertimbangkan kebijakan terkait egg freezing

Ilustrasi konsultasi dengan dokter. Foto: Shutter Stock
Di Indonesia, prosedur egg freezing pada awalnya diperuntukan bagi pasien dengan indikasi medis, seperti perempuan dengan kanker. Namun seiring berjalannya waktu, prosedur egg freezing sudah dilakukan berdasarkan indikasi sosial.
Lebih lanjut, Dinda menjelaskan, “Tetapi secara publik banyak yang sudah melihat ke indikasi sosial. Misalnya, belum menikah di usia di atas 35 tahun, jadi mereka mulai menyimpan sel telurnya. Nanti kalau ketemu pasangan, dia akan memiliki sel telur yang muda... Jadi, akhirnya saat ini 50 persen indikasi medis, 50 persen indikasi sosial.”
ADVERTISEMENT
Dinda juga menekankan bahwa perempuan yang ingin melakukan egg freezing perlu memahami beberapa kebijakannya di Indonesia. Salah satunya, yakni tidak boleh mendonorkan dan memberikan sel telur yang sudah dibekukan kepada orang lain, meskipun masih keluarga.
“Perempuan harus mempertimbangkan sel telur yang sudah dibekukan dan tidak jadi digunakan, harus digunakan untuk apa. Karena enggak boleh didonorkan. Kalau di Indonesia, tidak boleh digunakan orang lain, walaupun keluarga,” ungkap Dinda.
Di samping itu, dalam penggunaan atau pengawinan sel telur dan sel sperma diperlukan surat nikah. Jadi, pengawinan sel telur yang sudah dibekukan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
“Jika di kemudian hari, sel telur akan digunakan, harus digabungkan dengan sperma suaminya. Ini kalau di Indonesia, enggak bisa sperma pacar atau adik suami... Kalau di Indonesia, syaratnya harus sperma suami dengan melampirkan surat nikah secara resmi,” ujar Dinda.
ADVERTISEMENT

5. Melakukan tes hormon dan screening kondisi kesehatan

Ilustrasi prosedur egg freezing. Foto: bezikus/shutterstock
Sebelum melakukan pengambilan dan pembekuan sel telur, ada serangkaian persyaratan atau tes yang harus dipenuhi. Dinda mengatakan perempuan yang ingin melakukan egg freezing harus melakukan screening infeksi menular seperti HIV, Hepatitis B, Hepatitis C, infeksi rubella, dan lainnya.
Setelah itu, perempuan harus menjalani pemeriksaan hormon. “Kita harus mengetahui apakah perempuan ini memiliki hormon yang normal sehingga ketika dilakukan stimulasi sel telur, dia dapat merespons obatnya. Karena tidak semua perempuan langsung bisa merespons obat stimulasinya. Bisa jadi slow response dan nantinya sel telur tidak berkembang. Biasanya sebelum melakukan egg freezing,” jelas Dinda.

6. Mengenali risiko kegagalan dari proses egg freezing

Ilustrasi egg freezing. Foto: bezikus/Shutterstock
Sama seperti tindakan medis lainnya, prosedur egg freezing juga memiliki potensi kegagalan. Dinda mengatakan, “Gagal itu bukan saja pada saat ovum pick up, tetapi saat stimulasi, ada kemungkinan perempuan merespons atau tidak merespons terhadap obat-obat stimulasi. Mau dikasih berapa kali dosis, ada kemungkinan sel telur tidak akan membesar dan ini mungkin untuk terjadi.”
ADVERTISEMENT
Perempuan juga perlu memahami bahwa egg freezing tidak menjamin kelahiran bayi tanpa kecacatan. “Misalnya kualitasnya bagus. Maksudnya kualitas itu adalah dia (sel telur) bisa membesar dengan baik. Tapi bisa jadi saat dikawinkan, belum tentu sperma yang bagus atau sel telur yang secara kromosom atau genetik itu dia bagus. Jadi itu nanti tidak menjamin saat menjadi bayi akhirnya menjadi embrio tidak ada kecacatan,” ungkap Dinda.
Penulis: Adonia Bernike Anaya