Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun yang lalu, perempuan tak banyak memiliki suara di dunia. Masa depan maupun kehidupan mereka lebih banyak ditentukan oleh orang lain, membuat mereka menjalani hidup tanpa bisa memilih yang terbaik bagi diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, kini semuanya mulai berubah. Perempuan lebih memiliki suara dan bisa menentukan kehidupannya sendiri. Bahkan, para perempuan milenial--mereka yang terlahir di awal 1980an hingga awal 2000an--telah banyak mengubah tren di dunia ini.
Sebut saja, tren pernikahan dan karier. Meski dulu lebih banyak perempuan yang menikah muda, kini banyak di antara mereka yang bisa memilih kapan mereka mau menikah. Selain itu, para perempuan juga menggerakkan tren di bidang karier, yang kini tak lagi kaku dan lebih mementingkan hak-hak para pekerjanya.
Selengkapnya, berikut beberapa cara perempuan milenial mengubah dunia, seperti dirangkum dari Business Insider AS dan berbagai sumber lainnya.
1. Mengubah standar mengenai pernikahan
Belasan tahun lalu, perempuan di berbagai belahan dunia dihadapkan pada isu pernikahan dan anak. Tanpa kesempatan untuk memilih, mereka bisa dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia yang sangat muda, bahkan sebelum menyelesaikan pendidikan dasar sekalipun.
ADVERTISEMENT
Meski ini masih terjadi di beberapa bagian dunia, kini sudah ada lebih banyak perempuan yang tak bernasib demikian. Terutama, yang berada di kota-kota besar. Tak jarang, para perempuan milenial di berbagai kota besar menunda usia pernikahan, hingga mereka benar-benar merasa siap untuk melangsungkan pernikahan tersebut. Bisa jadi, ada di antara mereka yang memilih untuk berfokus pada karier terlebih dahulu, ada juga yang menunda pernikahan hingga merasa siap berkomitmen. Apa pun alasanya, ada lebih banyak perempuan yang memiliki suara dan bisa menunda waktu pernikahan hingga dirasa tepat baginya.
Di Indonesia, hal ini tercipta pula dengan dinaikkannya batas usia pernikahan. Sejak disahkannya Undang-Undang Perkawinan pada September lalu, batas usia pernikahan kini ditingkatkan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Seementara, sebelumnya, perempuan sudah boleh menikah sejak 16 tahun. Dimundurkannya usia pernikahan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan perempuan, sebelum mereka memilih untuk membina keluarganya sendiri.
ADVERTISEMENT
2. Mengedepankan kepuasan di bidang karier
Tak seperti dulu, kini sudah ada lebih banyak perempuan yang bekerja. Layaknya milenial pada umumnya, para perempuan ini juga mengedepankan kepuasan, sekaligus manfaat yang didapatkan dalam pekerjaannya. Ini menjadikan mereka lebih sering berpindah tempat kerja, demi mencari lokasi yang dirasa terbaik.
Andrew Chamberlain, Director of Research dan Chief Economist dari perusahaan SDM asal AS, Glassdoor, mengatakan bahwa milenial muda dan gen Z akan mencari berbagai kepuasan dan benefit dari kantornya bekerja. Di antaranya, termasuk seperti fleksibilitas, hak untuk bekerja jarak jauh, cuti melahirkan yang tetap dibayar, hingga program pembiayaan kesehatan dari kantor.
Hal-hal seperti ini, juga keinginan mereka untuk mendapatkan bayaran dan peningkatan karier yang setinggi mungkin, bisa membuat milenial cenderung sering berpindah lokasi kerja.
ADVERTISEMENT
3. Mengubah kebiasaan berbelanja
Selain itu, milenial juga mengubah kebiasaan berbelanja di dunia. Dulu, kegiatan berbelanja lebih banyak diasosiasikan dengan pembelian barang pada toko-toko tertentu. Namun, kini kegiatan itu sudah lebih banyak dikaitkan dengan pembelian barang secara online, di berbagai marketplace yang ada.
Secara khusus, hal ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan dari kaum perempuan. Di tahun 2018, CNBC melaporkan bahwa menurut survei dari perusahaan teknologi asal AS, First Insight, perempuan semakin mengandalkan internet untuk berbelanja. Sementara, pria masih lebih sering berbelanja langsung ke toko untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan.
"Perempuan tidak merasa perlu untuk pergi ke toko dan melakukan hal itu. Ini seharusnya mengubah cara ritel dan brand bereaksi terhadap (pelanggan)," ungkap Greg Petro, CEO First Insight.
ADVERTISEMENT
Maka, tidak mengherankan bila kini ada lebih banyak brand yang menjual barangnya secara online, meninggalkan tren offline yang dirasa kurang dapat menggaet pelanggan muda.
4. Era media sosial
Ini mungkin tidak terbayangkan beberapa tahun lalu. Namun, kini para milenial hidup dalam era media sosial, yang mengedepankan interaksi, persebaran informasi, juga hiburan melalui aplikasi-aplikasi seperti YouTube, Twitter, hingga Instagram.
Lewat media sosial, para milenial, baik laki-laki maupun perempuan, akan berinteraksi dengan orang-orang di dunia maya. Bahkan, mereka juga memanfaatkan media sosial sebagai peluang bisnis.
Business Insider mencatat, kini para milenial memiliki bisnis raksasa dengan memanfaatkan Instagram. Misalnya, bisnis produk kecantikan Fenty Beauty milik artis Rihanna atau Glossier milik Emily Weiss. Brand-brand ini mencapai kesuksesan lewat pemasaran di media sosial, khususnya melalui testimoni dari para pelanggan atau influencer yang memakai produk tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kini ada begitu banyak milenial muda, khususnya perempuan, yang memiliki pekerjaan sebagai influencer. Meski bukan artis, mereka bekerja bak selebriti yang mengiklankan produk tertentu dan menjadi panutan bagi para followers-nya. Pada akhirnya, hal ini juga mengubah cara brand menjual produk kepada pelanggan. Tidak lagi hanya mengandalkan selebriti, kini mereka juga mengajak kerja sama para influencer untuk menggaet perhatian pelanggan.
5. Tak lagi mementingkan kepemilikan
Ada masanya ketika orang-orang mementingkan kepemilikan terhadap barang maupun properti. Namun, milenial mengubah tren tersebut. Bagi mereka, tak masalah bila harus menyewa properti, pakaian, bahkan furnitur, selama hal itu bisa mempermudah kehidupan mereka.
Daripada menghabiskan uang dalam suatu barang yang tidak variatif, mereka lebih memilih untuk menyewa barang. Terutama, bila barang itu bisa diganti kapan pun dan bersifat ekonomis.
ADVERTISEMENT
"Banyak pemuda atau pemudi urban dari Amerika yang memilih hidup tanpa kepemilikan. Sekarang, semuanya bisa disewakan (oleh para milenial yang tak mau terikat)," tulis jurnalis asal Amerika, Sapna Maheshwari dalam The Times.
Pada akhirnya, hal ini pun mendorong munculnya bisnis-bisnis seperti Airbnb--yang seolah menjadi alternatif penyewaan yang lebih murah dibandingkan hotel saat bepergian. Selain itu, ada juga berbagai penyewaan barang fashion branded, yang bisa membuat para milenial tampil gaya meski tanpa memiliki barang tersebut seutuhnya.
6. Lebih proaktif dalam mencari pasangan terutama melalui dating app
Para perempuan milenial juga dikenal sebagai orang-orang yang memanfaatkan aplikasi kencan atau dating app. Tidak lagi pasif maupun hanya berusaha menemukan pasangan lewat pertemuan biasa, mereka juga mengandalkan berbagai dating app yang ada, mulai dari Tinder, OkCupid, hingga Bumble, untuk mencari sosok yang dirasa cocok untuk menjalin hubungan.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat perempuan dipertemukan dengan pasangan lewat perjodohan atau melalui pertemanan di suatu lingkungan. Melalui dating app, mereka mencari sendiri sosok yang diinginkan, terlepas dari kemungkinan untuk bisa benar-benar berpasangan ataukah tidak.
7. Lebih peduli pada isu sosial dan melakukan lebih banyak aktivisme
Tak hanya itu, perempuan milenial juga lebih banyak melakukan aktivisme. Mereka memiliki pandangan yang tegas terhadap berbagai isu dan tak ragu untuk mengadvokasikannya kepada publik.
Dari berbagai jenis aktivisme yang ada, saat ini publik mungkin cukup familiar dengan aktivisme di bidang feminisme dan juga konservasi lingkungan. Para perempuan milenial yang peduli dengan kedua isu tersebut akan memperjuangkannya secara personal maupun secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Misal, lewat kegiatan Women's March yang diadakan tiap bulan Maret di berbagai belahan dunia. Melalui kegiatan ini, mereka menyuarakan mengenai kekhawatiran dan hal-hal yang ingin diubahnya dari masyarakat, baik itu mengenai pernikahan , pelecehan seksual, kesehatan, maupun hak-hak asasi perempuan lainnya.